Minggu, 18 September 2005

Kisah Tragis Korban Kekerasan Anak

Judul buku : 24 Wajah Billy
Penulis : Daniel Keyes
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2005
Tebal : 700 halaman


Dalam masyarakat kita, anak masih sering cenderung dipandang sebagai milik orangtua, sehingga di satu sisi tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Padahal, kita tentu akan sepakat bahwa anak sebenarnya juga memiliki hak untuk dapat menikmati suasana hangat dalam keluarga, sehingga ia dapat mengembangkan potensi dirinya secara lebih sempurna. Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak.

Novel karya Daniel Keyes yang berkisah tentang perjalanan hidup William S. Milligan ini secara tidak langsung mempertegas kepada kita betapa tindakan kekerasan terhadap anak dapat melahirkan tragedi berkepanjangan yang tidak sederhana. Akibat serangkaian trauma masa kecil dan kekerasan yang ia alami sejak anak-anak hingga remaja, Billy, demikian dia akrab dipanggil, mengidap kepribadian majemuk (dissosiative identity disorder). Gangguan kejiwaan yang diderita Billy yang mirip skizofrenia dan ditandai dengan gejala amnesia ini terungkap setelah ia ditahan atas tuduhan serangkaian pemerkosaan di kampus Ohio State University pada Oktober 1977. Sebelum menjalani proses pengadilan, sejumlah psikiater terkemuka menyatakan kondisi Billy yang berkepribadian majemuk itu, sehingga ia dipandang tidak layak menjalani proses persidangan. Setelah dirawat di RS Harding selama sembilan bulan, Billy divonis tak bersalah karena dinilai tidak waras.

Penyingkapan sosok-sosok pribadi yang tinggal dalam diri Billy, yang kesemuanya berjumlah 24 kepribadian, terjadi setelah ia dirawat secara baik oleh Dr. David Caul di Athens Mental Health Center. Di situlah “Sang Guru”, yang merupakan fusi dari seluruh sosok pribadi Billy, bercerita tentang suka duka perjalanan hidup Billy, tentang bagaimana seluruh kepribadian itu lahir satu-persatu. Di bagian inilah para pembaca awam akan dapat lebih mudah memahami mengapa kepribadian majemuk itu mungkin terjadi pada diri seseorang.

Riwayat keluarga Billy memang cukup rumit. Ayah kandungnya bunuh diri saat ia balita. Di tengah keterjepitan kehidupan ekonomi keluarganya, ibunya sempat rujuk dengan mantan suaminya, Dick Jonas, meski tak bertahan lama. Kehadiran ayah tiri lainnya yang baru, Chalmer, ternyata semakin memperburuk beban psikologis Billy. Chalmer tidak hanya suka membentak Billy dan ibunya, tetapi juga beberapa kali melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan fisik kepada Billy. Bayang-bayang trauma dan ketakutan yang sangat terhadap perlakuan Chalmer inilah yang sepertinya banyak menjadi latar kemunculan sosok-sosok pribadi yang lain dalam diri Billy. Dapat ditegaskan bahwa pribadi-pribadi tersebut muncul sebagai reaksi atas trauma dan situasi tertekan yang bersifat kronis yang dihadapi Billy. Mereka “diciptakan” sebagai mekanisme pertahanan diri, dengan membangkitkan satu sisi tertentu dari diri Billy untuk menghadapi situasi yang tak tertanggungkan.

Terapi yang dijalani Billy setelah ia diputus tak bersalah dan upayanya untuk hidup sebagai orang normal memang tak berjalan mulus. Beberapa pemberitaan media yang cenderung menyudutkan Billy dan keterlibatan berbagai pihak menanggapi kasus yang sangat menggemparkan itu, baik pengacara, hakim, polisi, politisi, dokter, hingga petugas medis, cukup mengganggu proses terapi sehingga Sang Guru sempat menghilang. Padahal, kehadiran Sang Guru untuk memediasi dialog di antara sosok-sosok pribadi itu, untuk kemudian saling mengenal, berkomunikasi, dan saling membantu memecahkan masalah masing-masing, sangatlah diperlukan.

Bagian akhir novel yang edisi bahasa Inggrisnya terbit tahun 1982 ini berkisah tentang bagaimana Billy harus dirawat di tiga rumah sakit berpenjagaan maksimum selama dua setengah tahun, termasuk RS Lima, yang sempat membuat Billy cukup tertekan, hingga akhirnya kembali ditangani Dr. Caul di Athens. Selanjutnya, menurut Ensiklopedi Wikipedia, Billy bebas pada 1988 dan kini tinggal di California, memiliki Stormy Life Productions dan membuat film. Meski hingga kini masih berkepribadian majemuk, dia sempat menjadi penyelia dalam pembuatan film tentang kisah hidupnya sendiri, The Crowded Room, yang disutradarai Joel Schumacher.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Billy ini. Selain melengkapi novel-novel populer berlatar pribadi yang memiliki masalah mental yang belakangan cukup banyak terbit dan mendapat respons positif, termasuk novel Sybil karya Flora Rheta Schreiber yang berkisah tentang gadis dengan 16 kepribadian dan edisi bahasa Indonesianya hingga kini telah cetak ulang dua belas kali, secara khusus novel ini sekali lagi semakin mempertegas tentang efek buruk kekerasan terhadap anak. Meski bukan penyebab langsung, hampir semua penderita kepribadian majemuk memiliki riwayat kekerasan di masa kecilnya, seperti yang dialami Billy, yang dituturkan dengan sangat baik dan cukup detail oleh Keyes dalam buku ini.

Kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya masih menjadi persoalan yang cukup akut. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus (Kompas, 24/04/2003). Sementara itu, Kak Seto Mulyadi, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, memaparkan bahwa di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk (Kompas, 09/01/2003).

Ditambah lagi dengan pola perlakuan yang kurang bijak terhadap anak yang menderita keterbelakangan mental atau bermasalah. Bukannya dihadapi dengan kesabaran ekstra dan lebih telaten, mereka kadang dieksploitasi, ditelantarkan, dan atau dibatasi ruang geraknya. Dalam kasus Billy misalnya, dia sering merasa dipersalahkan atas sejumlah perilakunya di rumah, baik oleh ayah tiri maupun ibunya, sehingga merasa betul-betul tersudut, kehilangan sosok pelindung, rasa nyaman, dan kehangatan di keluarga, hingga bahkan tak dapat mengenali dan mendefinisikan identitas dirinya secara utuh.

Karya yang disusun atas dasar wawancara dengan sosok Sang Guru dan puluhan narasumber lainnya ini tidak saja mengajak kita untuk berbagi haru dan empati, tapi juga untuk mencoba memulai berbuat sesuatu yang lebih konkret untuk masa depan kehidupan anak-anak kita yang lebih baik. Dibutuhkan ruang-ruang sosial yang cukup kondusif dan bebas dari teror kekerasan, di tingkat keluarga maupun yang lebih luas, agar proses pengenalan diri dan penggalian potensi anak dapat benar-benar mengantarkannya kepada titik yang lebih utuh dan manusiawi.


0 komentar: