Rabu, 03 Agustus 2005

Karena Aku Bukan Matahari

Karena aku bukan matahari, karena aku manusia biasa, maka sejatinya aku tak sanggup berbagi kehangatan dengan takaran pasti, dengan gelombang konstan yang dapat dirangkum dalam rumus matematik. Aku tak dapat memberi asuransi, sampai kapan cahayaku akan dapat terus bertahan, sampai kapan cahayaku akan redup, raib ke entah.

Konon, matahari telah berumur 4,5 miliar tahun—sebuah usia yang tak terbayangkan jika dibandingkan dengan manusia. Sepanjang usia itu, matahari telah bertualang mengitari galaksi Bima Sakti sebanyak 18 kali. Di satu segi, ini cukup memperlihatkan keperkasaan matahari dalam melintasi ribuan generasi spesies di tata surya. Adakah pembanding lain yang dapat diajukan? Dengan 3,83 x 1026 watt kekuatan cahaya yang dipancarkannya, konon matahari akan menutup riwayatnya 7 miliar tahun mendatang. 8 miliar dari sekarang, matahari hanya akan menjadi bintang-kerdil-putih, dan tak lama kemudian mendingin selama bermiliar-miliar tahun, hingga begitu dingin, beku, dan tak sanggup lagi memancarkan cahaya.

Ada di mana kita saat itu? Di titik siklus kehidupan yang mana? Di halte mana? Jika memang ada semacam reinkarnasi, apa dan bagaimana kita saat itu? Atau, apakah kita ada di keabadian?

Karena aku bukan matahari, maka sekarang aku percaya bahwa cahayaku tak akan dapat dibagi sama untuk semesta, seperti matahari melakukannya. Karena aku bukan matahari, maka kalaupun aku dapat memijarkan cahaya, aku cukup yakin bahwa gelombang cahaya itu akan memberikan kehangatan energi yang berbeda pada objek yang tak sama. Manusia mungkin memang telah dikutuk untuk menjadi lokus paling tepat buat menjelaskan semacam teori atau asas ketidakpastian dan mekanika kuantum. Sebagaimana dalam agama aku diajari bahwa iman itu senantiasa mengalami pasang-surut, maka seperti demikianlah pula rasanya energi cahaya yang mendekam dalam tiap manusia. Tapi mungkin bukan pasang-surut. Dalam soal ini, lebih tepat dikatakan bahwa kualitas cahaya matahari diri itu berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan dan kedekatan personal-eksistensial dengan sebuah objek yang dihadapi. Dan situasinya demikian: aku sangat yakin bahwa sejauh menyangkut hubungan sesama manusia, tak semua orang akan dapat memiliki kepercayaan, kedekatan personal-eksistensial, atau semacam pemahaman dan empati, dengan tingkat yang sama. Hasilnya, kita akan terus berbagi dengan jatah yang tak pasti, seiring dengan terus berubahnya pemahaman kita terhadap sesama di sekeliling lingkungan kehidupan kita.

Karena aku bukan matahari, maka omong kosong bila aku mengatakan bahwa aku akan tak bersikap rasis dalam membagi cahayaku. Aku telah dikutuk untuk menjadi seorang “rasis”. Alam telah mematok hukum-hukumnya untuk manusia, dan kemudian menyebut itu sebagai sesuatu yang manusiawi. Alam telah membiarkan itu begitu saja, dan menyebutnya sebagai kewajaran alamiah yang harus diterima. Tapi aku ingin selalu berusaha untuk dapat memulihkan kutukan itu, agar aku tak semata menjadi rasis. Aku ingin menjadi seorang rasis yang baik. Aku ingin membagi cahaya dengan menuruti kata hati, menyerahkannya kepada hukum semesta, dengan kembali kepada hal-hal yang menjadi dasar kutukan itu sendiri, dengan selalu jujur dan tulus, dengan berusaha berempati dan menyelami cara pandang orang lain, sehingga aku dapat berbagi ruang pengertian dengan mereka.

Karena aku bukan matahari, maka maafkan aku, jika suatu saat aku tak selalu bisa memberi cinta, jika sorot cahayaku tak bisa merata. Maafkan aku, jika suatu saat aku memberikan takaran cinta yang tak sama. Tapi tolong catat satu hal: aku tetap berharap bahwa semuanya itu akan berujung di suatu ruang indah tempat harga kemanusiaan dijunjung dan diperjuangkan.


* Semacam sekuel dari posting sebelumnya yang berjudul "Aku Ingin Menjadi Matahari".

1 komentar:

Anonim mengatakan...

meski tak baca tapi coba komentar. sedikit aja. getto!!!