Selasa, 27 November 2001

Adonan Identitas Di Antara Mi dan Jilbab


Judul Buku: Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global
Penulis: Monika Eviandaru, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 148 halaman


Globalisasi ekonomi memang tidak semata-mata gejala sosial dan ekonomi. Berbagai produk globalisasi yang bersifat material maupun yang bersifat struktural telah memberikan sejumlah efek domino yang menyentuh berbagai sisi kehidupan umat manusia, baik pada level komunitas sosial maupun pada tingkat individu. Pola-pola relasi sosial antar-manusia dan atau dengan produk-produk iptek juga mengantarkan manusia (individu) pada suatu definisi baru tentang identitas mereka.
Salah satu perubahan penting yang mengiringi proses globalisasi adalah hadirnya media massa yang juga secara efektif menjadi media promosi. Kehadiran iklan telah mampu mengubah definisi “kebutuhan” dan lebih jauh lagi definisi “identitas”. Sesuatu produk dapat menjadi sebuah “kebutuhan” hanya karena gencarnya efek iklan, dan sebuah produk dapat mencitrakan “identitas” tertentu bagi pemakainya.
Buku bagus ini adalah sebuah penelitian tentang politik ekonomi dan kebudayaan mi instan serta jilbab di kalangan masyarakat Indonesia. Buku ini berusaha menjawab soal pengaruh dua produk komoditi pop itu terhadap pembentukan identitas dan pemaknaan masyarakat Indonesia terhadap situasi perubahan tersebut.
Kehadiran mi instan menjadi menarik ketika 67,5% dari 494 responden yang diambil di Bogor, Semarang, Solo, dan Yogyakarta, mengaku mempunyai persediaan beberapa bungkus mi instan di rumah mereka, dan 87% telah mengkonsumsi mi instan lebih dari 6 tahun. Indonesia sendiri saat ini adalah produsen mi instan kedua terbesar di dunia setelah Cina daratan, dan pada tahun 2000 jumlah mi instan (dari bahan gandum) yang terjual di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 miliar bungkus.
Sejarah memasyarakatnya mi instan yang notabene dibuat dari bahan dasar gandum ini adalah ketika di awal Orde Baru pemerintah mengalami kesulitan bahan pangan (beras) yang cukup berat, sehingga pemerintah memperkenalkan suatu produk pangan baru yang ketika itu menjadi “cita rasa dunia pertama” (Amerika).
Selanjutnya, pencitraan yang dilakukan secara massif melalui iklan—terutama di media televisi—telah betul-betul cukup efektif mensosialisasikan mi instan. Ada beragam cara iklan membujuk konsumen Indonesia untuk mengkonsumsi produknya, mulai dari pencitraan mi instan sebagai makanan keluarga, makanan yang “lintas batas kelas sosial” (kalangan ABG, kelas atas/eksekutif, atau kelas bawah), penggunaan simbol-simbol agama, hingga penggunaan lagu nasional yang dimodifikasi.
Sebagai sebuah corak makanan global, mi instan hadir dengan penuh dilekati gagasan-gagasan “modern”. Sisi praktis mi instan sehingga ia dapat dengan mudah disajikan oleh siapa saja—termasuk oleh laki-laki—seperti tidak mengharuskan perempuan menghabiskan waktunya untuk berada di dapur, sebagaimana selama ini dikonstruksikan.
Selain itu, muncul pula pergeseran persepsi tentang definisi “makan”, yang selama ini hampir selalu harus melibatkan unsur nasi. Nasi atau bukan nasi lalu tak lagi begitu penting, seperti bergizi atau tidak bergizi tak lagi begitu dipikirkan (24,9% responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% masih perlu menambahkan telur/daging dalam penyajiannya). Kepentingan utama untuk mengkonsumsi makanan modern ini adalah sejauh praktis, efisien, dan kenyang. Ini adalah bagian dari strategi kerja normalisasi tubuh manusia, yakni ketika tubuh dilihat sebagai bagian dari sumber daya manusia yang harus disiplin dan produktif sesuai dengan kaidah-kaidah modernitas.
Sementara jilbab, dalam buku ini dilihat sebagai bagian dari produk komoditi pop. Bagian yang awalnya merupakan penelitian Karen E Washburn ini berusaha menelusuri cara profil (tiga) perempuan (Jawa) memaknai jilbab dalam kehidupannya. Jilbab pertama-tama memang merupakan suatu bentuk lambang identifikasi orang Islam, tapi dari penelitian ini terungkap beragam cara pemaknaan yang unik.
Ada yang memandang jilbab sebagai simbol tidak mempunyai arti dalam dan personal dalam dirinya, dan kadang malah membawa diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ada yang sebaliknya, memandang jilbab sebagai tanda bahwa pemakainya adalah muslim yang baik serta dapat menjadi alat kontrol diri. Ada pula yang melihat jilbab (dan berikutnya cadar) sebagai suatu transformasi personal dan total.
Beragam pemaknaan, baik terhadap mi instan maupun jilbab, yang tampak dari penelitian ini menunjukkan bahwa para konsumen makanan dan pakaian itu telah mengalami, memahami, dan menilai komoditi modern tersebut sebagai bagian dari pengalaman otonomi (identitas) baru yang memberdayakan. Dari sinilah, diharapkan otonomi ini dapat menentukan cara mereka menentukan keputusan-keputusan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, atau budaya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Desember 2001.


0 komentar: