Rabu, 04 April 2001

Hidup Merdeka Bersama Agama

Judul Buku: Teologi Pembebasan Asia
Penulis: Michael Amaladoss
Penerjemah: A. Widyamartaya dan Cindelaras
Penerbit: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press & Cindelaras, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: xvi + 333 halaman


Teologi Pembebasan selalu identik dengan teologi di wilayah Amerika Latin yang memiliki orientasi pemikiran agama Kristen. Buku karya Michael Amaladoss ini berusaha menunjukkan bahwa dalam perkembangannya semangat Teologi Pembebasan Kristiani itu juga sudah menyebar dalam tradisi teologi agama lain, sesuai dengan fakta pluralitas masyarakat.

Kawasan Asia misalnya adalah wilayah yang memiliki akar keragaman tradisi religius yang cukup kuat. Asia adalah tanah kelahiran agama-agama besar di dunia—Yahudi, Islam, Kristen—dan sejumlah agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu. Karena itu, Teologi Pembebasan dalam pemikiran Amaladoss seolah diproklamasikan sebagai teologi orang-orang beriman yang ingin lepas dari ketertindasan struktural yang dialami masyarakat. Memang, setiap agama menurut Amaladoss memiliki segi-segi yang membebaskan dan nabi-nabi yang berusaha menyoroti unsur-unsur pembebasan dalam menafsirkan tradisi agama secara kreatif dan relevan.

Latar belakang Teologi Pembebasan Asia tidak jauh berbeda dengan teologi pembebasan di wilayah lain (Amerika Latin atau Afrika). Meski Asia adalah tempat lahirnya agama-agama, akan tetapi yang tampak adalah bahwa agama di Asia tidak bisa berbuat banyak untuk membebaskan masyarakat dari fenomena ketertindasan, kemelaratan, kemiskinan, dan pertikaian antar-kelompok yang tiada henti.

Malah agama ditunggangi oleh kelompok elit masyarakat tertentu untuk dijadikan basis legitimasi demi kemakmuran mereka sendiri.

Keprihatinan seperti itulah yang melahirkan gerakan-gerakan pembebasan berbasis agama di beberapa kawasan Asia, seperti teologi Minjung di Korea, teologi Perjuangan di Filipina, dan teologi Dalit di India. Demikian juga ketika kelompok-kelompok agama Konghucu di Cina, Hindu di India, Budha di Sri Langka, serta Islam di Pakistan, Iran, atau Indonesia, mencoba berjuang menuntaskan problem-problem ketertindasan itu.

Teologi Minjung di Korea lahir dalam tekanan diktator Park Chong-hee pada awal 1970-an yang menyebabkan masyarakat hidup dalam teror dan kemiskinan. Sementara Teologi Perjuangan di Filipina muncul dalam suasana ketertindasan ekonomi-politik yang dihasilkan dari rezim Ferdinand Marcos.

Refleksi teologis yang dilakukan para teolog di kawasan Asia pada gilirannya mendorong mereka untuk berusaha keras bekerja sama melawan ketidakadilan ekonomi dan politik itu. Kerja sama, dialog, dan kesepakatan yang diambil oleh kaum agamawan ini tidak dihasilkan dari perbincangan teoritik yang abstrak, tapi berasal dari keterlibatan sosial mereka yang konkret untuk membela nilai-nilai agama yang mereka yakini.

Pengalaman hidup masyarakat yang menjadi titik tolak refleksi teologis ini pada akhirnya mengharuskan para teolog pembebasan ini untuk menyelesaikan semua sisi kehidupan masyarakat yang sudah akut itu: ekonomi-politik, pribadi-masyarakat, dan kebudayaan-agama. Bila tidak, usaha pembebasan yang dilakukan hanya mencapai hasil yang setengah-setengah.

Dengan mempertimbangkan keenam matra sosial yang perlu dibenahi itu, Amaladoss dalam buku ini merekomendasikan agar setiap program aksi pembebasan tidak cukup hanya diilhami dan dimotivasi oleh spirit agama, melainkan juga butuh bantuan dari ilmu-ilmu sosial yang dapat memberikan kerangka strategi dan opsi-opsi konkret dalam gerakan pembebasan.

Dengan demikian, tampak bahwa keterbukaan yang dibutuhkan oleh gerakan teologi pembebasan tidak saja keterbukaan terhadap tradisi agama lain, tetapi juga keterbukaan terhadap khazanah intelektual yang dihasilkan dari proses dialektika sejarah.

Dan, pembebasan yang dicita-citakan tentu saja tidak hanya pembebasan dari kekuatan-kekuatan penindas yang membelenggu kebebasan masyarakat, melainkan juga pembebasan dari keterbatasan akibat egoisme dan hasrat keinginan, baik individu maupun kolektif.

Kelebihan buku ini dari buku-buku bertema teologi pembebasan adalah bahwa karena buku ini berusaha menampilkan semangat teologi pembebasan yang dimiliki beragam agama di kawasan Asia. Teologi Pembebasan yang semula lahir dari tradisi kristiani melebar dan membentuk kesadaran teologi pembebasan yang berdasarkan atas fakta kemajemukan masyarakat. Ini berarti teologi pembebasan sudah menjadi semacam teologi universal. Buku ini mengajak kita semua untuk memikirkan kembali semangat persaudaraan kosmis yang dibawa agama-agama untuk ditiupkan dalam kehidupan konkret, merubah masyarakat dalam hidup yang lebih baik, hidup yang merdeka.

Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 4 April 2001.

1 komentar:

Mayshiza Widya mengatakan...

hi...
buku-buku yang kamu resensi keren. kayaknya asyik tuh kalo kita punya comunitas penikmat buku.