Selasa, 30 April 1996

Rasionalisme Menuju Dinamisme

Judul buku: Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Penulis: Prof. Dr. Harun Nasution
Penerbit: Penerbit Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Mei 1995
Tebal: 464 halaman


Di antara para pemikir Islam di Indonesia, nama Harun Nasution memang cuup mempunyai tempat yang agak istimewa. Sebab—sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid—Harun Nasution telah memulai dan ‘menanam’ semacam tradisi intelektual—yang beliau rintis di IAIN Jakarta—yang menghasilkan suatu fenomena umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, dan tidak takut lagi untuk mempertanyakan doktrin yang dipandang sudah mapan di kalangan umat Islam. Lain dari itu, tokoh yang disebut-sebut sebagai penganut Neo-Mu’tazilah ini sering kali melontarkan ide dan gagasan-gagasan yang cukup menarik dan menjadi perhatian masyarakat.

Islam Rasional
, adalah buku terbarunya yang diterbitkan setelah sekitar tujuh judul buku yang ditulisnya diterbitkan. Buku ini merupakan sebuah kompilasi dari makalah-makalahnya antara tahun 1970 sampai dengan 1994. Walau rentang waktunya cukup lama dan terkesan sudah usang, namun buku ini tetap memiliki kekuatan analisis yang kuat dan tetap terasa enak dibaca.

Secara garis besar, buku ini mencoba memberikan sebuah alternatif solusi yang cuup mendasar bagi beraneka macam persoalan keislaman, di Indonesia. Persoalan pokok yang kini sedang dihadapi umat Islam Indonesia adalah berkaitan dengan kemunduran dan keterbelakangan kita (baca: umat Islam) dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.

Sebagai seorang cendekiawan, Harun Nasution melihat adanya suatu kemandekan dalam segala aspek kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam bidang kebudayaan dan tradisi keilmuan. Kreativitas umat Islam menjadi menurun sangat drastis sekali, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali.

Untuk dapat menemukan dan menumbuhkan kembali kreativitas umat Islam, Harun mengajak kita untuk menengok kembali dan membuka-buka lembaran sejarah, di mana pada sekitar tahun 650-1250 masehi umat Islam mencapai masa keemasannya. Pada periode ini—yang oleh Harun disebut sebagai periode klasik—, dunia Islam berkembang ke barat sampai ke Spanyol, ke timur sampai ke India, ke utara sampai ke Kaukasus, dan ke selatan sampai ke Sudan. Terjadi pula kontak-kontak kebudayaan dengan barat dan kebudayaan Yunani klasik yang cukup masyhur dengan kebudayaan hellenisme-nya itu. Sementara dalam bidang keilmuan, muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup handal, baik dalam bidang ilmu Al-Quran, tafsir, fiqh, tasawuf, akidah, dan sebagainya. Begitu pula dengan bidang sains juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam ilmu kedokteran, kita mengenal Ibn Rusyd dan Ibn Sina, di mana karya-karya keduanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak dipakai di Eropa hingga abad ke-18 masehi. Ilmu kimia, dikembangkan oleh Jabir dan Al-Razi, dan pemikiran-pemikirannya merupakan sumbangan besar bagi para ilmuwan yang lainnya. Bidang matematika dikembangkan oleh Al-Khawarizmi, sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Demikian juga dalam bidang-bidang yang lainnya.

Peradaban Islam, mengalami peningkatan yang pesat, dan dinamika masyarakat menunjukkan ke arah suatu perubahan yang semakin baik. Kemudian sesudah periode ini, Islam mengalami kemunduran secara total, tepatnya bermula setelah Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan pada tahun 1258 M.

Berangkat dari pengalaman sejarah itulah, Harun mencoba untuk menelaah guna menemukan sebuah solusi alternatif agar Islam dapat mengejar ketertinggalannya.

Dalam permasalahan ini, Harun melihat paling tidak ada tiga faktor utama yang dapat menjadikan peradaban umat Islam pada saat itu mengalmai kemajuan yang pesat.

Yang pertama, adalah kesanggupan ulama-ulama zaman klasik dalam hal membedakan ajaran-ajaran dasar Islam yang bersifat absolut dan ajaran-ajaran yang bukan dasar dan sifatnya tidak mutlak. Pada zaman klasik itu, diyakini bahwa hanya ajaran yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja yang dapat dijadikan sebagai dogma. Ini sangat berbeda sekali dengan pandangan ulama-ulama zaman pertengahan, yaitu periode sesudah zaman klasik, yang menganggap bahwa selain Al-Quran dan Hadits, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada zaman klasik juga diyakini sebagai dogma. Sehingga yang mengikat pemikiran pada zaman pertengahan bukan hanya ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang hanya dapat menjadikan kebebasan berpikir dan bergerak mereka amat terikat. Sementara pada zaman klasik dogma yang mengikat pemikiran para ulama pada waktu itu sangat sedikit sekali, sehingga pemikiran menjadi terbuka, pandangan menjadi luas, serta sikap mereka menjadi dinamis. Tak heran jika kebudayaan Islam pada zaman klasik ini berkembang pesat sekali.

Mengenai hal ini, sebenarnya Harun sudah sering kali mengemukakannya. Misalnya saja dalam sebuah wawancaranya dengan Julizar Kasiri, seorang wartawan Tempo, —yang kemudian dimuat pada edisi No. 30 tahun XX, 22 September 1990—, Harun menjelaskan bahwa ajaran Islam yang absolut itu hanya sekitar 5% saja dari seluruh ajaran yang kita pakai selama ini. Yang 5% ini hanyalah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja. Selebihnya (yang 95%), adalah karangan-karangan para sahabat dan ulama-ulama yang tidak ma‘sum (bebas dari kesalahan). Maka dari itu, kata Harun, jika ajaran yang nisbi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang, bisa saja ditinggalkan untuk kemudian mencari penyesuaiannya dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan Hadits.

Faktor yang kedua adalah pandangan ulama-ulama zaman klasik tentang posisi akal dalam Islam. Pada periode klasik ini, akal digunakan sebagai perinci serta yang menafsirkan ajaran-ajaran dasar dalam Al-Quran, sehingga ajaran-ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada, tanpa terlepas dari tuntunan wahyu. Dalam permasalahan ini, Harun bahkan berpendapat bahwa akal telah menjadi sumber ketiga ajaran Islam, setelah Al-Quran dan Hadits.

Sedangkan faktor yang ketiga adalah berhubungan dengan masalah teologi. Teologi yang dianut oleh para ulama zaman klasik adalah teologi rasional, atau yang kita kenal dengan faham Qadariyah, di mana menurut faham ini, manusialah yang menentukan nasibnya (free will), serta manusialah yang menciptakan perbuatannya.

Dengan faham Qadariyah ini, maka produktivitas dan kreativitas umat Islam pada masa itu sangatlah tinggi. Sementara umat Islam pada zaman pertengahan yang menganut faham Jabariyah (fatalisme), produktivitasnya rendah, sebab mereka beranggapan bahwa nasib itu sudah ditentukan oleh Tuhan sejak semula, sehingga manusia tak bisa berbuat apa-apa.

Maka bertitik tolak dari ketiga faktor tersebut, Harun mengajak kita bersama untuk merekonstruksi pemikiran kita yang selama ini telah mengakibatkan kemandekan di kalangan umat Islam sendiri. Harus segera diadakan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini.

Dan perlu dicatat pula, bahwa dalam melaksanakan tugas ini, yaitu upaya untuk merekonstruksi dan mereinterpretasikan pemahaman keislaman kita saat ini, diperlukan seorang penafsir yang benar-benar mampu, yang menurut Harun harus dituntut tidak hanya tahu agama saja, tapi juga dapat memahami setiap perkembangan zaman. Dalam hal ini Harun berharap agar sarjana-sarjana yang dihasilkan IAIN mampu untuk memenuhi tuntutan itu. Beliau berharap semoga sarjana-sarjana IAIN dapat bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, dan pengetahuannya tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan umum, sehingga mampu untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran dasar Islam itu.

Memang buku ini cukup enak dibaca. Sebab selain bahasa yang dipakai Harun sederhana, persoalan yang dikupas juga tidak begitu ruwet. Namun sisi kelemahan buku ini adalah terlalu banyaknya pengulangan dalam mengungkapkan suatu permasalahan. Walaupun sebenarnya ini sudah disadari oleh Harun—sebagaimana diungkapkannya dalam pengantar buku ini—, tetapi alangkah akan lebih baiknya bila ada yang mengelaborasikan tulisan-tulisan dengan tema yang agak sama itu, baik hal itu dilakukan sendiri oleh Harun, atau oleh penyunting buku ini.

Kehadiran buku ini, mungkin akan dapat mengajak kita bersama untuk melakukan sebuah rekontemplasi tentang pemahaman keislaman kita selam ini dalam memecahkan permasalahan-permasalahan umat Islam dewasa ini.


Tulisan ini selesai ditulis pada 28 Juli 1995 dan dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) terbitan Departemen Agama Jawa Timur edisi April 1996.

0 komentar: