Selasa, 30 Mei 1995

Khittah 1926 dan Civil Society


Judul : Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil
Editor : Ellyasa KH. Dharwis
Para Penulis : Andree Feillard, Douglas E. Ramage, Daniel Dhakidae, dkk
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 1994
Tebal : xiii + 194 halaman


Sang ibu sudah hamil sejak tahun 1959. Duapuluh tahun kemudian baru hamil tua. Lima tahun setelah itu lahirlah: kembali ke Khittah 1926. (AULA, Nomor 9 Tahun XII, Maret 1990).

Semenjak NU menerjunkan dirinya dalam kancah politik orde lama, NU sepertinya lupa akan tujuan sosialnya yang semula dicetuskan. NU, dengan statusnya sebagai sebuah partai politik, berusaha keras untuk mencapai cita-cita perjuangannya. Tapi akibat lemahnya strategi politik yang mantap dan memadai, maka dalam tubuh NU itu sendiri tercipta benturan-benturan pandangan mengenai keterlibatannya dalam politik. Ini berpuncak pada meluaskan keinginan kelompok yang kritis terhadap kelompok politisi untuk melakukan peninjauan kembali atas keterlibatan NU dalam politik. Terbukti, Kiai Achyat dari Mojokerto pada Muktamar XXII di Jakarta mengusulkan supaya NU kembali ke Khittah 1926. Namun rupanya ide Kiai Achyat tersebut masih belum mendapat dukungan dari tokoh-tokoh NU yang lain, hingga akhirnya ide beliau itu harus menunggu sampai dua puluh lima tahun kemudian, tepatnya pada Muktamar XXVII di Situbondo.

Keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926 ini, dibuat setelah melewati suatu proses yang panjang, baik melalui perdebatan-perdebatan internal yang intens, ataupun melalui mass media dan forum-forum diskusi. 25 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk memutuskan suatu keputusan penting yang akan menentukan gerak langkah NU selanjutnya di masa-masa mendatang. Hal ini menunjukkan betapa NU memiliki sebuah potensi besar untuk dapat bersikap mandiri dan bermanuver pada saat di mana kondisi politik saat itu diwarnai dengan banyaknya keterlibatan negara pada organisasi-organisasi massa.

Kembali ke Khittah 1926 merupakan suatu langkah strategis untuk menuju terciptanya civil society, yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya demokrasi. Walaupun banyak penafsiran tentang komitmen NU ini, tapi yang terpenting dan perlu dicatat ialah bahwa dengan kembalinya NU ke Khittah 1926, berarti NU telah memulai suatu lembar baru untuk menuju dunia pergumulan politik yang berskala mondial, yang tidak tersekat oleh bingkai-bingkai primordialisme dan sektarianisme. Sehingga secara implisit NU tidak akan hanya memikirkan kepentingan satu kelompok saja, melainkan kepentingan seluruh bangsa.

Perubahan besar-besaran terjadi dalam tubuh NU. NU yang selama ini berwajah politik, berubah seratus delapan puluh derajat. Setelah kembali ke Khittah, NU kemudian lebih menekankan program-programnya dalam bidang kegiatan pengembangan masyarakat (community development) melalui pesantren sebagai basis utamanya, dan pengembangan ekonomi masyarakat. Di antara salah satu programnya yang cukup populer misalnya, didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NU, yang menyediakan kredit bagi wiraswastawan kecil dan petani NU.

Semua perubahan besar di tubuh NU itu sendiri tentunya tidak dapat dipisahkan dengan figur Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—, yang memang merupakan salah seorang promotor ide kembali ke Khittah 1926, dan dengan posisinya sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU sejak Muktamar XXVII yang bertepatan dengan kembalinya NU ke Khittah 1926. Di bawah kepemimpinan cucu pendiri NU ini, kebijaksanaan-kebijaksanaan NU dalam bidang sosial politik dinilai cukup moderat dibandingkan dengan kepemimpinan KH. Idham Khalid sebelumnya. Hal ini cukup berdampak luas bagi para warga NU, dalam segala aspek sosial.

Sikap radikalisme NU pada masa kepemimpinan KH. Idham Khalid telah berakibat banyak terhadap kalangan Nahdliyyin. Tender-tender pembangunan bagi orang-orang NU dikurangi, dan yang cukup merugikan kalangan NU adalah dikuranginya jatah orang-orang NU dalam kepengurusan PPP serta eliminasi para politisi vokal NU dari daftar pemilu 1982.

Maka, setelah Gus Dur menggantikan kepemimpinan KH. Idham Khalid NU cukup mendapat tempat di mata pemerintah. Apalagi setelah NU menerima dengan tegas ide asas tunggal dari pemerintah dan setelah NU menyatakan bahwa negara Indonesia adalah “upaya final” memperjuangkan bangsa khususnya kaum muslimin.

Tapi ini tidaklah berlangsung lama, karena sesudah muktamar XXVIII di Krapyak—yang berhasil memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah—hubungan Gus Dur dengan pemerintah mulai renggang. Diawali dengan tidak setujunya Gus Dur terhadap berdirinya ICMI, yang berlanjut dengan berdirinya Forum Demokrasi (Fordem) yang kemudian diketuai oleh Gus Dur, sikap Gus Dur terhadap kasus monitor, serta keakrabannya dengan Benny Moerdani yang semakin kritis terhadap Soeharto.

Tidak lama kemudian, upaya de-NU-nisasi dilancarkan. NU dipojokkan dan dikucilkan. Upaya-upaya itu misalnya nampak ketika pemerintah berusaha menghalang-halangi kehadiran warga Nahdliyyin untuk hadir pada Rapat Akbar 1 Maret 1992—yang diselenggarakan untuk merayakan ulang tahun NU ke-66. Rapat Akbar yang sedianya akan dihadiri oleh dua juta hadirin itu ternyata hanya dihadiri oleh kira-kira seratus lima puluh sampai dua ratus ribu orang saja.

Dari itu semua, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa betapapun NU memiliki potensi yang besar dalam memobilisasi massa dan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat sipil, NU masih akan dihadapkan pada kendala struktural di mana posisinya yang cenderung mudah untuk berseberangan dengan kepentingan negara.

Secara garis besar, buku ini menyajikan gambaran, pandangan serta pendapat tujuh pengamat masalah NU tentang potensi dan prospek NU dalam konteks menciptakan masyarakat sipil, yang dikupas dengan masing-masing gayanya yang khas. Ketujuh pengamat itu adalah Andree Feillard, Douglas E. Ramage, Daniel Dhakidae, Einar M. Sitompul, Martin van Bruinessen, Muhammad A.S. Hikam dan M. Fajrul Falakh.

Yang menarik dari ketujuh artikel dalam buku ini, adalah artikel Douglas E. Ramage yang menyajikan pikiran dan pandangan Gus Dur tentang kehidupan sosial politik di Indonesia. Tulisan ini dibuat setelah penulisnya mengadakan wawancara langsung dengan Gus Dur pada tahun 1992-1993.

Buku ini mungkin bisa dikatakan sebagai potret dinamika politik NU, baik pra atau pasca Khittah. Tentunya buku terbitan LKiS ini cukup penting untuk disimak dan dikaji, agar kita dapat memahami lebih jauh tentang eksistensi NU dalam percaturan politik di Indonesia.

Selamat menyimak!!

Tulisan ini dimuat di Majalah AULA edisi Mei 1995.

2 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Aula ada honornya? Zaman segitu kayaknya enggak. Kalau yang dimuat di Surabaya Post, yang mana?

M Mushthafa mengatakan...

Honornya: gratis Aula 3 edisi. Itu saja.
Yang dimuat di Surya (resensi Jazz Parfum) dan Surabaya Post (resensi 13 Tokoh Etika), semuanya awal '97, tak berhasil ditemukan arsipnya.