Senin, 18 November 2002

Bahasa, Yang Menjelma Jendela

Bulan ini bulan bahasa. Di bulan ini, orang-orang memperingati kekuatan serangkaian bunyi dan aksara, yang dulunya sanggup menyatukan bangsa, mengantarkan warga menuju gerbang kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia. Tapi itulah sejarah, yang kini mungkin sudah tak lagi bertuah, bahkan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pewaris sah darah juang para pahlawan. Sekarang adalah tahun 2002, suatu anak tangga yang retak-retak di awal milenum ketiga; bukan lagi Oktober 1928, yang udaranya dipenuhi bara gelora yang sanggup menggerakkan dan menghimpun kekuatan bangsa.

Saat ini, masihkah kita bisa berharap pada kekuatan bahasa, untuk kembali mengantarkan bangsa ini ke sebuah ruang masa depan yang lebih bermakna? Adakah bahasa masih dapat menyisakan kekuatannya ketika sekian lama ia dipecundangi dan dilumuri dengan ambisi dan ketidakjujuran yang seringkali malah dibangga-banggakan? Otoritarianisme Orde Baru sepanjang lebih dari 30 tahun telah memerkosa bahasa sedemikian rupa, sehingga setiap kata diabsahkan tafsirnya dalam suatu kamus tunggal penguasa. Rakyat tak lagi berdaya menentukan makna, menjiwai bahasa.

Tapi reformasi terbukti tidak sekonyong-konyong menyediakan ruang yang melegakan bagi unit-unit bahasa untuk mementaskan kejernihannya. Reformasi masih juga tak kunjung bersih dari asap sisa pembakaran, halimun, atau juga endusan nafas angkuh yang selalu mencari celah untuk berselingkuh. Bahasa yang hanya menjadi sebentuk jargon malah tak dapat dibendung kehadirannya. Spanduk-spanduk, pamflet, salebaran, dari yang bernada membujuk hingga yang provokatif (dari level biasa hingga yang berbau ancaman) terpampang di tempat-tempat umum, disebar untuk menggalang kekuatan politik massa.

Dengan kata lain, belum ada ruang publik yang sanggup menampung pengungkapan bahasa yang dapat memaparkan lempeng ketajaman logika yang tertata dan disepuh permata ketulusan. Pertanyaannya, di manakah dimensi itu kini berada, di antara sejumlah harapan dan keinginan yang selalu terintangi oleh sekian bencana? Ke arah mana sebenarnya para elit bangsa sedang berpikir, sadar atau tidak, tentang bahasa dalam kerangka masa depan bangsa?

Hal yang cukup mendesak saat ini adalah bagaimana memosisikan kembali bahasa dalam kesadaran kolektif bangsa sebagai sebuah media penghantar menuju kemenyatuan aras rasional yang jernih dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Sudah cukup lama bangsa ini menjadikan bahasa tidak sebagai jendela, tapi sebagai sekat yang semakin mengentalkan komunalisme, fanatisme, dan jargonisme. Masyarakat dirintangi untuk dapat menikmati kejernihan tatanan bahasa yang sanggup membuka mata dunia, membelah akal majal yang selama ini hanya menerpurukkan bangsa dalam perasaan saling dendam.

Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang membebaskan, ungkapan polos rakyat bawah yang memiliki kejujuran dan ketulusan, tuturan kaum ilmuwan yang berpegang pada prinsip dasar epistemologis pengembangan pengetahuan, bahwa titik akhir suatu ilmu adalah prinsip etis yang indah dan bermoral. Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang sanggup merobohkan dinding pembatas kelompok, mempertemukan dalam satu ruang perjamuan kemanusiaan, meleburkan hasrat jahat dan mengangkat niat bulat demi mengecap nikmat yang hakikat.

Di bulan bahasa ini, kita diajak bersama-sama mengail kembali kearifan sejarah dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Bersama ini pula, seluruh komponen bangsa diseru untuk melepas atribut partikular kediriannya untuk menyatu dalam satu rombongan besar kebangsaan. Lalu, bahasa, yang menjadi latar peristiwa sejarah ini, kita kembalikan dalam kefitriannya yang paling dasar: sebagai bentuk cara berpikir yang relatif steril dari sesat pikir, kontradiksi, dan ketidakmasukakalan. Bersama inilah, kita semua berharap agar cara berkomunikasi kita semakin dipulihkan, dengan mengandalkan kejernihan nalar dan kejujuran suatu niatan. Bukan cuma dalam level komunikasi sosial sehari-hari, tapi juga dalam soal pengembangan ilmu, pemilihan opsi keputusan publik, juga media massa.

Masa depan bangsa ini, di antaranya, mungkin saja terselip di antara baris-baris aksara, baik yang meluncur di antara lisan orang-orang, atau yang terpahat di pagina-pagina terbitan buku, harian atau mingguan. Memulai berbenah dari titik paling rendah, di antara jejak langkah sejarah dan masa depan yang cerah, adalah sebentuk pertanggungjawaban kita sebagai anak bangsa.

Tulisan ini dimuat di Rubrik "Budaya" Harian Jawa Pos, 17 November 2002.

0 komentar: