Senin, 03 Juli 2000

Menuju Islam Politik yang Toleran

Judul Buku : Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi
Penulis : Robert W. Hefner
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2000
Tebal : xxviii + 330 halaman


Ernest Gellner, seorang filsuf dan antropolog sosial asal Inggris, mengatakan bahwa Islam politik adalah musuh abadi pluralisme dan kebebasan sipil serta gagal mendukung asosiasi-asosiasi tandingan. Islam politik bagi Gellner lebih mengedepankan hukum-hukum Tuhan yang cenderung membunuh kebebasan dan pluralisme sosial.
Untuk kasus Indonesia, benarkah demikian? Persoalan hubungan antara Islam dan cita-cita terciptanya masyarakat yang demokratis merupakan persoalan yang tak pernah kehilangan nilai aktualitasnya. Islam Indonesia secara kuantitatif mewakili lebih dari 80% masyarakat, sehingga peranan Islam untuk menciptakan masyarakat demokratis tidak dapat disepelekan. Hanya saja, persoalannya adalah apakah Islam politik dalam kasus Indonesia mendukung bagi upaya peningkatan dukungan sosial bagi demokrasi, toleransi, dan penegakan hak-hak asasi manusia, ataukah sebaliknya?
Robert W. Hefner melalui buku terbarunya ini secara tegas menampik segala jenis universalisasi dan berbagai simplifikasi yang stereotip terhadap Islam politik, seperti tercermin dalam pandangan Gellner di atas. Bagi Hefner, tidak ada satu penjelasan tunggal bagi fenomena-fenomena sosial semisal masalah Islam dan demokrasi, kapitalisme, masyarakat sipil, atau tentang Orde Baru. Masing-masing kisah menurut Hefner memiliki kekuatan-kekuatan potensial berupa artikulasi-artikulasi lokal yang saling tarik-menarik dan tidak sederhana. Ia dapat meliputi variabel interaksi masyarakat, peran negara, struktur politik, dan kebudayaan—dan itu semua terjalin secara cukup rumit.
Islam politik dan wacana masyarakat sipil misalnya dalam kasus Indonesia ternyata memiliki dinamika sejarah yang begitu panjang dan tidak sederhana. Benih-benih potensial bagi masyarakat sipil bahkan oleh Hefner dilacak sepanjang lima abad yang lalu, bersama-sama dengan proses islamisasi dan menjelang datangnya gelombang kolonialisme bangsa Eropa di wilayah Asia Tenggara. Kedatangan Islam awalnya memang cenderung menggantikan pengaruh Hindu-Budha dalam tradisi religio-politik sehingga Islam mewujud dalam pola “raja-sentris”. Kerajaan Islam bermunculan di sana-sini. Akan tetapi, di sisi yang lain, pedagang-pedagang Nusantara juga menunjukkan independensi yang tinggi terhadap penetrasi negara. Anthony Reid menggambarkan bagaimana kekuatan pedagang-pedagang Nusantara pada abad ke-15 hingga ke-17 mampu membentuk pasar ekonomi yang makmur dan mandiri di kawasan Asia Tenggara.
Struktur Islam politik dan struktur masyarakat sipil yang demikian tidak berumur panjang, sehubungan dengan datangnya kolonialisme Eropa. Kejadian ini ternyata telah meruntuhkan struktur sosial-politik dan ekonomi yang mulai terbentuk di kawasan Nusantara. Dukungan kaum kolonial terhadap penguasa-penguasa lokal dengan maksud untuk memudahkan penguasaan sumber daya alam telah menggeser kekuatan Islam politik ke wilayah rakyat bawah (“masyarakat sipil”). Islam politik yang berbasis rakyat tiba-tiba menguat dan menunjukkan vitalitasnya yang tinggi berhadapan dengan kekuatan-kekuatan asing baru yang didukung oleh elit pribumi.
Pergeseran ini telah menyuburkan lahirnya berbagai gerakan sosial yang berada di bawah kontrol kepemimpinan non-pemerintah. Inilah awal bagi munculnya rasa curiga dan sikap hati-hati kalangan Islam politik terhadap segala bentuk kekuasaan yang berpusat pada negara.
Akan tetapi, ketika Negara Indonesia hendak dibentuk, terjadi beragam penafsiran terhadap warisan sejarah Islam politik itu sendiri. Ada beberapa kalangan yang menghendaki potret Islam politik ideal yang didasarkan pada kesatuan kekuasaan agama dan negara, di samping adanya kehendak beberapa kalangan lain untuk tetap menjaga jarak dengan bentuk kekuasaan negara dan lebih mempertahankan diri pada level masyarakat bawah. Dua bentuk penafsiran inilah yang dalam proses sejarah seterusnya mengalami proses tarik-menarik yang tiada henti—bahkan hingga saat ini.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, kekuatan Islam politik yang berorientasi pada pemberlakukan hukum Islam mengalami cukup banyak kesulitan untuk merealisasikan impiannya, hingga pada akhirnya partai Masyumi—partai Islam yang paling getol memperjuangkan gerakan Islam politik berorientasi penguasaan negara—dilarang secara resmi oleh pemerintah.
Kekuatan Islam politik pada awal Orde Baru mulanya memang diberi tempat yang cukup nyaman. Akan tetapi, bagi Hefner hal ini jelas menggambarkan pola politik Presiden Soeharto yang berusaha mencari sumber kekuatan bagi usaha pemberangusan sisa-sisa Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Terbukti, sejak awal 1970-an Soeharto mulai menyingkirkan Islam politik yang terasa mengancam. Penundukan terhadap gerakan Islam politik yang semakin kuat melakukan tuntutan demokratisasi terus dilakukan, terutama dengan langkah penetapan Pancasila sebagai asas tunggal dan pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Menurut Hefner, sikap akomodatif Soeharto terhadap kekuatan Islam politik sejak awal dasawarsa 1990-an bukan karena komitmen politik Soeharto terhadap Islam, melainkan lebih karena kehendak untuk mengontrol Islam politik yang mulai menggeliat bangkit dari keterpurukannya. Pada periode inilah, kekuatan Islam politik benar-benar mulai menunjukkan revivalitasnya. Akan tetapi, catatan penting dari Hefner yang patut digarisbawahi adalah bahwa kekuatan-kekuatan Islam politik pada periode ini tidak bersifat seragam. Bahkan, titik tolak yang menjadi entri-point beberapa tokoh terhadap gerakan tuntutan demokratisasi juga beragam, bukan hanya berdasar pada kesadaran normatif-teologis (Islam).
Hal lain yang cukup menarik dikemukakan adalah adanya upaya-upaya pemanfaatan kekuatan Islam politik ini oleh rezim Orde Baru untuk melestarikan kekuasaannya. Kasus ICMI misalnya adalah salah satu contoh yang bisa dikemukakan. Selain itu, kedekatan beberapa orang dari kelompok Islam politik beraliran konservatif dengan penguasa malah semakin memperkeruh situasi politik. Beberapa kelompok pendukung rezim Orde Baru diam-diam “mengelabuhi” kekuatan Islam politik konservatif dengan memanfaatkan isu agama demi mendukung kekuasaan politiknya.
Kompleksitas konfigurasi Islam politik tentu saja tidak dapat cair dan terintegrasi dalam waktu yang singkat. Bahkan, hingga saat ini, ketika kekuatan-kekuatan Islam politik dari berbagai aliran telah cukup banyak menguasi lembaga-lembaga negara, trik-trik politik antara berbagai elemen Islam politik itu masih kelihatan terus mengeras.
Lalu, adakah masa depan demokrasi dalam gerakan Islam politik yang saat ini seperti “menguasai” wacana demokrasi di Indonesia itu? Catatan menarik yang dikemukakan Hefner dalam buku ini adalah bahwa agenda penting yang perlu dilakukan oleh pelbagai bentuk gerakan Islam politik mau tidak mau adalah berupa upaya bagaimana agama (Islam politik) mampu memperkuat cita-cita demokrasi, dengan cara menjaga jarak secara hati-hati, dan tidak membiarkan diri mereka atau ideal-ideal mereka disubordinasikan terhadap tingkah penguasa atau program partai. Tatanan keagamaan juga harus dibuat seefektif mungkin hingga dapat mendukung kemajuan demokrasi. Untuk itulah, wawasan Islam politik yang pluralistik dan toleran—seperti juga ajaran tentang tidak adanya paksaan dalam beragama—amat penting dikedepankan. Kekerasan dalam beragama harus diminimalisasi, dengan memposisikan institusi agama lebih sebagai media kontrol ketimbang penopang kekuasaan politik.
Bertolak dari gagasan-gagasan itu, Hefner mengusulkan agar agenda penguatan masyarakat sipil menjadi program utama. Warisan sejarah Islam politik yang amat kaya bagi Hefner telah cukup mampu menjadi pelajaran penting untuk lebih menekankan peran Islam politik dalam wilayah yang lebih “aman”: mengantisipasi berbagai bentuk pembalikan peran agama ke dalam medan yang kotor. Menurut Hefner, agama yang disalahgunakan dan ditunggangi akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Karena itulah, orientasi gerakan Islam politik akan lebih efektif bila ia bergerak di luar negara, yang dalam terminologi ilmu politik populer disebut dengan istilah masyarakat sipil.
Dalam konteks kehidupan politik Indonesia saat ini buku ini seperti hendak memberi aba-aba sekaligus peringatan bagi berbagai elemen gerakan Islam politik yang beragam terhadap berbagai ancaman potensial terulangnya kembali kecelakaan sejarah yang dapat mencitrakan Islam politik sebagai sesuatu yang anti-demokrasi. Pelajaran berharga ini yang dikemas dalam perspektif historis dan komprehensif oleh Hefner dibangun di atas suatu “kearifan metodologis” yang khas, yakni bahwa berbagai fenomena sosial-politik di seluruh penjuru dunia sama sekali tak bisa dijelaskan dengan bentuk-bentuk stereotyping tertentu, sehingga mengabaikan artikulasi lokal yang bersifat kompleks dan lebih menentukan. Untuk itu dalam buku ini Hefner amat menekankan aspek-aspek lokal yang khas yang membentuk arus sejarah pergulatan Islam dan demokrasi.
Gagasan tentang kehidupan demokrasi dan masyarakat sipil bagi bangsa Indonesia memang masih berupa suatu eksprimentasi sejarah yang mungkin membutuhkan lorong yang panjang. Dan, umat Islam melalui beragam bentuk gerakannya dapat mendukung cita-cita ini asalkan mampu menghargai berbagai bentuk pluralisme yang menyebar di sepanjang kepulauan Nusantara. Kita tunggu.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 3 Juli 2000.

0 komentar: