Kamis, 29 Maret 2001

Menyoal Cita Keadilan Negara

Judul Buku: Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial
Penulis : Dr. Heru Nugroho
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 254 halaman


Posisi negara dalam era reformasi menjadi sebuah wacana yang tak habis diperbincangkan. Sentralisme kekuasaan negara sepanjang 32 tahun rezim Orde Baru tak jarang menjadikan negara terpojok dalam posisi yang (di)salah(kan). Tuntutan masyarakat saat ini jelas: corak represif negara harus berubah dengan memberi ruang bebas bagi partisipasi masyarakat luas.
Buku ini berusaha menelaah secara lebih jauh tentang bagaimana sebenarnya negara dan masyarakat menempatkan dan menfungsingkan dirinya demi terciptanya keadilan sosial. Konteks reformasi sosial-politik dan konteks globalisasi ekonomi yang begitu kuat melahirkan tantangan berat sedemikian rupa yang menjadi beban negara dan masyarakat sekaligus. Dibutuhkan suatu strategi cantik untuk mengantisipasi cengkeraman globalisasi ekonomi yang menjunjung semangat persamaan tanpa harus terseret dalam jurang kesenjangan yang dapat menghancurkan ikatan-ikatan sosial masyarakat.
Selama ini ada pandangan yang mengatakan bahwa globalisasi ekonomi yang mewujud dalam kebijakan ekonomi pasar bebas akan menciptakan kondisi yang demokratis sehingga mampu melahirkan kemakmuran sosial. Seperti lantang disuarakan oleh kaum Neo-Liberalis, pasar bebas memiliki mekanisme internal untuk mendemokratiskan suatu bangsa, karena dalam pasar bebas prinsip persamaan dijunjung tinggi.
Heru Nugroho dalam buku ini jelas menampik hal tersebut. Dalam buku ini Heru menunjukkan bahwa logika yang digunakan untuk memahami hal ini mestinya dibalik: pasar bebas hanya akan efektif dalam suatu masyarakat yang liberal, transparan, dan demokratis. Sistem politik otoriter semacam Orde Baru misalnya telah dapat menunjukkan bahwa semangat ekonomi pasar bebas akhirnya direnggut oleh konspirasi borjuis yang berbau kolutif-nepotis, sehingga pasar bebas yang sesungguhnya tidak terjadi.
Bila demikian, sirnalah sudah cita-cita keadilan sosial yang merata bagi masyarakat, karena dengan suburnya praktik koncoisme dalam aktivitas ekonomi maka yang terjadi selanjutnya malah adalah monopoli, oligopoli, dan konglomerasi yang kesemuanya dikemas rapi sehingga tidak beraroma busuk.
Karena itu, tuntutan bagi terwujudnya sistem demokrasi merupakan suatu keniscayaan yang tak tertolak. Pasar bebas sudah di depan mata, sehingga upaya-upaya ke arah demokratisasi harus segera dilaksanakan.
Momen reformasi saat ini sebenarnya adalah saat yang tepat untuk secara serius menggarap usaha-usaha demokratisasi. Heru dalam buku ini sepertinya tidak terlalu tertarik dengan usaha demokratisasi di tingkat elit politik (high politics), dengan lebih memilih jalur bawah (grass root). Hal ini karena proses reformasi yang sedang berlangsung saat ini memungkinkan rakyat bawah ikut berkiprah langsung dalam proses-proses sosial-politik.
Untuk itulah, bila rakyat bawah tidak memiliki cukup pengetahuan tentang pendidikan politik kewargaan, maka dikhawatirkan rakyat bawah yang awam itu akan mudah digerakkan untuk kepentingan-kepentingan kelompok politik tertentu, sehingga hal itu hanya akan bersifat kontra-produktif bagi proses demokratisasi.
Heru mengingatkan bahwa pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak dilakukan dengan jalan revolusioner, akan tetapi lebih dengan cara mengoptimalkan fungsi dari institusi-institusi mediasi di masyarakat yang sebetulnya secara sehari-hari telah dimanfaatkan masyarakat. Struktur mediasi yang dimaksudkan di sini adalah lembaga-lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah kehidupan pribadi dengan lembaga-lembaga birokrasi negara yang bersifat publik.
Contoh dari struktur mediasi di sini meliputi keluarga, ketetanggaan, komunitas agama, dan kelompok swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini biasanya memiliki akar sosiologis yang cukup kuat sehingga individu dapat merasa at home di dalam struktur mediasi tersebut. Dengan memanfaatkan struktur-struktur mediasi ini, sebenarnya juga berarti usaha mendayagunakan kekuatan lokal, baik institusi maupun sumber daya alam, untuk kesejahteraan masyarakat.
Yang menarik adalah bahwa pemberdayaan masyarakat melalui struktur-struktur mediasi ini pada sisi yang lain juga peduli dengan fakta pluralitas masyarakat karena interaksi melalui struktur-struktur mediasi tersebut menuntut masing-masing pihak untuk saling-menghormati yang lain.
Paling akhir, pemberdayaan masyarakat lapis bawah yang diusulkan Heru dalam konteks reformasi ini dapat juga dilihat sebagai usaha mengimbangi tata politik yang timpang akibat terlalu menguatnya negara selama Orde Baru.

Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 28 Maret 2001.

0 komentar: