Selasa, 28 Juni 2016

Kekerasan, Pendidikan Anak, dan Tanggung Jawab Keluarga


Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyinggung fakta tindak kekerasan yang masih banyak terjadi di sekolah. Dalam kurun waktu 2010-2015, kasus kekerasan di sekolah belum ada penurunan signifikan (JPPN, 14/6/2016).

Tahun lalu, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) merilis data yang menyebutkan bahwa 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini lebih tinggi dari pada rata-rata kasus kekerasan anak di Asia, yakni 70 persen.

Kekerasan yang marak terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada tingkat yang mendasar, tindak kekerasan terjadi karena kecenderungan semakin pudarnya pendekatan cinta baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Di sekolah, tindak pengajaran dan pendidikan yang sarat dengan penghayatan cinta mulai tergerus oleh dominasi pendekatan administratif dan formal dalam pendidikan yang hadir beriringan dengan iklim komersialisasi pendidikan. Sementara itu, pada tingkat kehidupan masyarakat, nilai-nilai keluarga yang penuh dengan unsur spiritual dan nilai moral mulai digerogoti oleh kehidupan modern yang cenderung individualistis.

Dengan asumsi bahwa sekolah merupakan perpanjangan dari pendidikan keluarga, kita dapat berkesimpulan bahwa krisis pendekatan cinta sangat mungkin sebenarnya terjadi di tingkat keluarga.

Gambaran teperinci tentang tindakan kekerasan di sekolah dan keluarga tak lain merupakan bukti nyata dari krisis dan senjakala cinta. Laporan Unicef tahun lalu menyebutkan bahwa 50% anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah. Sementara itu, laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2014 menyebutkan bahwa ada 921 laporan kekerasan dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif.

Di tingkat lokal, yakni di Kabupaten Sumenep, dilaporkan bahwa angka perceraian pada 2012-2013 cenderung meningkat. Pada 2012, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sumenep mencapai 1.381, sedang tahun berikutnya hingga Januari 2014 berjumlah 1.559 kasus (Koran Madura, 28/2/2014).

Meningkatnya angka perceraian ini cukup mengkhawatirkan karena sering kali yang menjadi dampak dari kasus perceraian adalah keterlantaran anak. Masalahnya bukan hanya soal proses pendidikan anak yang terancam tersendat, tapi juga bahkan dapat menyangkut ancaman keterperosokan anak pada lingkungan dan pergaulan yang tak bermoral dan penuh kekerasan, seperti narkoba, trafficking, dan sebagainya.

Pentingnya nilai cinta dalam keluarga ini dapat dilihat dalam konteks pendidikan spiritual dan pembentukan karakter. Menurut Robert Frager (2013: 56-58), keluarga adalah model universal untuk pendidikan spiritual. Frager menjelaskan bahwa di awal pertumbuhan kehidupannya, manusia membutuhkan perawatan dan perhatian yang lebih banyak dan lebih lama dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan cara ini, manusia pada tahap awal kehidupannya secara alamiah lebih banyak mendapatkan curahan cinta.

Secara spiritual, menurut Frager, keluarga adalah tempat manusia belajar mencintai demi merawat kelangsungan kehidupan yang pada titik tertinggi bakal tersambung dengan Tuhan, Sang Mahacinta. Curahan cinta di antara sesama anggota keluarga ini pada gilirannya juga mengantisipasi menebalnya sikap narsis dan egois yang berpotensi berkembang dalam diri manusia dan dapat mengancam harmoni kehidupan masyarakat.

Penjelasan Frager ini kiranya sudah cukup untuk menjelaskan peran strategis keluarga dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, jika nyatanya keluarga dan juga sekolah faktanya saat ini menjadi tempat yang rawan dengan tindak kekerasan, apa yang harus dilakukan?

Memang benar bahwa upaya untuk memulihkan pendidikan anak harus dilakukan bersama-sama, baik keluarga maupun sekolah. Namun demikian, harus disadari bahwa kewajiban pertama pendidikan anak ada di tangan keluarga.

Menguatnya sistem persekolahan (pendidikan formal) dalam sistem kehidupan bermasyarakat saat ini pada satu sisi cenderung dapat mengikis kesadaran orangtua (keluarga) akan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan terbaik dan mencurahkan cinta yang penuh pada anak-anaknya. Apalagi ritme kehidupan saat ini semakin cepat dan rumit sehingga orangtua sering disibukkan dengan urusan di luar keluarga. Sementara itu, orangtua merasa bahwa urusan pendidikan anak-anaknya sudah cukup ditangani oleh guru di sekolah.

Asumsi semacam inilah yang membuat pendidikan anak saat ini menjadi rapuh yang di antaranya ditandai dengan pertambahan kasus kekerasan anak. Sudah saatnya orangtua kembali memperkuat komitmennya untuk memenuhi tanggung jawab dasarnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.

Dalam konteks ini, sekolah juga dapat mengambil posisi yang tepat. Sekolah harus sadar akan posisi sekundernya dalam pendidikan anak. Dengan kesadaran ini, sekolah juga harus mendorong keterlibatan aktif para orangtua untuk memberikan pendidikan dan bimbingan pada anak-anak mereka. Program pendidikan yang disusun sekolah harus selalu mempertimbangkan dan mendorong keterlibatan aktif para orangtua. Komunikasi antara guru dan sekolah dengan orangtua dikembangkan dalam kerangka kesadaran untuk memperkuat peran dasar para orangtua dan keluarga.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin keras, upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang tangguh tak dapat disepelekan. Penguatan pendidikan anak melalui keluarga harus mendapatkan perhatian semua pihak, mulai dari lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, pengurus publik, dan yang lainnya. Keluarga harus didorong untuk menjadi tempat yang teduh bagi anak sehingga proses pewarisan nilai dan proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Juni 2016.



0 komentar: