Minggu, 11 Agustus 2002

Mengurai Perselingkuhan Sejarah Ide

Judul Buku: The Archaeology of Knowledge: Menggugat Sejarah Ide
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2002
Tebal: 306 halaman


Sebagai salah seorang filsuf posmodern, Michel Foucault (1926-1984) dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup kontroversial. Yang unik dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini adalah tema-tema yang dia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara, rumah sakit, hingga sejarah seksualitas.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1969 ini merupakan refleksi penulisnya atas tiga buku yang telah ditulis sebelumnya, yakni Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, dan The Order of Things. Buku ini berusaha memberikan pertanggungjawaban metodologis atas pisau analisis yang digunakan dalam tiga buku tersebut, yakni metode yang disebut analisis arkeologis.

Secara harfiah arkeologi berarti ilmu purbakala, yang mempelajari kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda-benda peninggalan. Di tangan Foucault, arkeologi memang masih menjadi semacam alat gali sejarah yang digunakan untuk menguraikan lintasan sejarah ide-ide sehingga pada akhirnya membentuk suatu sistem pemikiran tertentu. Tetapi, lebih dari itu, di tangan Foucault arkeologi menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mendedahkan perselingkuhan rezim-kebenaran-yang-nyaris-tidak-kehilangan-legitimasi-ilmiahnya.

Sebagai sebuah perangkat penelitian yang berkaitan erat dengan sejarah, ada filosofi mendasar yang unik dan jauh berbeda dengan pandangan sejarah konvensional. Dalam konteks analisis arkeologis ini, Foucault menolak progresivitas sejarah, kontinuitas, dan juga totalisasi subyek sejarah. Kecenderungan penerimaan konsep semacam ini menurut Foucault adalah usaha untuk mengingkari perbedaan-perbedaan yang ada dalam pergolakan masyarakat sepanjang sejarah.

Desentralisasi subyek yang dilakukan Foucault dalam penelitian sejarah arkeologisnya ini lebih memberi tempat pada diskontinuitas yang selanjutnya didudukkan secara positif. Sejarawan tidak perlu menghindari atau bahkan mengingkari diskontinuitas sejarah, karena dari situlah sebenarnya ditemukan bagaimana suatu sistem gugus pemikiran bergeser ke sistem yang lain.

Dengan dasar asumsi seperti tersebut di atas Foucault kemudian lebih tertarik untuk menguraikan regularitas suatu praktik diskursif, aturan-aturan apa saja yang mewadahi suatu praktik wacana sehingga mengarahkan suatu pemikiran. Untuk menjelaskan hal ini Foucault menemukan tiga konsep penting, yaitu positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah ruang lingkup komunikasi di antara para ilmuwan, pengarang, pemikir dan bahkan orang pada umumnya sehingga memungkinkan terjadi dialog-tanpa-terencana-dan-tanpa-disadari antar berbagai pernyataan. Suatu positivitas dimungkinkan oleh suatu aturan main yang disebut apriori historis, yang diandaikan begitu saja dalam suatu diskursus. Semua ini akan menghasilkan sistem pernyataan, sistem pembentukan pernyataan dan sistem transformasi pernyataan yang oleh Foucault disebut arsip.

Dari ketiga dasar konseptual pembentukan suatu wacana itu, Foucault mencatat pentingnya “pernyataan” (statement, enonce) yang menjadi unit elementer setiap gugus diskursif. Dalam praktik penelitian arkeologis, Foucault memang mengabaikan unsur “pengarang” dalam setiap pernyataan. Yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana fungsi penyampaian suatu pernyataan sehingga membentuk suatu formasi teks menjadi sistem kode yang eksis, saling bertaut, dan akhirnya mengarahkan pada suatu gugus pemikiran tertentu. Berbagai gugus pemikiran ini lambat-laut membentuk titik-titik diskursif dan jalinan inter-referensial yang pada akhirnya mengantarkan kepada suatu corak epistemologis tertentu. Soal siapa yang berbicara dan menyampaikan suatu “pernyataan” menjadi kurang penting, karena yang memberikan titik diskursif suatu “pernyataan” itu bagi Foucault bersifat relatif, dan maka dari itu ruang yang ditempati “pembicara” suatu “pernyataan” ibarat ruang lowong yang dapat diisi oleh siapa saja yang dianggap berkompeten. Dengan pandangan ini, Foucault tidak enggan meneliti data-data sejarah yang selama ini disepelekan, seperti pamflet, surat perjanjian, data pemeriksaan dokter dan sipir penjara, dan sebagainya.

Sistem gagasan memang kadang hadir dengan suatu konspirasi tingkat tinggi yang nyaris tak terlihat. Dengan analisis arkeologisnya ini, Foucault terbukti telah cukup berhasil mengangkat segi-segi bisu dalam sejarah peradaban, subyek-subyek yang dibungkam kehadirannya dan terpinggirkan dalam sejarah. Di sinilah tampak segi penting dari buku ini yang menyajikan suatu perangkat metodologis yang cukup tajam untuk membedah realitas sosial yang timpang. Buku ini tidak saja berhasil menunjukkan kekurangan penelitian sejarah (pemikiran, sosial) yang telah ada, tapi juga cukup berhasil memberi tawaran alternatif berupa proposal metodologis bagi suatu horison pemikiran yang lebih adil dan berimbang.

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 11 Agustus 2002.

0 komentar: