Selasa, 13 Maret 2001

Demokrasi itu Tameng Pembangunan

Judul Buku : Demokrasi Tidak Bisa Memberantas Kemiskinan
Penulis : Amartya Sen
Pengantar : H. Witdarmono
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : 100 halaman (termasuk indeks)


Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Timur dan Tenggara di penghujung 1997 telah meruntuhkan basis ekonomi di berbagai negara kawasan itu, seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Bahkan, Indonesia hingga kini belum bisa memulihkan kondisi perekonomiannya secara baik. Padahal, sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 7% per tahun.

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi Tahun 1998 kelahiran India dalam buku yang berjudul asli Beyond the Crisis: Development Strategies in Asia ini mencoba melihat lebih jauh akar permasalahan krisis ekonomi di kawasan tersebut. Berdasarkan pengamatannya terungkap bahwa ternyata di beberapa negara di kawasan tersebut terdapat suatu kesalahan mendasar berkaitan dengan strategi pembangunan yang selama ini diterapkan.

Dalam pandangan Amartya Sen, pembangunan di beberapa negara Asia selama ini mengabaikan aspek protektif dari gejolak ekonomi dan sosial, sehingga ketika krisis menimpa upaya pemulihan berjalan lamban. Mereka tidak menyadari bahwa ancaman interupsi terhadap proses pembangunan atau kerentanan ekonomi terus-menerus mengintai, bahkan terhadap negara manapun. Selama ini, mereka tidak memperhatikan faktor keamanan yang bersifat antisipatif dalam mengamankan proses pembangunan.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Sen dengan proteksi sosial terhadap krisis ekonomi itu? Menurut Sen, demokrasi dan kebebasan adalah tameng ampuh pembangunan yang dapat menjaga keberlangsungan pembangunan suatu negara. Demokrasi memiliki kekuatan protektif untuk menjaga stabilitas perkembangan ekonomi karena senyatanya pemerintah dalam atmosfer cerah demokasi dapat benar-benar segera menanggapi kebutuhan dan kesulitan rakyat dengan tepat.

Kasus Indonesia menjadi contoh yang menarik bagi Sen. Menurut Sen, ketika Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, demokrasi mungkin tidak terlalu menarik. Akan tetapi, ketika krisis datang menyerbu dan melibas habis mukjizat pertumbuhan yang dimilikinya, dan ternyata lembaga demokrasi belum tertata secara mapan, maka yang terjadi adalah sulitnya pengelolaan suara-suara dan aspirasi masyarakat untuk ikut dalam proses pemulihan ekonomi tersebut. “Payung protektif demokrasi sama sekali tak tersedia tepat ketika ia dibutuhkan,” tulis Sen.
Menurut Sen, beberapa negara di Asia sebenarnya telah cukup banyak memiliki pelajaran berharga tentang bagaimana membangun negaranya. Ada strategi khas yang dimiliki beberapa negara di kawasan ini, yang kemudian kira-kira menjadi rekomendasi Sen untuk memulihkan krisis ekonomi di kawasan Asia.

Strategi pembangunan yang khas “Timur” menurut Sen adalah pembangunan manusia. Pengalaman Jepang menjadi contoh yang menarik. Ekonomi Jepang sejak awal bergerak ke arah perluasan besar-besaran terhadap kesempatan pendidikan dan peluang sosial yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam proses perubahan sosial dan transaksi ekonomi.

Penguatan pendidikan dasar bagi warga negara menurut Sen tidak hanya sekedar menjadi semacam human investement bagi masa depan, tapi juga dapat meningkatkan kemampuan produktif manusia, memudahkan perluasan ekonomi dan industri, meningkatkan peluang kerja bagi kalangan wanita, dan menurunkan tingkat kesuburan (fertilitas). Ini berarti, pendidikan dasar sebenarnya dapat menciptakan kesempatan sosial serta meningkatkan kualitas hidup manusia dalam berbagai sisinya.
Konsep peluang sosial dalam teori pembangunan Sen menempati posisi penting. Konsep ini amat terkait dengan konsep kebebasan yang sebenarnya inheren dalam demokrasi. Menurut Sen, kebebasan yang tercermin dengan terbukanya peluang-peluang sosial adalah bagian penting yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Mencabut kebebasan (politik) masyarakat sebenarnya adalah awal bagi pemiskinan negara. Jadi, kebebasan itu menurut Sen sebenarnya adalah bagian dari pembangunan.

Sen pernah melakukan penelitian tentang kasus kelaparan yang menimpa di beberapa negara. Dari penelitiannya ditemukan bahwa ternyata kemiskinan terjadi bukan karena kekurangan atau kelangkaan pangan, tetapi karena kekurangan demokrasi (kebebasan).

Karena itu, pelajaran berharga dari krisis di Asia adalah tentang pentingnya jaring pengaman sosial berupa terbentuknya faktor sosial yang kokoh untuk mengantisipasi krisis ekonomi. Dan, krisis (kemiskinan) ekonomi di sini terjadi karena terjadi krisis (kemiskinan) politik, yakni ketika demokrasi diabaikan, dan kebebasan dibungkam.

Pemikiran Sen tentang pembangunan ini menarik karena sebenarnya Sen sedang berada dalam kerangka pikir bagaimana mengusahakan kaum papa dalam suatu negara agar secara sistemik diuntungkan, sehingga akhirnya mereka dapat keluar dari situasinya yang pengap dan sumpek itu. Karena itu, Robert M. Solow, ekonom Amerika peraih Nobel Ekonomi 1997 menyebutkan bahwa karya-karya Sen di bidang ekonomi merupakan “the conscience of economics”, suara hati ilmu ekonomi.

Goenawan Mohamad pernah menyebut ilmu ekonomi sebagai ilmu yang murung, karena ia terlepas dari kebersahajaannya sebagaimana ia lahir di zaman Yunani Kuno, yakni bahwa ilmu ekonomi adalah sekedar “manajemen rumah tangga”. Dengan pengertian sederhana ini, ilmu ekonomi berbicara tentang kebutuhan mendasar suatu komunitas, yang sama sekali tidak memiliki pretensi untuk “memonopoli”, sehingga membuat kelompok lain tidak berkecukupan.

Kehadiran pemikiran Amartya Sen ini dapat dilihat sebagai usaha untuk memoles wajah ilmu ekonomi dengan citra yang lebih manusiawi. Seperti juga disebut H. Witdarmono, wartawan senior Kompas yang mengantarkan buku ini, bahwa ternyata Sen telah dapat membuktikan sesungguhnya “suara hati” ilmu ekonomi itu hanya bisa muncul apabila yang dibahas adalah persoalan hidup kelompok masyarakat pinggiran yang tak diuntungkan oleh sistem yang melingkupinya.


Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com, 12 Maret 2001.


0 komentar: