Senin, 12 Maret 2001

Dialektika Negara dan Masyarakat di Cina

Judul Buku: Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina
Penulis: I. Wibowo
Penerbit: Gramedia bekerjasama dengan Pusat Studi Cina, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2000
Tebal: xii + 324 halaman


Diskursus ilmu-ilmu sosial tentang hubungan negara dan masyarakat sudah menjadi tema klasik yang tetap saja menarik dikaji. Pada abad ke-17 Thomas Hobbes sudah memulai diskusi tentang negara dan masyarakat dengan mengatakan bahwa negara pada dasarnya adalah penyelenggara ketertiban masyarakat. J.J. Rousseau dan John Locke mengemukakan Teori Kontrak Sosial, yaitu bahwa negara adalah hasil kesepakatan masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama.
Buku ini merupakan studi kasus tentang interaksi negara dan masyarakat yang terjadi di negeri Cina. Kasus Cina menarik karena sebagai negara yang didominasi oleh satu partai, yakni Partai Komunis Cina (PKC), Cina dalam dua puluh terakhir ini berusaha mengadakan langkah-langkah reformasi. Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan hubungan negara dan masyarakat setelah reformasi dijalankan di Cina? Adakah kemungkinan terbentuknya tatanan sosial yang lebih baik (civil society) dalam ideologi politik sosialis?
Secara teoritik I. Wibowo—penulis buku ini, yang juga menjadi Kepala Pusat Studi Cina di Jakarta—mendasarkan uraiannya pada Teori Strukturasi Anthony Giddens. Teori Strukturasi Giddens merupakan sintesis baru terhadap ancangan teoritik kelompok Pluralis yang terlalu menekankan agensi (pelaku politik) dan ancangan teoritik kelompok Marxis yang menekankan kepada struktur politik.
Menurut Giddens, hubungan negara dan masyarakat bersifat dialektik. Struktur dan agensi saling mempengaruhi terus-menerus tanpa henti. Struktur mempengaruhi agensi dengan memberikannya kemampuan (enabling) atau memberikan hambatan (constraining). Akan tetapi, agensi juga dapat mempengaruhi struktur dengan tindakan-tindakan menyimpang sehingga struktur kemudian berubah secara lambat-laun. Menurut kerangka Teori Strukturasi Giddens ini yang lebih dikedepankan untuk dilihat adalah social practice dan dialectic of control antara negara dan masyarakat (struktur dan agensi).
Dalam menyoroti dialektika negara dan masyarakat di Cina, Wibowo memulai uraiannya dengan memberikan pemaparan tentang sejarah pembentukan negara di Cina. Republik Rakyat Cina (RRC) berdiri pada tahun 1949, ketika Partai Komunis Cina (PKC) memenangkan pertarungannya dengan Partai Nasionalis Cina. Ketika itu, Cina nyaris hancur lebur akibat perang berkepanjangan selama 12 tahun. Jauh sebelum itu, kondisi politik di Cina amat memprihatinkan, penuh dengan penjajahan, perang, dan pemerintahan yang korup.
Tak heran ketika Cina mendapat kesempatan mendirikan negara baru, pemimpin PKC yang kemudian menjadi pemimpin Cina, Mao Zedong, berujar dengan lantang: “Bangsa kita bukan lagi bangsa yang terhina dan terinjak. Kita telah tegak berdiri”.
Agenda pemerintahan Mao Zedong yang baru amat berat. Kondisi Cina yang porak-poranda mengharuskan Mao Zedong untuk segera menyelesaikan empat agenda penting: menetapkan kontrol atas perbatasan, membangun birokrasi, membangun ekonomi, dan mencari pengakuan internasional. Hasilnya memang luar biasa. Dalam waktu sekitar lima tahun Mao Zedong cukup berhasil membangun lima agenda penting tersebut.
Akan tetapi, ambisi Mao Zedong yang berlebihan untuk menyamai Inggris dan Amerika dalam waktu 10-15 tahun yang memuncak pada “Revolusi Kebudayaan” tahun 1966 telah melahirkan keterpurukan dan kehancuran pembangunan. Antara tahun 1959-1960 ada sekitar 20 juta orang petani yang mati kelaparan. Pemerintahan Mao Zedong dengan Pengawal Merahnya di mata rakyat seperti membawa teror yang mengguncang tatanan sosial. Negara dapat dikatakan kembali hancur.
Iklim politik yang pengap ini berubah ketika pada tahun 1978 Deng Xioping tampil memimpin Cina dengan tawaran agenda-agenda reformasi. Dengan semangat pragmatisme radikal Deng Xioping terhitung sukses membawa perekonomian Cina ke dalam pertumbuhan yang luar biasa pesat. Pertumbuhan ekonomi cukup stabil, dan arus investasi mengalir deras.
Secara umum struktur negara di Cina mengikuti model Negara Organis Tenaga Kerja, yakni dengan model diktator-proletariat. Negara melakukan kontrol total terhadap segenap aktivitas rakyat. Di bawah pimpinan para pemimpin partai, negara diorganisir untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Keterikatan negara terhadap partai amat kuat, karena struktur negara selalu dibayang-bayangi oleh struktur partai yang mengawasi masyarakat dengan penuh curiga.
Dalam arus panjang dan struktur dinamika sosial-politik yang begitu rumit itu Wibowo dalam buku ini berusaha menyorot tiga aktor penting yang bermain di Cina, petani, buruh, dan kaum intelektual, berhadapan dengan kontrol negara yang begitu kuat. Semua penjelasan dibagi atas dua periode, yakni periode pemerintahan Mao Zedong sejak tahun 1949 dan tahap kedua dimulai dari tahun 1978, setelah Deng Xioping memegang kendali pemerintahan.
Pada tahap pertama, petani nyaris seperti “sapi perahan” bagi kepentingan negara. Petani di pedesaan dikerahkan dan diorganisir dalam “komune-komune” untuk menghasilkan surplus pertanian yang diperuntukkan bagi aktivitas industrialisasi di kota. Pada tahap ini petani jelas tidak mendapatkan surplus pekerjaannya sendiri. Pada tahap kedua, kontrol negara terhadap petani berkurang karena mereka bekerja dengan sistem kontrak. Akan tetapi, malangnya, petani dibiarkan hidup dalam bayang-bayang hantu kapitalisme yang dapat menelan habis mereka yang tak memiliki keunggulan komparatif.
Sementara itu, buruh yang menjadi tulang punggung kegiatan industri di kota juga mengalami nasib yang kurang lebih sama dan tidak lebih baik daripada petani. Pada saat Mao Zedong berkuasa kontrol negara terhadap buruh begitu kuat, karena menurut model Negara Organis Tenaga Kerja kehidupan buruh sepenuhnya diatur oleh negara dalam rangka meningkatkan produksi industri.
Di bawah pemerintahan Deng Xioping buruh memang mendapat kebebasan bekerja di mana saja, seiring dengan kebijakan dibukanya lapangan kerja swasta. Meski begitu, buruh tetap saja sulit mendapatkan perlakuan adil karena mereka tidak memiliki wadah organisasi yang secara independen memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan para pengusaha kapitalis.
Kehidupan kaum intelektual Cina juga cukup problematis. Mereka harus berhadapan dengan totaliterisme partai yang menghendaki penyeragaman pemikiran. Partai Komunis Cina memang memiliki kebijakan yang tergolong aneh bila dilihat dari perspektif teori Marxis pada umumnya. Pimpinan PKC percaya bahwa perubahan sosial harus dijalankan lewat perubahan pikiran, bukan perubahan basis material. Karena itu, teknik kampanye dan propaganda serta kontrol terhadap arus pemikiran diberlakukan amat ketat. Di bawah pemerintahan Mao Zedong kaum intelektual betul-betul takluk karena Mao Zedong akan mengganyang semua orang yang mempunyai pikiran berbeda dengan partai.
Setelah reformasi Deng Xioping kaum intelektual memang diberi ruang kebebasan yang lumayan luas. Akan tetapi mereka tetap tidak diperbolehkan mengotak-atik wilayah kebijakan pembangunan negara. Gerakan-gerakan pro-demokrasi diawasi ketat, bahkan kalau perlu diberi hukuman yang berat.
Berbagai tekanan negara terhadap petani, buruh, maupun intelektual ternyata tidak semata-mata merupakan aksi sepihak yang dilancarkan negara. Menghadapi berbagai represi dan kontrol negara itu mereka berusaha bersiasat mencari celah-celah yang memungkinkan mereka bergerak lebih bebas dan leluasa melawan struktur.
Masalah terbesar dalam hubungan negara dan masyarakat di Cina adalah adanya kenyataan bahwa negara begitu kuat di hadapan masyarakat, sehingga masyarakat tidak memiliki andil yang memadai untuk terlibat dalam proses politik. Masyarakat malah dianggap sebagai musuh yang harus ditundukkan dengan kontrol penuh, karena bila masyarakat bergerak negara khawatir pembangunan akan terganggu. Stabilitas menjadi kata kunci yang tak bisa ditawar-tawar. Akibatnya, hak-hak masyarakat yang oleh Giddens disebut citizens rights—yakni civil rights, political rights, dan economic rights—lenyap.
Di akhir buku ini, Wibowo memberikan catatan penting bila pemimpin negara (Cina) ingin memperbaiki hubungan negara dan masyarakat. Dengan mengutip Giddens Wibowo mengatakan bahwa perlu dikembangkan dialogic democracy melalui penguatan otonomi komunikasi. Komunikasi politik dilepas tanpa kontrol sehingga dialog yang terbangun dapat menciptakan tingkat trust yang tinggi antar-masyarakat.
Buku ini menjadi penting dan menarik karena berusaha menempatkan situasi politik Cina dalam proporsi yang lebih berimbang. Komunisme di Cina yang telah hidup sekian lama tidak dapat dipersamakan dengan komunisme di negara lain. Ciri totaliter tidak sepenuhnya benar dan tepat, karena selalu saja ada dinamika dan tarik-ulur kekuatan antara negara dan masyarakat. Uraian lugas yang penuh dengan data lapangan semakin melengkapi nilai lebih buku ini. Apalagi, literatur tentang politik Cina berbahasa Indonesia nyaris belum ada.
Bagi bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun demokrasi dan kehidupan yang lebih baik pasca-krisis multidimensional, buku ini menjadi kawan dialog yang tepat yang dapat memberikan banyak inspirasi.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 11 Maret 2001.

0 komentar: