Senin, 21 Juni 2004

Merengkuh Kembali Makna Keimanan Sejati

Judul buku : The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan
Penulis : Seyyed Hossein Nasr
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, November 2003
Tebal : lviii + 406 halaman

Keberagamaan setiap saat selalu tertantang oleh gerak kemajuan zaman. Pada Abad Pertengahan dan Modern, agama digempur oleh berbagai argumentasi filsafat rasional untuk dijungkalkan ke alam ketakbermaknaan dan nihilisme, sehingga muncul wacana tentang wahyu dan akal (agama dan filsafat). Pada era global ini, tantangan agama-agama adalah picu kekerasan dan konflik, kehidupan pluralistik, dan tanggung jawab merawat kedamaian dunia.

Belakangan ini, Islam sering kali dituding sebagai biang yang berperan penting dalam aksi-aksi teror dan kekerasan, seperti dalam peristiwa 11 September atau ledakan bom di Bali. Ini membuat Islam menjadi tertekan oleh serentetan stigma negatif. Akibatnya, salah paham semakin menjadi-jadi, dan partisipasi Islam sebagai sebuah agama dan gugus peradaban bagi keberlangsungan dunia yang lebih baik menjadi terhambat.

Dalam konteks dan formasi sosial yang demikian, Seyyed Hossein Nasr melalui karya terbarunya yang berjudul The Heart of Islam ini menyajikan sebuah paparan yang tidak saja bersifat apologis atau reaktif terhadap situasi tersebut, tetapi juga menegaskan spirit universal Islam yang terpendam sedemikian rupa dalam ajaran-ajarannya. Yang dilakukan Nasr dalam buku ini tidak saja upaya klarifikasi bagi orang di luar Islam atas salah tafsir yang terjadi, tapi juga kontekstualisasi dan refleksi atas sejumlah ajaran Islam menghadapi tantangan global yang begitu menantang.

Nasr membuka uraiannya dalam buku ini dengan dimensi teologis Islam. Dalam bagian ini Nasr menekankan keterhubungan Islam dengan gugus agama besar lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Nasr menegaskan bahwa Islam mengimani Tuhan Yang Esa (monoteis) dan juga mengakui nabi-nabi sebelum Muhammad (nabi kaum muslim). Ini berarti bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari rumpun agama Ibrahim dan memandang dirinya terkait erat dengan kedua agama tersebut. Meski begitu, Islam mengklaim sebagai pelengkap kedua agama itu dan sebagai bentuk terakhir dari pesan monoteisme Ibrahim. Islam adalah agama primordial sekaligus agama terakhir, sehingga ini menggambarkan karakter universal Islam serta kemampuannya untuk menyerap secara intelektual dan kultural berbagai hal dari tradisi sebelumnya.

Universalitas keimanan yang diakui Islam ini selanjutnya mendapatkan dukungan dari pengalaman historis Islam itu sendiri, manakala Islam mengalami kontak langsung dengan hampir semua agama mayoritas yang ada: Yahudi dan Kristen di Arab, agama Zoroaster dan Manichaeisme di Persia, Hindu dan Buddha di India, dan juga agama-agama Cina. Ini menjadikan budaya Islam berkembang ke arah perspektif keagamaan yang mendunia dan kosmopolitan.

Salah satu wujud keterbukaan ini terlihat dalam beragam corak keberislaman yang berkembang di seantero dunia: ada Sunni, Syi’ah, Wahhabi, dan sebagainya. Yang menarik, kekayaan spektrum Islam ini menjadi kompleks saat Islam berhadapan dengan hegemoni Barat dalam bentuk kolonialisme, yang dimulai dari penyerangan Napoleon atas Mesir pada tahun 1798. Bermunculanlah beragam respons terhadap kemunduran posisi umat Islam dalam kancah dunia. Nasr mencatat tiga sikap umat Islam yang berkembang. Ada kelompok yang berpandangan bahwa kaum muslim menjadi lemah karena penyimpangan yang terjadi dari ajaran keimanan yang murni, ada kelompok yang meyakini Mahdiisme, dan ada kelompok yang mendukung proses modernisasi Islam.

Meski demikian, Nasr mencatat bahwa ketiga sikap tersebut bukanlah yang dipilih oleh kebanyakan umat Islam. Menurut Nasr, “muslim tradisional” lebih memilih untuk merawat keberlangsungan tata cara hidup dan pemikiran Islam tradisional, bukannya mengedepankan reaksi dan apologi. Tentu saja ini tidak menafikan perlunya langkah pembaruan. Kelompok ini bukannya menentang apa saja yang datang dari Barat, tetapi lebih kepada penolakan atas pengaruh merusak dari budaya modern Barat yang mengancam nilai-nilai Islam—sama halnya juga bahwa ada sejumlah hal yang mengancam nilai-nilai Kristen dan Yahudi di Barat.

Pada bagian ini Nasr menggarisbawahi bahwa muslim tradisional ini tidak mengenal aksi-aksi kekerasan dalam menjaga keberlangsungan Islam. Tindakan yang islami adalah mempertahankan dan melakukan pembelaan diri. Kekerasan, bila bukan untuk pembelaan diri, dengan dalih apa pun tidak dibenarkan Alquran dan syariat.

Mengenai fenomena “fundamentalisme” yang kerap melancarkan aksi kekerasan atas nama agama, Nasr memberi catatan bahwa kita perlu melihat konteks terjadinya tindakan-tindakan kekerasan yang dimotori kaum fundamentalis itu dengan cara yang sama yang dengannya Barat mampu meletakkan peristiwa semacam pembersihan etnis oleh Serbia dalam konteksnya, dengan tidak mengidentifikasi kejadian tersebut sebagai tindakan yang hanya terkait dengan agama semata. Artinya, harus diklarifikasi latar belakang kejadian tersebut, dan jangan langsung secara apriori dikaitkan dengan agama. Nasr juga melancarkan kritis yang pedas bahwa sebenarnya tidak cuma fundamentalisme dalam agama yang berpotensi dogmatis, ekstrem, dan fanatik, tetapi juga fundamentalisme sekuler yang juga mampu mendatangkan agresi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Di bagian yang lain, Nasr juga berbicara tentang Hukum Tuhan, dan menegaskan bahwa syariat tidak hanya suatu hukum positif yang konkret, tapi juga suatu kumpulan nilai dan kerangka bagi kehidupan keagamaan kaum muslim yang mengandung nilai-nilai etis dan etos keagamaan itu sendiri. Inilah yang menjadi landasan bagi terciptanya suatu ummah (komunitas) yang diridai Tuhan. Dengan demikian, Nasr mengingatkan bahwa dari perspektif Islam, nilai suatu masyarakat di mata Tuhan terletak pada kualitas kebajikannya, ketinggian moralnya, dan bukan pada jumlah kekuasaannya.

Di tiga bab terakhir dari tujuh bab buku ini, Nasr menegaskan komitmen Islam terhadap nilai cinta, kedamaian, keadilan, dan tanggung jawab kemanusiaan.
Uraian dan refleksi Nasr yang begitu gamblang sepanjang buku ini bermakna penting karena Nasr mengajak kita untuk menemukan dan merengkuh kembali makna keberimanan dan keberislaman yang sejati dalam konteks sosial global saat ini. Yang khas dari Nasr adalah perspektif filosofis dan perennial yang begitu kental, sehingga paparannya tampak sebagai langkah introspeksi dan evaluasi diri terhadap berbagai segi ajaran mendasar agama untuk dikembalikan ke jantung maknanya yang hakiki. Langkah meneguhkan kembali nilai-nilai kebajikan dan kebijaksanaan dalam agama semacam inilah yang amat diperlukan saat ini menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan berat.



Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 20 Juni 2004.

0 komentar: