Selasa, 05 November 2002

Antara Representasi dan Simulasi

Judul buku : Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi dan Simulasi
Penulis : Ratna Noviani
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan CCSS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2002
Tebal : 157 halaman


Kritik Marx tentang eksploitasi kelas pekerja dan kaum proletar yang berada dalam asuhan sistem ekonomi kapitalisme akhir-akhir ini sudah tidak lagi mencukupi untuk mewadahi arus perubahan sosial di masyarakat. Seiring dengan pergeseran model kapitalisme yang kini tidak lagi berpusat pada aras produksi, melainkan pada level konsumsi, sejumlah teoritisi sosial menggenapi kritik Marx dengan memberi sejumlah peringatan perihal terkekangnya konsumen dalam menentukan aktivitas konsumsi sehari-hari. “Ketertindasan” konsumen ini memang nyaris tak terlihat oleh pandangan biasa, sebab argumen yang dibangun berlindung di balik dalih kebebasan individual.

Pada titik inilah, perbincangan mengenai iklan menjadi signifikan, karena dalam konteks ini, di satu sisi iklan adalah motor penggerak roda sistem ekonomi yang menjaga keseimbangan antara produksi massal berbasis industri dengan konsumsi masyarakat, dan di sisi lain iklan menjadi motif pendorong aktivitas konsumsi yang mampu mendefinisikan suatu barang dalam kerangka kebutuhan pribadi seseorang.

Dari sisi teori-teori komunikasi, dijelaskan bahwa ada dua perspektif teoritis dalam mendedahkan fenomena iklan, yang merujuk pada tiga kata kunci: realitas, representasi, dan simulasi. Perspektif pertama menerangkan bahwa iklan muncul dengan menghadirkan kembali (representasi) realitas sosial. Dalam prosesnya, iklan tidak semata-mata merepresentasikan realitas, tapi juga memberi perspektif baru, memilah, dan menonjolkan segi-segi tertentu dari realitas yang diangkat. Sementara menurut perspektif kedua, yang dalam hal ini merujuk pada sosok filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard, justru iklan menjadi salah satu mesin pencipta dunia hiper-realitas yang terdiri dari citra-citra yang saling mengkait, sehingga menjebak masyarakat hidup dalam realitas semu. Inilah Era Simulasi, ketika teknologi informasi, media massa, dan komputerisasi melahirkan efek citra, simulakra, dan rimba tanda yang mengantar masyarakat dalam sebuah taman impian.

Buku ini adalah sebuah kajian kritis terhadap dua perspektif teoritis tersebut, yang berkeyakinan bahwa sebenarnya memahami fenomena iklan tidak harus terjebak ke dalam titik ekstrem salah satu cara pandang tersebut di atas. Dengan mengambil contoh lima buah iklan yang pernah cukup populer (yakni iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi, Clear Menthol versi Siapa Takut?, wanita-wanita Lux, Sari Ayu versi Mentari Pagi Bromo, dan iklan Majalah Tempo versi Bangunlah!), buku ini berkesimpulan bahwa iklan tidak hanya bersifat pasif menyerap citra, tetapi juga aktif berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga konteks sosial dari kehadiran suatu iklan juga dapat mengemuka. Di sinilah lalu terjadi dialektika antara citra dan realitas dalam panggung realitas yang dihadirkan iklan itu sendiri.

Ambil saja contoh iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi. Iklan yang diluncurkan pada tahun 1998 ini menjadi semacam seruan kepada masyarakat untuk ikut menunjukkan partisipasi nyata dalam proses reformasi sosial-politik yang tengah berlangsung (inilah aspek representasinya). Semboyan Bukan Basa Basi yang melekat pada A Mild, yang semula merujuk pada kadar tar dan nikotin A Mild yang rendah, lalu dapat ditafsirkan sebagai pernyataan serta ajakan untuk berbuat yang lebih nyata. Ada semacam usaha penciptaan citra bahwa Sampoerna A Mild juga memiliki sense of crisis dan peduli dengan proses perubahan sosial. Kalimat "Waktunya Unjuk Gigi" di satu sisi menggambarkan terbukanya pintu kebebasan yang sebelumnya tak diperoleh—tapi nyatanya sebelum reformasi juga ada beberapa suara kritis yang menentang rezim (inilah aspek simulasinya). Pun di sini tampak nuansa ideologis yang berusaha ditampilkan A Mild, bahwa mereka memiliki semacam emosi nasionalisme.
Tapi juga tak jarang proyeksi visi ideologis yang muncul dari suatu iklan justru berpihak pada status quo yang kurang menguntungkan bagi proses transformasi sosial yang bernuansa egaliter. Ini terlihat dalam iklan sabun Lux maupun tata rias Sari Ayu yang meneguhkan konstruksi sosial atas peran domestik kaum perempuan. Dalam kedua iklan tersebut, sosok perempuan ditonjolkan sisi domestiknya, serta kurang diberi ruang untuk mengekspresikan peran sosialnya.

Studi yang dilakukan buku ini pada akhirnya menerbitkan beberapa hal penting. Berkait dengan perkembangan teoritik, buku ini berusaha mensintesakan dua arus teori yang mencermati fenomena iklan, yang dicontohkan dengan baik dalam kasus lima iklan tersebut di atas. Berkait dengan arah perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat yang bertumpu pada perkembangan kapitalisme, buku ini menjadi semacam seruan kepada khalayak agar secara kritis dapat mencermati dan memosisikan iklan dalam proporsi yang tepat, sehingga masyarakat tidak masuk dalam jejaring budaya konsumsi yang hedonistik. Meski kelima iklan yang dikaji di buku ini terbilang "basi", tapi relevansi buku ini tetap kuat karena memang buku kajian tentang iklan di Indonesia yang bersifat empiris masih amat minim.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2002.


0 komentar: