Selasa, 16 Mei 2000

Belajar Filsafat Sambil Berfilsafat

Judul Buku : Pengantar Filsafat
Penulis : Louis O. Kattsoff
Penerjemah : Soejono Soemargono
Penerbit : Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
Cetakan : Ketujuh, November 1996

Ketika seseorang mendengar kata “filsafat”, seringkali yang terbayang adalah sesuatu yang aneh, angker, absurd, atau membingungkan. Filsafat seringkali dikaitkan dengan model-model pemikiran yang rumit, penuh digenangi dengan istilah-istilah yang khas, bersifat abstrak, sehingga sulit dipahami. Ada anggapan bahwa pemikiran filsafat berada di langit yang menjulang tinggi, seperti juga sekelompok orang yang berada di menara gading. Ya. Filsafat kadang-kadang dilabelkan sebagai suatu bentuk elitisme intelektual.

Anggapan-anggapan yang seperti itu bisa jadi memang bersumber dari suatu kesalahpahaman orang terhadap filsafat itu sendiri. Filsafat oleh para pembelanya sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan. Filsafat mengklaim hendak merengkuh kedalaman realitas sehingga tuntas tak tersisa.

Persoalan ketegangan pembentukan citra terhadap filsafat ini mungkin memang tak akan pernah berakhir. Akan tetapi, ada satu hal yang sebenarnya cukup menarik dan bersifat mendasar berhubungan dengan hal ini, yakni pertanyaan mengapa kita (harus) berfilsafat? Apa kekhasan corak berpikir filsafati sehingga ada orang-orang yang sabar dan tekun masuk dalam model pemikiran ini? Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, sebenarnya secara tidak langsung orang yang ditanya—dan juga diri kita—sudah diajak berfilsafat. Berfilsafat dalam pengertian yang paling sederhana, yakni dalam konteks ini, adalah usaha merumuskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal sesuatu hal.

Ada banyak cara untuk berfilsafat, sekaligus pula ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti disebut di atas. Ada yang bertolak dari sejarah, dalam arti mempelajari filsafat dengan menelusuri sejarah (pemikiran) filsafat. Satu persatu, pemikiran para filsuf diuraikan secara jelas sehingga dalam rentetan tokoh (filsuf) yang sekian banyak itu dapat menunjukkan suatu kesinambungan historis dari pemikiran yang dilahirkan. Dengan perspektif historis dalam belajar filsafat diharapkan seseorang dapat memahami proses dialektis kelahiran suatu pemikiran.

Cara yang kedua adalah mempelajari filsafat secara sistematik, melalui cabang-cabang disiplin filsafat yang sudah mapan, seperti epistemologi, metafisika, kosmologi, aksiologi, dan sebagainya. Yang lebih ditekankan dalam model pendekatan kedua ini adalah kekhasan masing-masing cabang disiplin filsafat, sehingga dari berbagai cabang filsafat itu kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan umum tentang apa dan mengapa harus berfilsafat. Dalam model yang kedua ini biasanya seseorang dihantarkan dulu kepada masalah pengertian-pengertian mendasar tentang filsafat.

Dalam posisi yang kedua inilah sebenarnya buku Louis O. Kattsoff dapat didudukkan. Buku yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul Elements of Philosophy ini berusaha menguraikan secara sistemik berbagai cabang filsafat secara jelas dan rinci. Kalau hendak diidentifikasi, model pendekatan yang dilakukan Kattsoff dalam buku ini memiliki dua ciri. Pertama, Kattsoff tidak menggunakan pendekatan historis. Pendekatan historis ini bagi Kattsoff kurang lebih cenderung menjebak seseorang yang belajar filsafat pada dogmatisme pemikiran sang filsuf yang dipelajari, karena konteks sosial-historis dari pemikiran yang dipelajarinya itu sebenarnya cukup asing dan sulit terpahami menurut perspektif kekinian si pembaca. Dalam situasi seperti ini, absurditas pemikiran filsafat masih menjadi ancaman yang besar. Kedua, dalam buku ini Kattsoff terlihat amat menekankan proses pengenalan (pembelajaran) terhadap filsafat secara lebih aktif. Melalui buku ini Kattsoff seperti hendak memberikan pelajaran filsafat bagi khalayak luas dibarengi dengan tuntutan bagi si pembaca untuk ikut berfilsafat. Artinya, buku ini seperti hendak berusaha mengenalkan filsafat dengan cara mengajak langsung si pembaca pada medan filsafat itu sendiri.

Dengan cara ini, Kattsoff mengajak pembacanya untuk langsung melihat sejauh mana relevansi intelektual dari pemikiran filsafat yang dipelajari. Melalui buku ini, Kattsoff hendak berusaha membumikan filsafat ke dalam cara berpikir si pembaca. Karena itu, Kattsoff tidak terlalu mengedepankan pendapat atau pandangan filsuf tertentu menyangkut suatu hal, tetapi bagaimana model berpikir filsafati itu diterapkan dalam butir-butir penting dari setiap cabang filsafat.

Selain dari model pendekatan yang digunakan dalam buku ini, satu hal lagi yang cukup khas dalam uraiannya adalah usaha Kattsoff untuk menjelaskan alasan mengapa filsafat itu penting. Enam bab pertama dan satu bab terakhir dari dua puluh satu bab keseluruhan buku digunakan Kattsoff untuk menguraikan permasalahan ini. Aktivitas berfilsafat menurut Kattsof (hal. 469-73) dilakukan untuk menghindari perbudakan akali. Perbudakan akali adalah suatu cara untuk ‘mengauskan akal pikiran sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja’. Perbudakan akali menggiring orang-orang untuk percaya begitu saja terhadap suatu hal. Dalam perbudakan akali, orang-orang ditakut-takuti bahwa bila ia mempersoalkan hal itu secara lebih jauh, maka ia akan tiba pada suatu kekacauan pikiran. Padahal, bagi Kattsoff, kekacauan pikiran terjadi karena adanya ‘kepercayaan-kepercayaan yang tidak serasi, bukan karena pikiran yang hati-hati’.Mempercayai sesuatu, mengandung makna yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan hanya mengulang-ulang perkataan. Mempercayai sesuatu, jika masuk akal dan layak bagi manusia, haruslah runtut, koheren dan sistematis. Dengan kata lain, mempercayai sesuatu berarti mempunyai tinjauan kefilsafatan yang kita sadari. Tetapi tinjauan semacam itu harus menggunakan perkataan yang jelas, didefinisikan secara baik, dan berisikan pernyataan-pernyataan yang didukung oleh bukti tertentu. Inilah yang dimaksudkan dengan pengertian “pandangan dunia” (hal. 471).Berfilsafat adalah aktivitas untuk menyusun suatu pandangan dunia (world-view, weltanschaung). Pandangan dunia yang dimaksudkan di sini adalah berupa dasar-dasar pemahaman fundamental mengenai berbagai sisi realitas sehingga mencapai hakikat yang terdalam. Perangkat yang dipergunakan berbentuk model pemikiran yang bersifat ketat, rasional, sistematis, koheren, dan komprehensif. Dengan serangkaian model pemikiran tersebut, filsafat tidak menghentikan setiap pemikirannya pada dataran wilayah yang dangkal. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menyeberangi dan melampaui fakta (beyond the fact), masuk ke palung samudera hakikat realitas yang tak dijamah ilmu-ilmu khusus. Dengan bermodalkan serangkaian perangkat dan proses berpikir filsafati ini, diharapkan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas yang dihadapinya bersifat lebih umum, mendasar, dan mencapai hakikat yang terdalam. Pemahaman yang kurang lebih bersifat sempurna inilah nantinya akan dapat menjadi titik tolak bagi tindakan yang lebih layak (hal. 3-15). Pemahaman yang benar yang mengarah kepada suatu tindakan yang lebih layak menurut Kattsoff menjadi suatu alasan penting dalam berfilsafat karena didasarkan pada keinginan untuk mengusahakan suatu ‘kehidupan yang bermakna dan layak’ (hal. 470), karena mungkin dalam bayangan Kattsoff hidup yang tidak bermakna adalah hidup yang tak layak dijalani.

Uraian-uraian dalam buku ini setelah memberi penjelasan umum tentang filsafat pada enam bab pertama adalah menyangkut cabang-cabang filsafat sistematik dan persoalan-persoalan besar pemikiran filsafat, yang meliputi epistemologi, ontologi, kosmologi, aksiologi, etika, estetika, masalah hidup, masalah jiwa, masalah manusia (Filsafat Manusia), masalah politik (Filsafat Politik), dan masalah agama (Filsafat Agama).

Dalam pandangan Kattsoff, dua cabang filsafat sistematik yang disebut pertama, yakni epistemologi dan ontologi, disebut sebagai ‘hakikat kefilsafatan’. Akan tetapi, dalam membahas mengenai nilai urgensi dari kedua cabang filsafat itu, Kattsoff tidak terjebak ke dalam suatu upaya untuk mensuperioritaskan salah satunya, seperti yang juga menjadi perdebatan sepanjang sejarah filsafat. Kattsoff tidak (mau) masuk dalam pertanyaan kontroversial: apakah berfilsafat itu bertolak dari epistemologi, atau ontologi? Meski begitu, secara implisit dapat ditafsirkan bahwa sebenarnya Kattsoff lebih mengedepankan epistemologi, terbukti dengan sistematika penulisan buku ini yang lebih mengedepankan bab epistemologi sebelum bab ontologi. Alasan yang diajukan Kattsoff—meski secara implisit—amatlah sederhana: kalau ontologi berusaha mempelajari hakikat segala yang ada, tidaklah mungkin kalau ia tidak didasarkan atas suatu legitimasi epistemologis tertentu, yakni bahwa hakikat ada itu (yang bersifat umum) dapat diketahui. Ini terlihat dari kutipan berikut:Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologis. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (hal. 135).Dengan berusaha memberikan pengertian yang tegas bahwa pemahaman tentang batas-batas pengetahuan amatlah penting, maka Kattsoff mengedepankan studi-studi epistemologis sebelum menguraikan cabang filsafat yang lain.

Selain itu, dari ketiga cabang filsafat sistematik yang disebut pertama, yakni epistemologi, ontologi, dan kosmologi, Kattsoff seperti hendak “memisahkannya” dengan cabang filsafat dan persoalan filsafat yang disebut sesudahnya, yakni aksiologi, etika, estetika, masalah hidup, masalah jiwa, masalah manusia (Filsafat Manusia), masalah politik (Filsafat Politik), dan masalah agama (Filsafat Agama). Model pembagian ini tetap didasarkan atas pengertian tentang batas-batas pengetahuan (filsafat) tersebut di atas. Sepertinya, Kattsoff hendak mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat sebagai suatu aktivitas pemikiran yang bersifat ketat, rasional, sistematis, koheren, dan komprehensif, hanya berlaku bagi ketiga cabang filsafat tersebut di atas.

Sementara, cabang filsafat dan masalah filsafat pada bagian yang kedua hal tersebut tak dapat diterapkan sepenuhnya. Karena itu, Kattsoff menggunakan judul “Pengembaraan Tiada Bertepi” dan “Terbentangnya Cakrawala Kebijaksanaan” untuk bagian kedua itu. Di sini, tercermin komitmen kuat dari Kattsoff untuk tetap menghargai ‘medan-medan misterius’ yang juga melingkupi realitas hidup manusia. Komitmen Kattsoff ini terlihat dari uraian-uraiannya yang tidak kalah mendalam dan berbau ‘filsafati’ pada pokok kajian bagian kedua ini. Ketika membahas masalah agama misalnya, secara kritis dan khas filsafati Kattsoff mengurai satu-persatu masalah istilah-istilah mendasar seperti “agama”, “Tuhan”, “pencipta”, “eksistensi Tuhan”, hingga masalah pembuktian Tuhan (hal. 443-67). Uraian-uraian yang dilakukan Kattsoff dalam bab-bab ini terlihat masih mempertahankan usaha-usaha berpikir secara kefilsafatan secara kuat, meski harus berhadapan dengan tantangan berupa obyek material yang ditelitinya itu sendiri.

Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pemihakan terhadap model berfilsafat dengan cara tertentu tidak dapat dihindarkan dalam setiap usaha mengajarkan tentang apakah filsafat itu. Kattsoff harus diakui telah cukup canggih dalam usahanya menguraikan permasalan-permasalahan mendasar filsafat secara baik, dengan langsung menerjunkan pembacanya kepada alam pikiran berfilsafat itu sendiri. Akan tetapi, bahwa Kattsoff telah mengabaikan cara mengajarkan filsafat yang lain adalah sesuatu yang wajar dari sebuah pilihan—yang berarti mesti menyisihkan yang lain.

Sebagai catatan akhir, patut diingat bahwa keampuhan buku ini mengantarkan pembaca ke dunia filsafat yang lebih konkret tidak hanya dimonopoli dengan model pendekatan ala Kattsoff. Model pengajaran filsafat melalui model historis misalnya asal dilakukan dengan cerdas terbukti pula mampu mengantarkan pembaca ke alam filsafat secara cukup baik. Buku Sofie’s Verden karya Jostein Gaarder (diterjemahkan menjadi Dunia Sophie) adalah contoh bagus yang juga layak diapresiasi. Terbukti, buku ini telah mampu terjual lebih dari 9 juta buku di seluruh dunia.

Wallahu a`lam.


0 komentar: