Sabtu, 22 Juni 2002

Metamorfosis Kaum Sarungan

Judul Buku : NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam
Penulis : Mujamil Qomar
Pengantar: Azyumardi Azra
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2002
Tebal: 367 halaman


Stigma bahwa kalangan NU adalah masyarakat yang kolot, berpikiran tertutup dan jumud, saat ini sudah menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan. Buku yang semula disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberikan kesaksian secara lebih rinci tentang bagaimana perubahan itu terjadi, terutama pada ranah epistemologis. Buku ini menelaah dinamika pemikiran Islam di bidang sosial keagamaan pada sembilan tokoh NU. Kesembilan tokoh itu dipilih berdasarkan kecenderungan karya pemikirannya yang dianggap melampaui label tradisional yang biasa dilekatkan kepada orang NU. Kesembilan tokoh itu adalah Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Said Agiel Siradj, Masdar Farid Mas'udi, Sjechul Hadi Permono, Muhammad Tholchah Hasan, Abdul Muchith Muzadi, dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

Dalam studinya ini, Mujamil Qomar menunjukkan bahwa terjadinya arus perubahan itu dipicu oleh beberapa aspek. Antara lain adalah pilihan NU untuk kembali ke Khittah 1926 semakin mempertegas identitas dan aras perjuangan kultural NU, sehingga mampu menghidupkan kembali kantong-kantong intelektual yang sebelumnya terabaikan akibat terlalu berkonsentrasi pada isu sosial-politik. Ini terjadi secara meluas, tidak hanya di kota-kota besar saja.

Situasi yang demikian kemudian membuka kesempatan bagi bertemunya dasar-dasar pemikiran tradisional yang mereka kuasai secara baik dengan berbagai pemikiran yang bersifat metodologis dan berbau modern. Perjumpaan inilah yang pada titik tertentu melahirkan gagasan-gagasan yang nyaris berbeda dengan tradisi pemikiran NU sebelumnya.

Berdasarkan uraiannya, kesembilan intelektual NU tersebut oleh Mujamil Qomar dipetakan dalam lima tipe pemikiran, yakni antisipatif (Muhammad Tholchah Hasan), eklektik (Masdar Farid Mas'udi dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh), divergen (Abdurrahman Wahid, Said Agiel Siradj, dan Sjechul Hadi Permono), integralistik (Ali Yafie), dan responsif (Achmad Siddiq dan Abdul Muchit Muzadi).

Liberalisme pemikiran kesembilan tokoh ini memang telah merambah berbagai medan pemikiran, mulai dari soal membangun teologi inklusif-pluralis, fikih yang berkeindonesiaan, kesetaraan gender, perluasan pengertian ahlussunnah, dan sebagainya. Bahkan, ada yang sampai menyentuh pada beberapa konsep kunci di level metodologis. Masdar F. Mas'udi misalnya, yang memberikan pemaknaan baru terhadap konsep zakat, mendasarkan uraiannya pada dekonstruksi konsep qath`iy dan zhanniy. Menurut Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) ini, yang qath’iy (bersifat pasti, tidak berubah) itu adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang merupakan jiwa hukum itu sendiri, sedang yang zhanniy (tidak pasti dan bisa berubah) adalah seluruh ketentuan normatif yang pada dasarnya adalah upaya penerjemahan yang qath’iy tersebut. Konsep ini juga digunakan Masdar untuk menafsir ulang beberapa segi dari fikih perempuan dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.

Pemikiran yang bersifat terbuka juga tampak dari pemaknaan ulang Said Agiel Siradj terhadap konsep ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Menurut Said Agiel aswaja adalah suatu bentuk metode berpikir, dan bukan merujuk pada mazhab tertentu, sehingga konsep tersebut memecah dikotomi-bipolar antara Sunni-Syi`ah atau Sunni-Mu`tazilah. Sementara para pemikir lainnya yang menggagas corak teologi inklusif tidak saja hanya berhenti pada level wacana, tapi juga konsisten dengan aksi-aksi nyata di lapangan. Dalam konteks ini, Gus Dur menjadi lokomotif yang mengomandani berbagai pemikiran dan aksi inklusif-pluralis tersebut.

Efek menggeloranya pemikiran liberal di kalangan NU ini hingga sekarang telah meninggalkan pengaruh yang cukup luas. Metamorfosis yang cukup signifikan ini pada satu sisi memang menjanjikan arah perubahan yang masih belum tertebak. Tapi yang pasti, kecenderungan lahirnya pemikiran-pemikiran yang melintas-batas dan kritis ini patut disambut dengan baik, dengan harapan akan dapat memberi warna yang lebih beragam terhadap dinamika pemikiran Islam di Indonesia.

0 komentar: