Senin, 04 Desember 2000

Menakar Tawaran Ekonomi Islam

Judul Buku: Islam dan Tantangan Ekonomi
Penulis: Dr. M. Umer Chapra
Penerbit: Gema Insani Press Jakarta bekerja sama dengan Tazkia Institute
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxvi + 370 halaman


Dalam pentas dunia, umat Islam tidak hanya terlihat “kalah” di dalam persaingan-persaingan ideologi dunia, akan tetapi secara empiris juga berada dalam keterpurukan kehidupan sosial-ekonomi, politik maupun budaya yang mengenaskan. Negara-negara Islam kebanyakan masih berada dalam level kategori Negara Dunia Ketiga yang terutama lemah secara ekonomi.

Buku ini mencoba mengatakan dan memberi tawaran bahwa sebenarnya Islam memiliki konsep yang cukup mampu bersaing dengan ideologi-ideologi dunia. Bahkan, secara tegas dikatakan bahwa ideologi-ideologi sekuler, yakni sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) terbukti secara empiris telah gagal memenuhi cita kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, baik secara spiritual maupun material.

Menurut Dr. M. Umer Chapra, penulis buku ini, ketiga sistem ekonomi tersebut lahir dari rahim ideologi sekuler yang menampik peran agama dalam kehidupan sosial. Kapitalisme sebagai sistem yang pertama kali muncul di Eropa menurut Chapra dibangun di atas Pandangan Dunia Pencerahan yang percaya pada superioritas akal manusia, merayakan kebebasan, dan menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang tak bertujuan. Akibatnya, tak ada lagi kesakralan kolektif yang dimiliki sistem moral agama. Tak ada lagi mekanisme filter dalam sistem kapitalisme, kecuali prinsip utilitarianisme atau pragmatisme yang kesemuanya dikembalikan kepada keputusan masing-masing individu.

Individu dalam kapitalisme menempati posisi penting. Individu bebas mengaktualisasikan seluruh potensi ekonomi yang dimilikinya. Menurut kapitalisme, kepentingan individu bersifat simetri dengan kepentingan umum. Pasar dianggap memiliki mekanisme sendiri—yang disebut “tangan-tangan gaib (invisible hand)—yang menjaga keharmonisan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.

Asumsi seperti inilah yang menjadikan sistem kapitalisme gagal memenuhi cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Bila produksi atau distribusi produk tertentu sepenuhnya berada pada genggaman kekuasaan individu, tentu tak ada jaminan bahwa distribusi atau produksi tersebut sebenarnya dibutuhkan secara sosial, sehingga prinsip efisiensi dan keadilan sebenarnya telah diabaikan. Dengan demikian, tulis Chapra dengan mengutip E.F. Schumacher, kapitalisme telah melembagakan individualisme dan meniadakan tanggung jawab sosial.

Secara empiris kapitalisme sebenarnya telah hancur ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an. Sebagai gantinya, dilakukan sejumlah revisi terhadap kapitalisme yang akhirnya melahirkan konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State).

Konsep Negara Kesejahteraan lahir untuk mengimbangi sistem ekonomi dengan tetap melibatkan individu sekaligus negara dalam kegiatan perekonomian. Negara menjadi penengah untuk mencapai kesejahteraan dengan memberikan subsidi-subsidi tertentu. Akan tetapi, keseimbangan ekonomi yang stabil sulit terjaga ketika belanja sektor pemerintah meningkat dan tidak dibarengi dengan pengurangan klaim-klaim atas sumber daya, sehingga anggaran negara defisit, meski pajak telah maksimal.

Sementara itu, sistem sosialisme memiliki asumsi adanya keharmonisan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Individu tidak dipercaya mengurus masalah kehidupan ekonominya sendiri, sehingga negaralah yang kemudian memegang kendali. Persoalannya adalah betapa rumitnya negara untuk mengetahui kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Dari mana dan cukupkah informasi dan tenaga pemerintah yang diperlukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat?

Pada sisi yang lain, sosialisme ternyata juga tidak memiliki mekanisme filter terhadap kebijakan pemegang pemerintahan. Pemerintah sebagai pembuat keputusan ekonomi tidak dapat dikontrol sehingga rentan melahirkan pola pemerintahan diktator.
Dari kegagalan sejumlah sistem ekonomi tersebut di atas, Chapra menawarkan Islam sebagai teori dan sistem ekonomi yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Sistem ekonomi Islam menurut Chapra berakar pada syariat yang terumuskan dalam maqashid asy-syariah sebagai sasaran dan strategi ekonomi.

Pandangan dunia ekonomi Islam berkaitan dengan tiga prinsip fundamental, yakni tauhid (keesaan), khilafah (perwakilan), dan `adalah (keadilan). Tauhid berarti bahwa alam raya diciptakan secara sadar oleh Tuhan dengan suatu tujuan tertentu. Khilafah berarti manusia sebagai ciptaan Tuhan dibekali dengan kemampuan mental dan spiritual serta fisik yang memungkinkannya hidup dan mengemban misi Tuhan dalam penciptaan alam raya. Secara fitrah manusia itu baik dan mulia dan mampu menjaga kebaikan dan kemuliaannya itu.

Karena itu, sebagai khalifah, manusia harus dapat memanfaatkan sumber daya alam raya dengan cara efisien dan adil sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat tercapai. Hal ini juga berarti bahwa manusia harus tetap mengingat prinsip persaudaraan universal, yakni bahwa manusia adalah bersaudara sesamanya, sehingga prinsip persamaan perlakuan di depan hukum juga harus dijunjung tinggi.

Dari pandangan dunia Islam tersebut, maka pada tataran praktis, sistem ekonomi Islam menurut Chapra harus mereorganisasi keseluruhan sistem yang saling memperkuat menyangkut beberapa elemen: (1) mekanisme filter yang secara sosial disepakati, (2) sistem motivasi individu yang seimbang, (3) restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh, dan (4) peran positif pemerintah.

Mekanisme filter dalam Islam memiliki dua lapis. Pertama, filter moral, dan kedua, filter harga. Filter moral berkaitan dengan preskripsi normatif dalam menentukan skala preferensi yang sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan sesuai dengan prinsip keadilan. Filter moral ini didasarkan kepada ajaran-ajaran Tuhan, karena diasumsikan bahwa preskripsi moral yang diberikan Tuhan telah disesuaikan dengan hakikat kodrat kemanusiaan.

Dimensi keimanan dalam Islam menjadi sistem motivasi sosial untuk memanfaatkan seluruh sumber daya ekonomi dalam terang pertimbangan jangka panjang yang jernih. Perspektif jangka panjang dalam Islam ini ditegaskan dengan kepercayaan terhadap adanya pertanggungjawaban di Hari Akhir, sehingga setiap individu termotivasi untuk memenuhi tuntutan kemaslahatan umum.

Restrukturisasi ekonomi yang menyeluruh harus dilakukan agar mekanisme filter dan sistem motivasi yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam dapat diterapkan secara baik. Karena itu, dalam proses restrukturisasi ini dibutuhkan upaya-upaya untuk mengingatkan kembali pertimbangan faktor manusia sebagai pelaku sekaligus sasaran kegiatan ekonomi, menangani konsentrasi kekayaan yang berlebihan, dan membenahi semua institusi sosial.

Sementara itu, negara dalam sistem ekonomi Islam dituntut berperan aktif. Negara harus dapat mencerminkan aktualisasi tujuan dan nilai-nilai Islam. Negara harus memenuhi kewajiban moral membantu mewujudkan kesejahteraan yang berimbang.

Di akhir buku ini, ternyata Chapra sendiri masih mencium adanya kemungkinan hambatan pelaksanaan bangunan teoritik yang dijelaskan panjang lebar ini ketika akan diterapkan dalam tataran praktis. Keinginan untuk mengaktualisasikan visi Islam dan keterbatasan sumber daya yang dihadapi oleh umat Islam menjadi penghambat yang tidak mudah diselesaikan.

Ada sejumlah catatan yang bisa dikemukakan terhadap uraian-uraian Chapra dalam buku ini. Pertama, uraian teoritik yang dikemukakannya cenderung dikaitkan dengan Negara Islam, sehingga semangat Islam yang ada di balik teori-teori yang diuraikannya itu terasa problematis untuk diterapkan pada sebuah negara yang plural. Kedua, karena berbicara pada level makro-ekonomi, maka pemikiran ekonomi Islam Chapra dalam buku ini lebih banyak berorientasi pada teori ekonomi yang terikat dengan sistem negara. Artinya, uraian Chapra tentang ekonomi Islam yang berorientasi kerakyatan (diperjuangkan secara kultural) masih kurang dominan. Ketiga, dalam menguraikan kelemahan-kelemahan kapitalisme, Chapra sama sekali tidak menyinggung penelitian Max Weber tentang kaitan Etika Protestan dengan kelahiran kapitalisme. Bila pikiran Weber diapresiasi, tentu ada kemungkinan kedekatan kapitalisme awal dengan etos atau nilai-nilai agama.

Terlepas dari ketiga hal tersebut, buku ini tetap menarik karena mencoba menggali kemungkinan kekayaan khazanah kebudayaan lain (Islam) untuk tampil dalam ajang sistem ekonomi dunia, dengan tidak semata-mata berkaca pada pengalaman dunia Barat. Apalagi, uraian Chapra dalam buku ini tidak semata bersifat teoritik, tetapi juga dilengkapi dengan aplikasi praktis dalam bidang perencanaan pembangunan. Lebih jauh, buku ini dapat pula dilihat sebagai usaha melakukan islamisasi ilmu ekonomi—meski masalah islamisasi ilmu ini juga masih debatable. Karena itu, buku ini sebenarnya layak diapresiasi bagi mereka yang peduli dengan upaya-upaya perbaikan ekonomi umat Islam yang menghadapi tantangan begitu berat.

0 komentar: