Jumat, 09 Januari 2015

Meneladani Kesejukan Beragama al-Syadzili


Judul buku: Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili: Kisah Hidup Sang Wali dan Pesan-Pesan yang Menghidupkan Hati
Penulis: Makmun Gharib
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 240 halaman


Bagi umat Islam di Indonesia, tasawuf bukanlah hal yang asing. Sejumlah ahli sejarah mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia terutama melalui ajaran tasawuf yang dibawa oleh para saudagar muslim. Karena itu, tak heran hingga kini praktik tasawuf terlihat jelas dalam kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia yang di antaranya berbentuk persekutuan sufi atau tarekat.

Buku yang ditulis oleh Makmun Gharib ini memaparkan kisah hidup dan pesan-pesan spiritual pendiri salah satu tarekat terkemuka, Tarekat Syadziliyah, yakni yang bernama Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili. Tarekat Syadziliyah yang juga cukup populer di Indonesia ini dikenal sebagai tarekat yang memberi dorongan kuat bagi para pengikutnya untuk bekerja dan berusaha sehingga tarekat ini banyak diikuti oleh kalangan pengusaha dan pejabat.

Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili lahir di Maroko pada 593 H. Ia memperoleh pendidikan agama yang kuat. Di masa kanak-kanak, ia menghapal al-Qur’an dan mendalami ilmu-ilmu agama. Pengembaraan intelektualnya berlanjut ke Irak, tempat ia belajar pada seorang sufi besar, Abu al-Fath al-Wasithi. Dari Irak, ia kembali ke negerinya dan menemukan pembimbing ruhaninya, Abdul Salam ibn Masyisy (hlm. 15-16).

Atas perintah gurunya ini, al-Syadzili lalu pindah ke Tunisia. Setelah dirasa cukup menempa diri di sana, al-Syadzili mulai menyebarkan ilmunya kepada masyarakat luas. Namun, saat ketenaran al-Syadzili mulai menguat, seorang hakim Tunisia bernama Abu al-Qasim al-Barra’ menaruh rasa dengki padanya. Mulailah ia menyebar fitnah tentang al-Syadzili, di antaranya bahwa ia adalah mata-mata dari Maroko yang akan menyebarkan paham syiah Dinasti Fathimiyyah (hlm. 19).

Namun, pada akhirnya, fitnah itu reda setelah al-Syadzili diuji secara terbuka oleh penguasa setempat. Malah akhirnya sultan justru bersimpati pada al-Syadzili.

Setelah tinggal beberapa lama di Tunisia, al-Syadzili kemudian menunaikan ibadah haji. Setelah naik haji, pengaruh al-Syadzili di Tunisia semakin kuat. Pengikutnya semakin banyak. Pada titik itulah al-Syadzili kemudian mendapatkan ilham berupa mimpi berjumpa Rasulullah yang memerintahkannya untuk pindah ke Mesir. Bersama seorang murid utamanya, Abu al-Abbas al-Mursi, ia pindah ke Mesir, tepatnya di Iskandaria. Di situlah kemudian tarekat dan dakwah al-Syadzili berkembang pesat. Kelak, dari Iskandaria, di antara muridnya kita mengenal nama Ibn ‘Athaillah al-Sakandari yang terkenal dengan kitab tasawufnya, al-Hikam (hlm. 26-28).

Tasawuf dan tarekat al-Syadzili tak jauh berbeda dengan tasawuf dan tarekat pada umumnya. Tasawuf al-Syadzili adalah tasawuf yang moderat. Al-Syadzili tak terjebak dalam ungkapan-ungkapan filosofis yang bisa membingungkan dan bahkan menyesatkan. Dalam posisinya yang moderat ini, al-Syadzili suka mengajarkan Ihya’ Ulumiddin-nya al-Ghazali, selain juga Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki dan al-Syifa’ karya al-Qadhi ‘Iyadh (hlm. 64-65).

Praktik Tarekat Syadziliyah bertumpu pada zikir. Selain itu, di antara prinsip yang dipegang adalah kepasrahan pada Allah swt. (hlm. 76-78). Namun demikian, bukan berarti al-Syadzili mengajarkan pandangan dan sikap negatif pada dunia. Dijelaskan bahwa al-Syadzili bekerja dan bercocok tanam untuk kebutuhan diri dan keluarganya. Ia juga suka mengenakan pakaian yang bagus dan menyukai kuda yang tegap dan kuat (hlm. 28-29, 51).

Terkait godaan harta dan dunia, yang terpenting bagi al-Syadzili adalah sikap batin. Di satu sisi diri tidak boleh tergantung kepada dunia, dan di sisi yang lain jangan sampai ketakterpenuhan kebutuhan hidup dapat memalingkan diri dari Allah swt.

Buku ini sarat dengan pesan-pesan agama yang sejuk karena pesan al-Syadzili bertumpu pada nilai moral Islam yang dapat menghidupkan hati. Ia tak terpaku pada formalitas ajaran agama yang kaku tapi berusaha menyelami semangat agama yang berpuncak pada akhlak.

Selain memaparkan kehidupan al-Syadzili dan ajaran Tarekat Syadziliyah, buku ini juga dilengkapi dengan wasiat praktis serta wirid dan doa (hlm. 162-214) yang bisa langsung dipraktikkan untuk menjalani kehidupan beragama berlandaskan tasawuf. Jadi, buku ini tak hanya memuat gagasan dan inspirasi sufistik, tapi juga memberi tuntunan praktis yang siap pakai.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 9 Januari 2015.

0 komentar: