Selasa, 30 September 2003

Idealisme Kaum Muda yang Dinantikan

Judul buku: Area X: Hymne Angkasa Raya
Penulis: Eliza V. Handayani
Pengantar: Taufiq Ismail
Penerbit: DAR! Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, 2003
Tebal: xxiv + 368 halaman


Semarak kepenulisan dunia sastra tanah air yang belakangan semakin meriah kali ini semakin bertambah dengan hadirnya novel karya Eliza V. Handayani yang berjudul Area X: Hymne Angkasa Raya ini. Meski terhitung sebagai pendatang baru di lingkungan kepenulisan sastra Indonesia, nama Eliza patut diperhitungkan karena di samping usianya yang masih cukup belia (21 tahun), tema dan kisah yang diangkat dalam novel ini relatif jarang dirambah para penulis novel di Indonesia, yaitu fiksi sains.

Kita mungkin bisa mengajukan novel Supernova: Episode Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh sebagai novel dengan tema fiksi sains, karena di situ Dewi Lestari, penulisnya, menyajikan begitu banyak teori-teori fisika mutakhir. Bila Supernova mengandalkan kecanggihan teknik dengan cara menyaling-nyilangkan perjalanan kisah Dhimas dan Ruben secara berdampingan dengan kehidupan Diva, Ferre, dan Supernova, serta bumbu romantisme yang cukup kental, maka karya Eliza ini sarat dengan obsesi dan idealisme sosial berkait dengan Indonesia masa depan dalam konteks penguasaan teknologi dan masa depan peradaban dunia pada umumnya.

Obsesi dan idealisme itu terbungkus dalam model futuristik yang dipilih Eliza dalam menjalin kisah yang dirajutnya. Novel yang berasal dari naskah yang memenangkan Lomba Penulisan Nasional Film/Video 1999 ini (ketika itu Eliza masih duduk di kelas dua SMU Taruna Nusantara Magelang) mengambil setting Indonesia tahun 2015, ketika Indonesia (diimajinasikan) sudah cukup maju dalam bidang pencapaian teknologi. Saat itu seluruh dunia dilanda krisis energi minyak bumi yang menjadi ancaman cukup serius, termasuk Indonesia. Pencarian sumber energi alternatif oleh masing-masing negara digambarkan sebagai detik-detik yang begitu mencemaskan, karena di satu sisi dapat memicu meletusnya konflik global, bahkan kemungkinan penjajahan negara-negara lemah oleh negara-negara kuat.

Di tengah suasana itulah, kisah novel ini diolah dan disajikan dengan berporos pada satu pusat penelitian teknologi yang didirikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2005, bernama Area X (Area Kesepuluh), yang bergerak di bidang penelitian teknologi militer dengan status Ultra Top Secret. Status inilah yang menjadi magnet pemicu rasa penasaran bagi tokoh-tokoh novel ini. Kisah novel ini dibuka dengan penyusupan menegangkan yang dilakukan oleh Yudho dan Rocki ke Area X, hanya dengan maksud mempelajari sistem pengamanan di sana. Tapi tragis, Rocki tertangkap dan tahu-tahu meninggal tak lama setelah ia dibebaskan dari Area X.

Kemudian, Yudho, yang putus asa akibat kematian sahabat terkaribnya itu, ditemui Elly, seorang gadis muda yang menaruh minat terhadap fenomena UFO dan sangat curiga dengan aktivitas penelitian di Area X. Elly yang mengalami konflik dengan orang tuanya lantaran menaruh minat pada fenomena yang oleh masyarakat umum dinilai tidak ilmiah itu akhirnya bertualang bersama Yudho dan sejumlah kawan mudanya, Arfan, Tammi, Marina, dan Rendy, untuk menyibak misteri Area X.

Di banyak bagian novel ini, kerap ditemukan dialog, perbincangan, atau perdebatan tentang aspek-aspek teknologi dan masa depan peradaban dunia. Semuanya bertolak dari keprihatinan Elly atas krisis energi dunia dan kecurigaannya bahwa Area X berusaha menemukan teknologi Zero-Point dan Anti-Gravitasi guna mengatasi krisis tersebut dan menemukan media transportasi antar-galaksi yang memungkinkan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam di planet lain. Pengembangan teknologi ini diduga dipelajari dengan media bangkai pesawat UFO yang terjatuh di kawasan Hadeslan, sebuah kota satelit di pinggiran Jakarta.

Akhirnya, ketika Elly dan Yudho berhasil menyusup ke Area X, terkuaklah misteri pusat penelitian itu. Ternyata Area X memang diabdikan sebagai pusat pengembangan teknologi persenjataan yang dimaksudkan untuk menangkal ancaman serangan invasi para alien. Tapi bagi Yudho dan Elly, bila memang itu tujuannya, tidak semestinya umat manusia hanya mengandalkan pada teknologi dan keunggulan yang dipelajari dari para alien itu. Manusia menyimpan energi berharga berupa keberanian untuk mencipta dan mencinta. Tidakkah lebih baik bila umat manusia mengajarkan faedah hidup berdampingan yang penuh kedamaian, sebuah koeksistensi untuk bersama-sama merawat kehidupan.

Di tengah nyaris tidak adanya karya fiksi sains di negeri ini, novel ini menyimpan banyak sisi menarik. Tidak cuma dari sisi kebaruan tema yang diangkat dan kedalaman bacaan yang menjadi bahan rujukannya, tapi juga obsesi dan pesan tersirat yang digumamkannya ke hadapan pembaca menjadi kekuatan tersendiri. Obsesi Eliza terlihat dalam tema besar yang menggambarkan tantangan konkret masa depan teknologi di negeri ini serta dalam penokohan yang banyak diperankan oleh sosok-sosok muda berbakat dengan kuriositas dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa.

Secara lebih luas, dalam novel ini juga banyak ditemukan renungan-renungan, eksplisit maupun implisit, tentang makna keberadaan manusia yang dibenturkan dengan pencapaiannya di bidang teknologi. Yang menarik, Eliza banyak mengembalikan semua arus perenungan itu ke nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat mendasar dengan memberi penghargaan yang tinggi kepada nilai cinta, semangat hidup, kemanusiaan, dan kebersamaan. Di situlah terlihat keyakinan Eliza bahwa di antara selaksa krisis yang saat ini merintangi perjalanan bangsa ini untuk berbenah diri, termasuk juga tantangan di masa depan berupa krisis energi dan eksploitasi kekayaan alam yang dapat lebih bermanfaat, nilai-nilai mendasar itu dapat menjadi kekuatan luar biasa sehingga patut dikembangkan dan ditanamkan dalam-dalam.

Alur dan cara bertutur novel ini yang mirip dengan cerita detektif membuatnya asyik dibuntuti. Selain itu, deskripsi suasana di novel ini banyak yang tetap konsisten dan tema sains yang diangkat. Misalnya, ketika menggambarkan bagaimana Yudho dan Elly yang mulai jatuh cinta, Eliza menulis: “Mereka bagai dua planet kecil yang terlepas dari orbitnya, berkelana mengarungi angkasa kelam, tersesat dalam galaksi pencarian—kini mereka telah saling menemukan matahari mereka, tata surya mereka.”

Lebih dari itu semua, kehadiran novel karya Eliza, yang kini menempuh studi di Wesleyen University, Amerika, seperti membisikkan harap dan doa, bahwa semoga Indonesia di tahun 2015 masih tetap utuh, dan meraih sejumlah hal yang patut dibanggakan di kancah dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks for your visit and your comment.