Kamis, 02 Juli 2015

Tafakur sebagai Kunci Kebajikan


Judul Buku: Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun
Penulis: Al-Ghazali
Penerjemah: K.H. R. Abdullah bin Nuh
Penerbit: Noura (Mizan), Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2015
Tebal: x + 158 halaman


Kehidupan zaman sekarang cenderung menggiring orang untuk hidup terombang-ambing tanpa pegangan. Akibatnya, kita menyaksikan orang relatif cukup mudah terseret oleh sebuah pandangan atau tindakan yang dapat merugikan. Situasinya mungkin mirip seperti perahu yang tanpa kemudi di tengah samudera dan ombak yang menggila.

Bagi yang kental dengan sudut pandang religius, tentulah agama diyakini sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan. Namun demikian, terkadang agama dibenturkan dengan akal. Seolah agama tidak menerima fungsi akal sebagai potensi yang dimiliki manusia untuk digunakan sebagai perangkat dalam menjalani kehidupan.

Judul buku ini, yang diambil dari hadis Nabi Muhammad saw, menegaskan bahwa Islam sangatlah menghargai kegiatan berpikir (tafakur). Buku ini merupakan petikan bab dari mahakarya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, tepatnya diambil dari bab tafakkur yang ada di juz keempat.

Dalam membahas masalah ini, al-Ghazali menguraikannya dalam beberapa sub-pembahasan, di antaranya tentang keutamaan tafakur, hakikat dan buah tafakur, objek pembahasan tafakur, dan metode menafakuri ciptaan Tuhan.

Keutamaan tafakur dipaparkan al-Ghazali di bagian pembuka dengan mengutip hadis-hadis Nabi atau kutipan dari para sahabat atau ulama terkemuka. Kesimpulan yang dapat diambil pada bagian ini adalah bahwa Islam sangat menghargai ilmu atau pengetahuan, dan kunci penting ilmu adalah tafakur. Bahkan, beberapa kutipan, seperti juga judul buku, menempatkan keutamaan tafakur di atas ibadah. Hal ini dapat dimengerti karena ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan renungan mendalam dapat keliru dan hambar dalam pelaksanaannya.

Saat menjelaskan hasil tafakur, dijelaskan bahwa kegiatan ini memiliki tujuan akhir pada sikap batin dan amal kebajikan. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa tafakur adalah kunci kebajikan. Secara sederhana, al-Ghazali menerangkan bahwa tafakur menghasilkan ilmu atau pengetahuan, dan ilmu atau pengetahuan dapat mengubah keadaan hati, lalu berubahlah perilaku anggota badan.

Pengaruh filsafat Yunani dapat dilihat saat al-Ghazali menjelaskan pengertian tafakur. Menurut al-Ghazali, tafakur berarti “menghadirkan dua makrifat (pengetahuan) dalam hati agar timbul makrifat ketiga. Dari pengertian ini, kita dapat memahami bahwa tafakur dalam pemahaman al-Ghazali identik dengan penyimpulan dalam silogisme. Bahkan, contoh yang dikemukakan al-Ghazali pun adalah bentuk silogisme.

Al-Ghazali menempatkan tafakur sambil juga menunjukkan bahaya taklid (ikut-ikutan). Taklid hanya akan menghasilkan dasar yang sangat lemah dan rentan. Namun demikian, di sisi yang lain tafakur dalam kerangka pandang al-Ghazali diliputi oleh nuansa keimanan yang sangat kental. Kegiatan berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri dan terlepas dari nilai agama dan ketuhanan.

Kerangka keimanan terlihat jelas dalam uraian al-Ghazali yang panjang lebar dalam membahas objek tafakur dan bagaimana aktivitas tafakur itu dilakukan. Menurut al-Ghazali, tafakur itu bisa terkait dengan mu‘amalah dan juga mukasyafah. Yang pertama menjelaskan bagaimana tafakur tentang interaksi dengan manusia dan Tuhan, sedang yang kedua khusus tentang menafakuri kebesaran Allah.

Secara sederhana, al-Ghazali menjelaskan bahwa tafakur tentang mu‘amalah meliputi empat pokok hal: perintah (taat), larangan atau maksiat, hal yang mencelakakan, dan hal yang menyelamatkan. Bagi mereka yang sudah cukup akrab dengan buku-buku al-Ghazali, keempat hal ini memang telah menjadi kerangka umum al-Ghazali dalam menjelaskan hal yang terkait dengan keagamaan, seperti yang digunakan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah.

Dari seluruh uraian al-Ghazali tentang tafakur dalam hal mu‘amalah, dapat disimpulkan bahwa kegiatan tafakur berada dalam kerangka reflektif dan spiritual. Meski pada sub-pembahasan awal al-Ghazali memberi pengertian tafakur yang identik dengan penalaran logis, tapi tafakur dalam kerangka al-Ghazai berdiri sebagai jalan memperbaiki batin.

Terkait mukasyafah, al-Ghazali berdasar pada hadis Nabi yang melarang untuk berpikir tentang zat Allah. Menurut al-Ghazali, akal manusia tak akan mampu menangkap dahsyatnya kebesaran Allah. Untuk itu, kebesaran Allah ditangkap bukan melalui zat-Nya, tapi melalui ciptaan-Nya. Karena itu, dalam uraian ini, al-Ghazali memberi contoh tafakur tentang diri manusia, fenomena langit, barang tambang, dan sebagainya.

Buku yang diterjemahkan oleh K.H. R. Abdullah bin Nuh (pendiri Pesantren Al-Ihya’ dan sekolah al-Ghazali Bogor) ini sebenarnya tidak hanya memuat bab tafakkur dari kitab Ihya’. Buku ini juga memuat terjemahan karya autobiografis al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal.

Al-Munqidz dapat dipandang sebagai catatan reflektif al-Ghazali atas pengembaraan intelektual dan spiritual yang telah dilakoninya. Ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kegiatan tafakur mengambil objek yang paling dekat: diri kita sendiri.

Buku ini bernilai penting untuk menegaskan semangat Islam melawan sikap taklid dengan mendorong umatnya untuk secara aktif melakukan kegiatan berpikir. Tak hanya di situ, al-Ghazali menunjukkan bahwa kegiatan berpikir harus berada dalam kerangka keimanan. Dua hal inilah yang akan terus penting untuk diingat dan ditegaskan saat kegiatan berpikir manusia semakin intens dan bisa melahirkan ekses negatif yang tak diinginkan.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 2 Juli 2015.

0 komentar: