Minggu, 08 Mei 2016

Membagi Cinta


Seperti apa rasanya membagi cinta? Itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya saat anak kedua saya lahir Jum’at sore kemarin.

Saya tiba di rumah saat istri saya sudah selesai melahirkan dan makhluk mungil yang beratnya 3,5 kg itu sedang dimandikan oleh bidan desa di halaman rumah. Saat itu banyak orang di halaman rumah karena kebetulan ada acara rutin muslimatan sore itu. Di antara kerumunan orang, saya melihat anak pertama saya yang sedang digendong.

Dia terlihat seperti bangun tidur. Saya pikir dia mungkin juga agak bingung melihat keramaian orang dan makhluk kecil baru yang sedang menjadi pusat perhatian. Apakah wajahnya juga menyimpan semacam kekhawatiran?

Dalam usianya yang masuk di bulan keenam belas, dia memang belum bisa berkomunikasi dengan sempurna layaknya orang dewasa. Tapi saya berpikir bahwa cara dia memahami keadaan sudah cukup baik. Untuk hal-hal sederhana, dia sudah bisa mengerti, seperti jika saya meminta (dengan kata-kata) barang yang sedang dipegangnya atau ada di dekatnya.

Menyaksikan adanya tanda-tanda bahwa akan ada pusat baru di lingkungannya, saya pikir cukup wajar jika dia memperlihatkan wajah khawatir. Lalu saya berpikir: seperti itukah mungkin rasanya kekhawatiran yang timbul dalam hal keharusan berbagi cinta?

Hadirnya anak kedua ini di satu sisi bagi saya adalah semacam ujian: seberapa bisa saya mampu membagi cinta untuk kedua anak saya—juga untuk istri saya. Secara manusiawi, kita bisa memiliki kecenderungan untuk lebih condong pada sesuatu yang berstatus setara, seperti pada teman, murid, guru, anak, dan sebagainya. Terhadap anak, tentu kita harus bisa memperlakukan mereka secara adil. Jangan sampai yang satu merasa lebih diperhatikan dan yang lain merasa kurang.

Bagaimana saya bisa berlaku adil untuk kedua anak saya dalam mencurahkan perhatian dan cinta saya untuk mereka? Apa ukurannya bahwa saya sudah berlaku adil?

Bagi saya, pertanyaan ini bukan semata pertanyaan teoretis yang mungkin tidak cukup mudah dijawab. Ini juga persoalan praktis tentang bagaimana saya mengendalikan diri dari sikap berlebihan yang berada di luar batas kepantasan. Saya teringat peringatan Allah swt dalam surah al-Ma’idah [5] ayat kedelapan agar jangan sampai kebencian kita yang berlebihan pada suatu kelompok dapat menghilangkan sifat adil yang mestinya kita pegang. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terhadap orang kafir pun Allah menuntut sikap adil (mungkin bisa juga disebut sikap yang proporsional dan objektif). Apalagi pada sesama saudara (seiman).

2 x 24 jam telah berlalu. Dalam waktu yang singkat ini, saya menyaksikan bagaimana anak pertama saya melihat adik barunya. Saat baru lahir dan baru dimandikan, saya yang mengendong anak pertama saya berusaha untuk mengenalkannya dengan mendekatkannya dan mengarahkan tangan anak pertama saya agar menyentuh adik barunya. Tapi waktu itu anak pertama saya menolak—mungkin karena masih memandang adiknya sebagai makhluk baru yang asing.

Malam hari di hari kelahiran, anak pertama saya sudah mau menyentuh adiknya. Bahkan sudah belajar memberi ciuman ringan meski tetap berada dalam pantauan ketat saya. Namun sesekali saat istri saya menggendong bayi barunya atau saya yang menggendong, si anak pertama kadang berteriak seperti ingin mendapat perhatian juga.

Saya kemudian berpikir bahwa kehadiran anak kedua ini bukan hanya ujian buat saya, tapi juga buat kami sekeluarga, dalam hal membagi cinta dan perhatian. Dalam rentang waktu yang panjang, saya pikir saya juga perlu memberi ruang dan teladan bagi si anak pertama agar ia bisa belajar tentang bagaimana berbagi dan membagi cinta dan perhatian. Sebenarnya menurut saya kalimat ini salah, karena saya pikir saya juga bisa berstatus belajar pada anak saya atau istri saya dalam soal ini. Jadi yang tepat mungkin bentuk relasi “saling” atau mutualisme.

Saya berharap bahwa keberkahan untuk kami sekeluarga bisa datang melalui kehadiran anak kedua saya yang lahir dengan relatif mudah pada Jum’at sore kemarin ini. Keberkahan ini bukan hanya untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan material, tapi juga untuk menjadi jalan bagi kedewasaan dan kematangan jiwa kami sekeluarga.

Semoga Allah memberkahi kami sekeluarga.


Read More..