Jumat, 22 September 2000

Melampaui Tradisi dan Modernitas

Judul Buku: Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun
Judul Asli: Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Autenticity
Penulis: Robert D. Lee
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Februari 2000
Tebal: 279 halaman


Banjir pemikiran modernisme yang merengkuh hampir seluruh pojokan peradaban dunia melahirkan berbagai respons yang berwarna-warni. Sebagai bagian dari peradaban dunia, Islam juga menghadapi kenyataan ini. Kehadiran pemikiran-pemikiran modernisme yang sesekali disebut sekularistik ditakuti bakal menggenangi bangunan pemikiran Islam yang ada di kepala para pemeluknya, sehingga warisan tradisi ajaran Islam tenggelam bersama-sama seiring dengan arus waktu yang tak bisa diajak kompromi. Ancaman ini dikhawatirkan bakal mengebiri medan kesadaran dan keimanan umat Islam digantikan dengan kesadaran pemikiran asing yang berwatak imperialistik.

Efek domino yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kenyataan ini ditarik lebih jauh ke dalam wilayah sosial-politik. Invasi intelektual yang juga merupakan bentuk metamorfosis dari imperialisme konvensional diakui juga akan merembet ke wilayah yang lebih konkret, yakni wilayah historis-obyektif-sosiologis. Apalagi, pemeluk agama Islam kebanyakan berdiam di kelompok negara-negara dunia ketiga, yang dalam konteks politik ekonomi internasional menjadi pihak yang terpinggirkan.

Buku karya Robert D. Lee ini adalah sebuah review atas beberapa respons beberapa pemikir Islam kontemporer terhadap ancaman semacam ini. Gelombang modernisasi yang mewabah di seluruh pelosok dunia pada mulanya memang berwujud suatu bentuk invasi pemikiran, namun belakangan mau tidak mau telah menimbulkan semacam imperialisme peradaban ke dalam wilayah Islam. Modernisasi yang ditopang dengan landasan-landasan pemikiran filsafat yang kokoh yang lahir dari periode Pencerahan, dalam bentuk yang lebih konkret menawarkan konsep-konsep baru seperti developmentalisme atau liberalisme yang disodorkan kepada kalangan dunia ketiga. Perluasan invasi modernisme Barat ke wilayah dunia yang semakin meluas ini menimbulkan kesan bagi umat Islam bahwa bentukan peradaban Islam yang bakal lahir dari situasi ini berada di bawah kendali nalar Barat.

Akan tetapi, peradaban Barat bersama-sama dengan pemikiran yang menopangnya telah keburu meluas dan nyaris menguasai seluruh peradaban dunia lainnya, termasuk Islam. Kalau memang demikian, apa yang harus dilakukan umat Islam untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah peradaban dunia?

Empat tokoh yang disajikan oleh Robert D. Lee dalam buku ini, yakni Muhammad Iqbal (pemikir anak benua India), Sayyid Quthb (tokoh organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir), Ali Syariati (ideolog par excellence revolusi Islam Iran), dan Mohammed Arkoun (pemikir Aljazair yang bermukim di Prancis), berusaha dipetakan dalam kerangka latar seperti tersebut di atas. Oleh Robert D. Lee, keempat pemikir tersebut dianggap terlibat secara intens dalam usaha pencarian kembali makna autentisitas Islam vis-à-vis konstruksi pemikiran modernisme Barat.

Makna autentisitas bagi Robert D. Lee dalam buku ini ditafsirkan dalam empat karakter (hal. 27-30). Pertama, autentisitas dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sosok pribadi yang unik. Karakter pertama ini tampak menebarkan aroma filsafat eksistensialisme yang sempat populer pada pertengahan abad ini. Kedua, aktivitas manusia melahirkan keragaman kondisi-kondisi yang melandasi individualitas manusia. Dalam pengertian ini, autentisitas tampak tidak mau melepaskan diri dari tindakan nyata dalam sejarah manusia, karena pemikiran autentik mengharuskan individu untuk membentuk suatu kondisi lingkungan yang memungkinkan berkembangnya makna autentisitas dalam keberagamaan. Ketiga, pemikiran autentik melahirkan perlawanan terhadap tradisi dan modernitas. Tradisi dianggap membelenggu keliaran pemikiran progresif dan kreatif, sementara modernitas menjebak individu untuk meninggalkan dasar-dasar fundamental ajaran agama yang tidak jarang melabuhkan pada corak pemikiran relativistik. Keempat, pemikiran autentik bisa berubah menjadi individualisme radikal, subjektivisme kognitif, dan relativisme nilai. Inilah wajah lain dari autentisitasyang juga tidak lepas dari perhatian para tokoh yang terlibat dalam wacana ini.

Pencarian autentisitas yang dilakukan keempat tokoh dalam buku ini dikaitkan dengan konteks Islam yang begitu luas, sehingga jawaban yang diajukan oleh keempat itu juga memiliki “autentisitas”-nya sendiri-sendiri. Taruhlah misalnya Muhammad Iqbal yang cukup apresitatif dan terlibat aktif dalam kreativitas penulisan karya-karya sastra mengajukan penafsiran makna autensitas dalam kerangka kehidupan individual. Bagi Iqbal, capaian autentisitas dalam beragama dimulai dari level individu, sehingga yang utama diperlukan adalah pemahaman yang lebih mapan terhadap identitias diri. Konteks identitas ini bagi Iqbal dianggap penting karena konstruksi pemikiran seorang individu dibangun di atas pemahaman eksistensial atas dirinya. Dengan pemikiran seperti ini, Iqbal kembali merayakan makna otonomi individu dalam usaha pencarian autentisitas Islam. Otonomi individu dalam konteks pencarian identitas sekaligus autentisitas memungkinkan Iqbal untuk melihat ‘agama lain sebagai landasan yang memungkinkan bagi pribadi-pribadi yang asli dan autentik’ (hal. 213). Di sini, agama dimaknai sebagai suatu jalan menuju keautentikan yang bersifat terbuka dan anti-eksklusivisme. Adapun metode yang ditawarkan oleh Iqbal salah satunya adalah ‘dengan menghidupkan kembali bentuk-bentuk kesusastraan lama sebagai alat untuk mengangkat keutamaan kehendak manusia di atas ortodoksi dan penalaran’ (hal. 170).

Tidak jauh berbeda dengan Iqbal, Mohammed Arkoun memposisikan pencarian autentisitas pertama-tama sebagai ‘jalan untuk “menghadirkan diri di dunia” secara benar’ (hal. 167). Kesadaran individual terhadap warisan tradisi dan konteks kekinian tempat ia berada menjadi fokus utama Arkoun dalam memaknai autentisitas Islam. Karena itu, Arkoun lebih memilih wilayah pelacakan nalar keagamaan yang menguasai umat Islam. Proyek Kritik Nalar Islam yang dilakukan Arkoun dapat diposisikan sebagai penguatan usaha Arkoun untuk mengatasi dilema autentisitas antara tuntutan tradisi dan gelombang modernitas. Di sini Arkoun lebih bergerak pada wilayah epistemologis dan keilmuan yang dianggap menjadi sumber kemacetan Islam dalam memberi respons kreatif atas modernitas dan pemaknaan ulang terhadap warisan tradisi. Dalam usahanya ini, Arkoun tidak segan-segan melakukan pengembaraan intelektual ke dalam berbagai pemikiran modern. Hal ini dilakukan karena Arkoun sendiri memang tidak pernah menabukan kebebasan intelektual dalam usaha pencarian autentisitas Islam. Malahan, kebebasan intelektual menjadi landasan paling penting untuk melepaskan jerat temali tradisi dan penggiringan tanpa-sadar untuk keluar dari pesan suci agama.

Dua pemikir lainnya yang dibahas Robert D. Lee dalam buku ini kelihatan cukup berbeda dengan Muhammad Iqbal dan Mohammed Arkoun. Sayyid Quthb dan Ali Syari`ati melandasi usaha pencarian pemikiran autentik dalam Islam dengan asumsi bahwa aspek tindakan dan kelembagaan lebih penting untuk dikedepankan. Pada bagian akhir buku ini, Robert D. Lee berusaha menegaskan perbedaan ini dengan mengatakan bahwa Iqbal dan Arkoun tampaknya mencari keautentikan terutama dari para elit budaya dan intelektual yang berada pada tataran individu, sementara Sayyid Quthb dan Syari`ati berpaling kepada massa (umat Islam), yakni dengan usaha untuk membentuk komunitas umat yang autentik (hal. 222). Langkah konkret yang bersifat teoritis yang diajukan Sayyid Quthb ditempuh dalam dua tahapan. Pertama, umat Islam yang beriman sejati diseru untuk meninggalkan tradsi Islam yang sedang berjalan. Tahap kedua, usaha dilanjutkan dengan pembentukan komunitas Islam yang mengatasi kesadaran individual dengan terang panduan ajaran agama (hal. 212).

Pembentukan komunitas Islam ini bagi Quthb merujuk pada sejarah kejayaan Nabi dalam mengatur masyarakat Islam awal. Oleh Quthb, hal ini ditafsirkan dan diturunkan dalam enam langkah konkret, yaitu (1) pembentukan elit garda depan, (2) pematangan kesadaran kelompok, (3) pemisahan kelompok dari masyarakat, (4) pengembangan kelompok, (5) perebutan kekuasaan, dan (6) pendirian komunitas baru. Komunitas baru yang dibayangkan Quthb dalam hal ini dibangun di atas kesadaran keberagamaan yang kuat, yakni bahwa segenap aktivitas hidup adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan yang pada gilirannya akan memberikan sesuatu yang positif bagi umat manusia. Usaha keras Quthb ini lalu mengarahkan orientasi yang lebih besar Quthb terhadap kelompok, sehingga yang amat dibutuhkan dalam usaha pencarian autentisitas Islam menurut Quthb adalah lembaga-lembaga yang dapat memperjuangkan terealisasinya cita-cita itu (hal. 122-124).

Seluruh pemikiran tentang Islam autentik tersebut di atas memang menyajikan alternatif yang cukup beragam. Seolah-olah tidak ada kepastian jawaban yang cukup memuaskan bagi suatu usaha pencarian Islam autentik. Ini juga berarti bahwa tantangan untuk mencari Islam autentik adalah semacam pengembaraan abadi umat Islam—menurut istilah Prof. Azyumardi Azra—yang akan terus berlanjut. Karena itu, pembatasan Robert D. Lee terhadap usaha pencarian Islam autentik terbatas pada empat pemikir kontemporer itu menjadi semacam keberatan yang dapat diajukan untuk buku ini. Apakah pencarian Islam autentik hanya berkisar pada periode kontemporer saja, dan tidak terjadi dalam periode-periode terdahulu?

Buku ini memang menjadi menarik ketika dibenturkan dengan fenomena dilema-dilema umat Islam menghadapi tuntutan serangan pemikiran modernisme dan tuntutan untuk tetap mempertahankan ciri khas dari peradaban Islam. Akan tetapi, dalam buku ini Robert D. Lee kelihatan terjebak dalam perangkat stok pemikiran yang dominan dalam dirinya. Sebagai seorang profesor ilmu politik di Colorado College, Robert D. Lee tampak lebih mengedepankan aspek-aspek politik dalam usaha pencarian Islam autentik. Artinya, secara tidak langsung Robert D. Lee telah melakukan suatu pemihakan epistemologis terhadap Sayyid Quthb dan Ali Syari`ati, sehingga pemikiran Arkoun misalnya juga berusaha dikaitkan dengan aspek politik itu.

Padahal, seperti kata Arkoun sendiri yang juga dikutip dalam buku ini, pencarian Islam autentik (Arkoun sendiri tidak suka dengan istilah ini) yang berkutat dalam wilayah politik cenderung bersifat ahistoris, eksklusif, tidak ilmiah (ideologis), dan tidak toleran. Konstruksi Nalar Islam yang mirip dengan corak pemikiran Abad pertengahan ini bagi Arkoun justru menimbulkan alienasi dalam dunia pemikiran Arab (Islam).

Hal terakhir yang patut diingat adalah pertanyaan, apakah usaha pencarian Islam autentik ini akan dapat berimplikasi secara nyata dalam kehidupan umat Islam. Sebagai sebuah wacana intelektual, ini mungkin tidaklah buruk. Akan tetapi, apa sebenarnya yang diharapkan secara lebih jauh dari usaha ini kiranya menjadi suatu agenda lain yang penting disadari untuk mendapatkan suatu cakrawala berpikir yang lebih luas. Wallahu a`lam.

0 komentar: