Perjalanan bangsa Indonesia setelah memasuki gerbang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini telah menapaki tahun yang ke-59. Untuk seorang manusia angka itu menunjukkan sesuatu yang sudah cukup lama, tetapi untuk sebuah bangsa angka itu mungkin ibarat beberapa tapak jejak dalam sebuah rentang perjalanan yang entah akan berakhir kapan. Tentu saja bangsa ini mengalami pasang-surut perjalanannya, terutama bila dilihat dari sisi kemerdekaan itu sendiri. Hengkangnya kaum penjajah di tahun 1945 baru merupakan pintu gerbang. Tapi selanjutnya, di saat-saat tertentu bangsa ini tersadar bahwa ternyata rintangan untuk terpenuhinya kemerdekaan yang sesungguhnya kadang masih kerap dijumpai dalam suasana yang bebas dari kaum penjajah asing.
Dalam sebuah tulisannya di Jurnal Prisma edisi Agustus 1985, Adnan Buyung Nasution mencatat bahwa esensi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah cita-cita luhur para pendiri bangsa ‘untuk memperjuangkan suatu derajat, kedudukan, martabat yang sama dengan manusia lainnya di seluruh dunia’, yang berarti ‘suatu perjuangan membela harkat dan martabat kemanusiaan, atau dengan kata umum, perjuangan hak asasi manusia.’ Kutipan ini sepertinya cukup bisa menjadi panduan untuk menilai apakah bangsa ini memang sudah benar-benar merdeka.
Tentu kita tidak boleh merasa kecewa bila yang didapat ternyata adalah jawaban negatif: bahwa masih banyak segi-segi hak kemanusiaan kita yang tercederai. Hak untuk mendapat pendidikan terbentur dengan gejala kapitalisasi pendidikan yang membuat rakyat miskin tidak terdidik dengan baik. Hak untuk mendapat penghidupan yang layak berhadapan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang mempersempit peluang perbaikan taraf kehidupan. Hak-hak politik rakyat juga menghadapi kesulitan karena para pemimpin dan partai politik lebih suka memanfaatkan rakyat dan tidak terlalu mendengar aspirasi mereka. Belum lagi rasa aman yang cukup sering terteror dengan peristiwa pengeboman yang membuat rakyat tidak tenang dan kadang menciptakan suasana yang tidak menentu.
Apa yang hilang dari terlanggarnya hak-hak kemanusiaan warga negara ini dari sudut pandang historis juga menunjukkan runtuhnya rasa kebersamaan yang sesungguhnya menjadi ciri dan modal perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Dengan merujuk pada tulisan Adnan Buyung tersebut di atas, ditunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama menjelang proklamasi Agustus 1945, melibatkan para pemimpin nasional seperti Soekarno, Hatta, Soepomo, A.A. Maramis, Soebardjo, dan yang lain, yang berjuang melalui sistem, dengan berkolaborasi dengan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Tapi ada pula gerakan-gerakan rakyat yang dipimpin oleh Sjahrir, Soekarni, Chairul Saleh, Adam Malik, dan sebagainya yang juga berjuang untuk kemerdekaan.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa dalam perjuangan yang betul-betul habis-habisan itu kebersamaan dan visi yang terbuka menjadi kekuatan tersendiri yang mampu mengatasi segala keterbatasan yang dimiliki saat itu. Pada akhirnya kemerdekaan justru didapat oleh gerakan rakyat yang menculik dan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Peneguhan terhadap pentingnya kebersamaan ini bisa didapat dengan mengundang seorang filsuf Prancis terkemuka, Gabriel Marcel (1889-1973). Tokoh yang bisa ditempatkan dalam jajaran filsuf eksistensialis ini menyatakan bahwa “Ada” itu selalu berarti “Ada-bersama” (esse adalah co-esse). Ini berarti bahwa relasi antar-manusia yang diistilahkan Marcel “Aku-Engkau” dalam tataran yang tinggi selalu mengandaikan adanya kehadiran (bahasa Prancis: prĂ©sence). Kehadiran di sini bukanlah dalam pengertian yang lazim dan objektif, tetapi lebih sebagai suatu wujud komunikasi yang melibatkan rasa kemanusiaan dalam suatu perjumpaan (rencontre) yang hangat. Itulah makna kebersamaan yang akan menyatukan “Aku-Engkau” dalam “Kita”, suatu kebersamaan yang betul-betul komunikatif.
Kebersamaan dalam model ini mensyaratkan adanya komitmen untuk tidak hanya memperlakukan orang lain dalam aspek-aspek fungsionalnya saja, seperti dalam relasi manusia dengan benda-benda (“Aku-Ia”). Kebersamaan di sini selalu berusaha meniupkan ruh kemanusiaan yang sesungguhnya, yang saat ini rentan diciutkan maknanya oleh proses birokratisasi dan pandangan-pandangan positivistik yang hanya mengedepankan aspek fungsi sesaat.
Untuk itulah, cara baca terhadap momentum kemerdekaan harus selalu dikaitkan yang proses pemerdekaan, yang menurut Ignas Kleden (Kompas, 16 Agustus 1999) merupakan bagian dari pemaknaan terhadap kemerdekaan sebagai proses serta sebagai tugas kesejarahan yang tak pernah berhenti. Praksis pemerdekaan ini kemudian bisa mendapatkan sudut pandang yang signifikan dari cermin kebersamaan yang begitu indah yang terentang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Kebersamaan ini tidak saja terlihat dalam ikhtiar-ikhtiar menuju proklamasi, tapi juga tampak setelah proklamasi itu sendiri, dalam proses perumusan sila pertama yang menggambarkan semangat kebersamaan dan saling pengertian yang mendalam.
Proses-proses sosial-politik yang saat ini berada dalam kerangka reformasi sepertinya kurang memerhatikan kearifan aspek kebersamaan yang sebenarnya begitu gamblang dalam sejarah bangsa ini. Salah satu tandanya adalah gejala depolitisasi massa yang masih belum terkikis di tubuh partai-partai. Kesibukan partai berhubungan dengan masyarakat bawah hanya terlihat menjelang dan pada saat pemilu seperti saat ini. Sementara di lain waktu, partai-partai kurang memberi porsi perhatiannya untuk membawa rakyat berpartisipasi dalam proses politik atau membantu mereka untuk dapat memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang ada. Masyarakat tidak didorong untuk mewujudkan ekspresi kebersamaannya untuk turut serta dalam proses pemerdekaan negeri ini dari nalar-nalar sempit dan kehendak untuk menimbun kuasa. Malah tidak jarang partai hanya difungsikan sebagai penyekat antar-golongan yang semakin mengikis dan menumpulkan rasa kebersamaan.
Seluruh elemen bangsa ini harus diseru untuk terus berupaya menyalakan kembali semangat kebersamaan dalam memperjuangkan pemerdekaan sebagai tindak lanjut dari tercapainya kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah asing. Gerakan rakyat selama perjuangan kemerdekaan negeri ini harus selalu diingat dan terus dihidupkan kembali dalam memori kolektif bangsa. Karena dari situ kita semua akan tersadar bahwa para rakyat itu juga memiliki kedaulatan yang sama untuk membawa negeri ini ke alam kemerdekaan sejati yang menghargai martabat kemanusiaan dan keberagaman.
Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 16 Agustus 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks for your visit and your comment.