Kamis, 21 September 2000

Mewaspadai Ideologi Fasisme

Judul Buku: Fasisme
Penulis: Hugh Purcell
Pengantar: Mansour Fakih
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2000
Tebal: 142 + xx halaman


Setiap negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, terutama negara-negara Dunia Ketiga, sering dihadapkan pada tantangan berat untuk mencapai cita kehidupan yang lebih baik. Suatu masyarakat yang telah sekian lama hidup dalam kepengapan rezim diktator yang mengebiri hak-hak dan membungkam kebebasan masyarakat seperti mengalami kegagapan yang sulit tertahankan ketika masuk dalam suatu tatanan masyarakat yang baru. Ada orang yang menyebutnya Euforia Demokrasi.

Itulah sebutan yang terdengar seperti peringatan sekaligus sindiran bagi dilema kehidupan demokrasi. Suatu masyarakat yang baru menapakkan kakinya di alam demokrasi sepertinya memang patut mengindahkan hal ini. Kehidupan demokrasi yang dicirikan dengan kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat memang juga memiliki potensi untuk menjerumuskan masyarakat pada situasi chaos dan anarkis. Maka tak heran bila Sokrates berkata bahwa demokrasi adalah nonsens. Semangat kebebasan yang dihadiahkan kepada rakyat banyak hanya akan menghasilkan riuhnya suara tanpa nada yang jelas dan bermutu.

Atau bahkan proses transisi menuju demokrasi itu malah terjebak ke dalam ideologi fasisme. Adakah ruang yang memungkinkan hal ini terjadi? Jawabnya: mengapa tidak? Sejarah telah mencatat bagaimana fasisme Jerman dibangun di atas rasa kekecewaan masyarakatnya terhadap kegagalan eksprimentasi demokrasi.

Gambarannya tidak terlalu sulit dan rumit. Bayangkan, ketika sebuah negara baru saja terbebas dari kerangkeng pemerintahan diktator dan mulai merayakan kebebasan. Berbagai kekuatan politik mendapat kesempatan untuk tampil ke publik, dan tentu saja mendapat ruang untuk memperebutkan kekuasaan. Kekuatan-kekuatan politik yang berlawanan tentu akan bermain intrik-intrik politik, bahkan mungkin hingga dalam bentuk yang paling kotor. Kondisi yang demikian ini dapat pula mengantarkan kehidupan negara ke dalam situasi disintegrasi yang kian terbuka. Sementara, kehidupan perekonomian tidak kunjung membaik. Dalam situasi yang demikian, maka kehadiran ideologi fasisme akan sangat mungkin untuk diterima di pangkuan masyarakat yang sedang membutuhkan penyelesaian instan atas berbagai masalah sosial-politik yang dihadapinya.

Fasisme secara harfiah berasal dari Bahasa Latin fasces yang berarti “ikatan” atau “seikat”. Sebagai sebuah ideologi, fasisme menawarkan suatu bentuk negara yang diikat kuat oleh semangat kebangsaan (nasionalisme) di bawah pimpinan seorang yang kuat dan cakap. Selain dibangun di atas konstruk sosial-politik yang sedemikian rupa, seperti tergambar secara singkat di atas, fasisme didasarkan di atas sejumlah gagasan mendasar, seperti paham darwinisme-sosial, semangat nasionalisme, dominannya peran negara, pentingnya kepemimpinan, dan rasisme.

Ideologi fasisme pada bagian yang paling mendasar menganut paham darwinisme-sosial. Kehidupan masyarakat dilihat sebagai sebuah perjuangan untuk survive di antara kelompok masyarakat yang lain. Adolf Hitler pernah berkata: “Selama ada orang di atas bumi ini, akan selalu ada bangsa yang melawan bangsa yang lain.” Karena itu, strategi yang perlu dipersiapkan oleh suatu bangsa adalah dengan memperkuat negara, termasuk dengan penyuburan semangat nasionalisme.

Nasionalisme dalam fasisme berarti bahwa negara dilihat sebagai penubuhan fisik dari semangat suatu bangsa. Negara, seperti kata Mussolini, adalah pembawa kebudayaan dan semangat rakyat. Semangat nasionalisme ini juga berarti bahwa setiap warga negara harus mengedepankan kepentingan negara di atas kepentingan individu. Dengan demikian, dominasi negara atas individu merupakan tuntutan yang tak bisa ditawar. Kemudian, dalam hal pengaturan negara, ideologi fasisme mempercayakan kepada seorang pemimpin. Kekuasaan bagi pengaturan negara tidak perlu diberikan kepada banyak orang, cukup kepada seorang pemimpin yang mampu.

Atas dasar konsep-konsep itulah, maka fasisme meneriakkan satu semboyan yang khas: “Ein Reich! Ein Volk! Ein Fuehrer!” -- Satu Negara! Satu Bangsa! Satu Pemimpin!. Karena negara identik dengan bangsa, maka setiap individu harus membaktikan dirinya kepada negara. Tak boleh ada suara yang berbeda dalam suatu negara. Hak untuk berbeda tidak lagi diakui. Semua gagasan harus sama, karena setiap perbedaan pendapat, sejauh itu menyangkut kehidupan bernegara, berarti suatu pengkhianatan—pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Dan setiap pengkhianatan merupakan pengesahan bagi si pengkhianat untuk dienyahkan.

Dari gambaran tersebut, tidak salah bila Arief Budiman menyebut Negara Fasis sebagai sebuah negara yang melebihi negara otoriter. Dalam negara otoriter pluralisme masih diizinkan, sedangkan dalam Negara Fasis, wadah organisasi hanyalah wadah yang dibentuk oleh negara. Nilai-nilai yang dikembangkan hanyalah nilai-nilai yang diperkenankan negara. Dr. Goebbels, Menteri Penerangan dan Propaganda Masyarakat dari Negara Fasis Jerman pimpinan Hitler memerintahkan: Tidak mendengar apapun yang kami menginginkan kamu tidak mendengar; tidak melihat apapun yang kami menginginkan kamu tidak melihat; tidak mempercayai apapun yang kami menginginkakn kamu tidak percayai; tidak berpikir apapun yang kami menginginkan kamu tidak berpikir!

Ideologi fasisme saat ini memang tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup besar di dunia. Akan tetapi patut diingat, seperti ditengarai oleh Lyman Tower Sargent dalam Contemporary Political Ideologies, bahwa gerak ideologi fasisme memang kecil, tetapi aktif. Atau, seperti juga diingatkan oleh Mansour Fakih dalam pengantar buku ini, cara-cara fasis masih cukup sering dijumpai di mana-mana—dari ruang keluarga hingga dalam pentas negara. Ciri fasisme yang paling mudah dikenali adalah bahwa pertama kali ia menyerukan semangat persatuan kelompok dan kemudian menghalalkan cara-cara kekerasan dan teror sosial untuk meraih kekuasaan. Seperti diujarkan tanpa ragu oleh Hitler: “Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang dapat menginspirasikan massa... mengangkat senjata!”

Buku ini memberikan pengantar yang cukup untuk memahami ideologi fasisme. Secara cukup rinci, buku ini menjelaskan tentang pengertian fasisme, kelahiran fasisme, kaidah dan seruan fasisme, serta perkembangan ideologi fasisme saat ini. Dengan penekanan pada kasus fasisme di Jerman dan Italia, buku ini tidak sekedar berbicara fasisme pada dataran teoritis dan mengawang-awang, tetapi juga dilengkapi dengan uraian sosio-historis tentang fasisme di kedua negara itu.

Posisi penting buku ini dalam konteks reformasi di Indonesia adalah bahwa ia menjadi suatu suara arif yang memperingatkan kita bersama agar berhati-hati untuk tidak terjebak ke dalam pelukan praktik politik ala fasisme yang sama sekali tidak menghargai perbedaan dan selalu menggunakan cara-cara yang represif. Demikian pula keterjebakan pada seruan nasionalisme yang sempit sehingga begitu mengagungkan negara dan melupakan masyarakat. Karena itu, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi mereka yang cukup memiliki perhatian terhadap jalannya dinamika arus reformasi sosial-politik di negeri ini.

0 komentar: