Selasa, 28 Januari 2003

Menghargai Sejarah

Setiap arus waktu yang telah berlalu tak akan dapat lagi kembali. Bahkan, upaya untuk merangkumnya dalam suatu bentuk dokumentasi, bila itu diartikan secara ketat, hanya akan berakhir muspra. Apa yang telah berlalu, akan segera retak. Tetapi, manusia adalah makhluk dengan kemampuan untuk selalu mengatasi berbagai bentuk keterbatasannya, mentransendensi ruang-waktu menjelajah ke dimensi tak terbatas—masa lalu, masa depan, yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam impian, atau yang ada dalam kemungkinan. Dalam konteks inilah, manusia menurut Martin Heidegger (1889-1976) ditandai dengan ciri historisitas (historicity). Dalam pengertian ini, manusia adalah subyek sekaligus obyek sejarah. Di satu sisi, manusia terlahir dalam suatu kubangan sejarah tertentu yang akan terus membentuknya sepanjang waktu, sementara ia sendiri juga senantiasa berusaha melakukan pergulatan-pergulatan dalam bentuk inovasi-inovasi kreatif dalam rangka menapakkan jejak langkahnya di antara lorong-lorong sejarah.

Historisitas ini tidak saja melekat pada level individu, tapi juga berkait dengan tatanan kebudayaan suatu masyarakat. Kontinuitas perkembangan suatu peradaban direkam dan dirawat dalam dan melalui pita sejarah. Dalam wadah sejarah itulah akar tradisi yang mewujud nilai-nilai luhur diseduh untuk merengkuh identitas bersama masyarakat.

Akan tetapi dalam masyarakat kita, kesadaran terhadap sisi historisitas itu, baik dalam level individu maupun sosio-kultural, saat ini tanpa disadari tengah dikekang dan diblokade sedemikian rupa. Belenggu kesadaran itu bisa saja pernah bernama Rezim Totaliter yang maha meliputi semua relung kehidupan masyarakat, bisa juga rayuan untuk bergabung dengan tarian globalisasi yang kadang menganggap sejarah sebagai semacam sampah, atau bisa juga situasi yang menjemukan lantaran tidak betah merunut benang kusut yang dibiarkan sekian lama direnggut para penggadai kearifan sejarah.

Dalam konteks ini patutlah kita menyimak pandangan Goenawan Mohamad, yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak ada institutional memory yang mampu menghubungkan pengalaman antar-generasi, sehingga kesadaran sejarah sulit terbentuk. Situasi semacam ini menjadikan masyarakat begitu rentan terhadap arus raksasa bernama globalisasi yang berpotensi menyeret masyarakat dari dekapan nilai-nilai lokal.

Memang globalisasi merupakan sesuatu fakta sejarah yang tidak tertolak walaupun tak dapat dipungkiri bahwa ia juga memiliki sisi-sisi positifnya. Tapi patut disadari bahwa bagaimanapun denyut nadi dan perkembangan suatu masyarakat yang sebenarnya akan banyak ditentukan oleh pemaknaan terhadap aliran darah sejarah yang berwujud tradisi (yang bersifat lokal) yang memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Tradisi yang dimaksudkan di sini sejalan dengan yang telah didefinisikan Marshall Hodgson, yaitu sebagai suatu dialog yang hidup dan berakar pada referensi bersama atas peristiwa-peristiwa kreatif tertentu dari masa lampau. Dari situlah suatu masyarakat dapat merumuskan bersama-sama visi dan orientasi ke depan. Dari situlah para generasi menemukan anak tangga yang begitu berharga untuk akhirnya tiba di suatu kebudayaan yang mampu mengaktualisasi nilai-nilai keberadaban dan kemanusiaan.

Namun demikian, persoalan yang dihadapi masyarakat kita saat ini, terutama di kalangan para generasi baru, adalah sulitnya akses yang cukup memadai untuk terlibat kembali ke pengembaraan kekayaan tradisi atau sejarah kebudayaan masyarakatnya. Berbagai fasilitas sosial yang dapat merujukkan pengalaman aktual para generasi baru kepada tatanan nilai para pendahulunya kurang mendapat tempat yang cukup diperhatikan. Museum-museum sudah terlalu kering dan hambar, pelajaran sejarah lokal di sekolah sudah punah, dan kesenian-kesenian daerah kalah dengan musik-musik populer. Pun, tak ada lagi cerita sebelum tidur tentang legenda-legenda masyarakat daerah, karena para orang tua sudah digantikan perannya oleh sang kotak ajaib bernama televisi.

Keadaan yang demikian ini menuntut perhatian semua pihak yang masih mau menghargai sejarah untuk bersepakat bahwa di sanalah sebenarnya rumah tinggal jiwa kebudayaan kita. Di atas landasan kesadaran semacam ini seluruh elemen masyarakat dapat segera memulai mengikatkan kembali temali tradisi ini ke tiang-tiang penyangga kebudayaan masa depan. Dengan langkah-langkah kecil ini dimungkinkan masyarakat kita akan dapat menegaskan kembali identitas kulturalnya sehingga dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rasa percaya diri dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Jejak langkah sejarah tidak boleh dibiarkan punah, karena di situlah para leluhur menanamkan petuah-petuah.

Januari 2003

0 komentar: