Sabtu, 15 Juni 2002

Menjegal Fenomena Ritualisme

Konteks kebebasan yang tumpah-ruah semenjak bergulirnya reformasi telah memungkinkan terbukanya peluang berbagai arus pemikiran untuk dialirkan ke seluruh ruang publik. Tidak hanya pemikiran atau praksis sosial-politik saja yang menikmati angin segar ini, tapi juga berbagai pemikiran di bidang keagamaan pun memperoleh kesempatan untuk memperbarui kembali ajaran-ajaran keagamaannya. Hal ini dari suatu perspektif juga tidak lepas dari usaha untuk menguatkan peran agama dalam proses perubahan Indonesia di masa depan.

Tapi ternyata konteks yang sedemikian kondusif bagi progresivitas peran sosial agama di masa depan itu terbentur dengan kecenderungan menguatnya fenomena ritualisme. Menurut sebuah penelitian yang diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta yang dilakukan di 16 provinsi dan melibatkan 2000 responden (Tempo, 30 Desember 2001) tentang penghayatan keberagaman umat Islam di Indonesia, terungkap kesimpulan bahwa semakin saleh seseorang “menghayati” agama, semakin tinggi sikap intoleransi terhadap kelompok lain.

Data dari penelitian itu menunjukkan bahwa memang di satu sisi terjadi peningkatan kesalehan ritual yang cukup signifikan: 77,1% dari responden mengaku selalu melaksanakan salat lima waktu, dan 81,4% selalu berpuasa di bulan Ramadan. Tapi anehnya, hampir 87% kaum muslimin itu mengaku punya kelompok yang tidak disukai dan tidak bisa menerima partisipasi kelompok yang tidak disukai itu jika sampai aktif di tengah masyarakat.

Kecenderungan ritualisme yang terbaca dari hasil penelitian tersebut secara nyata telah menyuburkan lahan sikap eksklusif di kalangan umat beragama. Dari sini kemudian muncul pertanyaan mendasar berkaitan dengan watak pembebasan dan karakter transformatif agama yang erat dengan sifat inheren agama yang bersifat humanistik. Berkaitan dengan problem tersebut, tulisan berikut mencoba untuk menyodorkan dua perspektif sebagai upaya menjegal meluasnya kecenderungan ritualisme dalam masyarakat beragama (baca: Islam) Indonesia. Pertama, melihat kembali hakikat ibadah (ritual) dalam agama, dan kedua, pemikiran tentang semakin mendesaknya penguasaan ilmu-ilmu sosial-humaniora untuk menajamkan perspektif, pengayaan wawasan, serta pemahaman obyektif tentang realitas sosial yang dihadapi umat.

* * *
Ritus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 959) berarti tata cara dalam upacara keagamaan. Aspek ritual adalah sesuatu yang mesti ditemukan dalam berbagai sistem institusi sosial (negara, partai politik, organisasi sosial), termasuk agama. Akan tetapi, dalam suatu sistem institusi agama, aspek ritual ini memiliki posisi yang khas dan unik.

Nurcholish Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban (1992: 57-71) memosisikan ibadah sebagai institusi iman. Agama pada level yang paling mendasar merupakan suatu sistem kepercayaan (iman). Ritus atau ibadah di sini menurut Nurcholish berfungsi untuk memperkuat iman, memberikan kesadaran yang lebih tinggi tentang implikasi keberimanan itu dalam wujud dan implikasi yang lebih konkret, yakni amal perbuatan. Pada titik inilah ibadah kemudian menjadi semacam penghubung antara iman yang abstrak dan amal yang konkret. Berdasarkan hal tersebut, maka ibadah dapat disebut sebagai pelembagaan iman.

Dalam konteks keberimanan, ibadah di sini juga berfungsi untuk menjaga stabilitas relatif iman itu sendiri. Hadits Nabi yang begitu terkenal mengungkapkan bahwa iman itu senantiasa bertambah dan berkurang kadarnya secara relatif. Intensionalitas iman ini tentu berbanding lurus dengan kompleksitas variabel kehidupan yang turut memengaruhi iman seseorang: pendidikan keluarga, kebudayaan lokal yang membesarkannya, afiliasi sosial-politik, atau arus perjumpaan kultural dengan individu dan kultur yang beragam (konteks global). Di sinilah ibadah berfungsi untuk terus menyegarkan iman dalam kesadaran keberimanan tiap individu.

Sebagai tempat bertemunya dimensi iman dan amal, ibadah di sini tentu saja tetap mengacu kepada hakikat tawhid atau pengesaan terhadap Tuhan yang pada satu sisi berarti pengakuan keagungan Zat Yang Mahakuasa dan pada sisi yang lain berarti keberserahan manusia pada Zat Yang Mahakuasa itu. Implikasinya, penghambaan yang pantas hanyalah untuk Tuhan, lain tidak. Dalam konteks inilah setiap individu harus cermat dan waspada terhadap berbagai bentuk penghambaan terselubung, termasuk penghambaan-pada-diri-sendiri, yang bila disandarkan pada landasan iman tertentu akan mencederai keagungan makna iman itu sendiri.

Kembali lagi kepada kaitan ibadah dengan amal, ibadah juga memiliki efek solidaritas. Agama itu sendiri pada dasarnya memang memiliki dimensi solidaritas yang mampu mempertautkan beragam ranah diferensiasi sosial. Tetapi ibadah karena pada satu sisi juga mengacu kepada konkretisasi menuju amal, maka hal itu berarti adanya tuntutan ketulusan makna ibadah tersebut yang terwujud dalam bentuk solidaritas kemanusiaan yang dalam.

Dalam sebuah surah Alquran yang seringkali dikutip, yakni Surah al-Ma`un, digambarkan bagaimana Allah mengancam orang-orang yang taat melaksanakan salat tapi abai terhadap nasib kaum yatim dan miskin. Abdullah Yusuf Ali dalam terjemahan surah tersebut, yakni dalam buku The Meaning of The Holy Qur’an: Complete Translation with Selected Notes (1997: 671), memberikan catatan bahwa surah ini berbicara tentang ibadah sejati, yang menuntut landasan iman serta cinta yang bersifat praksis dan bernilai guna, serta ketulusan. Sementara Nurcholish Madjid mencatat bahwa surah ini menegaskan bahwa tiadanya keinsafan sosial merupakan indikasi kepalsuan dalam beragama, dan bahwa kegiatan ibadah seperti salat justru dikutuk bila tidak melahirkan keinsafan sosial.

Beberapa perspektif dari uraian di atas tentang ibadah secara jelas membuka mata kita bersama betapa sebenarnya ibadah tidak dapat dilihat semata-mata dari dirinya sendiri. Bahkan ternyata bila dikaitkan dengan aspek iman atau amal, ibadah menuntut kesadaran mendalam akan makna dan nilai kemanusiaan yang mesti diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Kelekatan yang tak terhindarkan antara ibadah dan amal di sini pada gilirannya menuntut adanya suatu langkah dan proses konkretisasi yang setia kepada komitmen iman itu sendiri, demi meminimalkan distorsi pemahaman dan praksis amal. Pada titik inilah perspektif kedua yang berkaitan dengan fenomena ritualisme ini, yakni semakin perlunya kolaborasi ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora, menjadi penting untuk dibicarakan.

Pemikiran ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran realitas sosial yang tanpa sengaja terlepas dari komitmen iman akan mewujud sebuah perilaku sosial yang diam-diam berseberangan dengan cita-cita luhur iman itu sendiri. Dari sisi yang lain, ritualisme dalam praktiknya seringkali duduk berdampingan dengan nalar formalistik. Ritualisme pada sisi ini kadang-kadang terjadi karena kebuntuan nalar agama (yang sempit dan terkungkung) membaca kompleksitas dinamika sosial sehingga nalar ritualistik yang berkembang berjalan seiring dengan nalar formalistik: bahwa pemecahan yang mungkin adalah kembali kepada teks agama secara “otentik” (baca: tekstual). Konsekuensi paling buruk dari hal ini adalah diterimanya kembali nalar eksklusivistik berhadapan dengan carut-marut problem sosial.

Menyikapi hal ini pentinglah kiranya disiplin ilmu-ilmu keagamaan memperkaya diri dengan menjadikan dirinya sebagai disiplin interdisipliner. Agama sebagai sistem iman yang bercorak teologis-transendental juga mesti berbenturan dengan formasi sosial, politik, ekonomi, budaya, atau iptek, yang pada akhirnya mengharuskan agama untuk mengambil sikap terhadap berbagai problem hidup sehari-hari tersebut. Untuk itulah “bantuan” ilmu-ilmu sosial-humaniora menjadi penting untuk memberikan perspektif kritis terhadap perkembangan agama itu sendiri.

Contoh sederhana yang bisa diajukan di sini adalah karya Asghar Ali Engineer, seorang pemikir muslim India, dalam buku The Origin and Development of Islam: An Essay on Its Socio-Economic Growth. Dalam buku ini Asghar mengkaji sejarah awal perkembangan Islam dari perspektif sosial-ekonomi. Asghar memaparkan bagaimana kepentingan-kepentingan ekonomis maupun politis berperan dalam meneguhkan beberapa aspek ajaran Islam. Salah satu hal yang menarik yang terungkap dari buku ini adalah betapa sebenarnya penolakan para bangsawan elit Mekah terhadap kehadiran Islam pada waktu itu lebih berdasar pada keterancaman kepentingan ekonomi mereka, lantaran beberapa ajaran Islam yang mengritik ketimpangan sosial-ekonomi ketika itu.

Pemaknaan ulang yang dapat melahirkan dan menyegarkan kembali kesadaran dan komitmen iman yang membebaskan ini memang ternyata dapat saja lahir dari kolaborasi semacam ini, sehingga berbagai amal yang menjadi mata rantai iman dan ibadah itu tetap memiliki sifat padu, koheren, dan tidak kontradiktif.

* * *
Dua cara pandang yang disodorkan penulis dari uraian di atas adalah bertolak dari struktur kepercayaan dan struktur kognitif (intelektual) agama. Dalam praktiknya, kedua cara pandang tersebut masih membutuhkan dukungan dari sisi agama yang lain, yakni dari struktur institusional agama. Struktur institusional yang dimaksudkan di sini adalah medan yang menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai dan ajaran agama. Artinya, kedua cara pandang tersebut mesti dileburkan secara internal ke dalam nalar kesadaran para pemeluk agama itu sendiri, melalui suatu sistem pendidikan dan pewarisan nilai keagamaan yang tertata, strategis, dan berkelanjutan.

Meminjam istilah yang digunakan Abd A’la (Kompas, 11 Januari 2002), saat ini dibutuhkan suatu sistem “pendidikan agama yang mencerahkan”. Pelbagai segi dari sistem pendidikan agama ini mesti dibenahi, mulai dari masalah content, metodologi, serta kemendalaman penyerapan sisi kognitif, afektif, dan konatif. Tentu saja agenda ini bukan suatu kerja enteng yang dapat diselesaikan dalam waktu semalam. Keterlibatan dan kepedulian semua pihak untuk memberikan suatu teladan pewarisan nilai yang inklusif dan humanistik amatlah dibutuhkan, mulai dari tingkat keluarga, hingga pemuka agama.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 14 Juni 2002.

0 komentar: