Sabtu, 05 Juli 2014

Merawat Silsilah Keimanan


Saat beberapa pekan lalu berada di tengah puluhan bahkan mungkin ratusan peziarah di makam Maulana Malik Ibrahim di kota Gresik, saya bertanya-tanya: apa yang membuat orang-orang ini beramai-ramai datang ke tempat ini? Apa sebenarnya yang menjadi penarik atau magnet di tempat ini sebagaimana di makam-makam Wali Songo lainnya?

Meski dibesarkan di lingkungan pesantren, saya baru tersadar bahwa ternyata lingkungan terkecil saya, yakni keluarga dan perkampungan Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, rasanya tidak memiliki tradisi ziarah yang sangat kuat. Tak ada rombongan ziarah yang sifatnya rutin dan diikuti oleh jumlah yang besar ke makam Wali Songo setiap tahunnya.

Saya mendengar kisah orang-orang yang berziarah ke makam Wali Songo atau makam para wali dan ulama lainnya dengan latar nazar tertentu. (Dalam tradisi Islam, nazar berarti janji untuk berbuat sesuatu (dalam hal ini: berziarah) saat maksud seseorang terkabul.) Ada pula orang yang berziarah lantaran sedang menghadapi satu masalah berat yang ingin diselesaikan atau memiliki hajat tertentu yang ingin diwujudkan.

Tentu saja saya tak bisa menebak isi kepala orang-orang yang saya lihat saat itu. Para peziarah itu, yang di antaranya saya lihat mengenakan pakaian seragam, masing-masing menyimpan maksud kedatangannya ke tempat itu dalam dirinya masing-masing. Saya sendiri saat itu sebenarnya berada di tempat itu selama beberapa waktu secara kebetulan.

Namun, saat saya sadar bahwa saya ada di makam Maulana Malik Ibrahim, saya jadi terpikir sesuatu. Saya teringat buku-buku sejarah Wali Songo dan buku sejarah masuknya Islam di Indonesia, seperti yang ditulis Agus Sunyoto dan Azyumardi Azra. Ingatan saya menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim yang inskripsi makamnya bertuliskan angka tahun 882 H/1419 M dianggap sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa. Dalam buku Atlas Wali Songo (2012), Agus Sunyoto mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menegaskan hal ini.

Tepat dalam statusnya sebagai penyebar Islam tertua di tanah Jawa itulah pikiran saya mengatakan bahwa nilai penting ziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim ini mungkin adalah untuk merawat dan menyegarkan jalinan silsilah keimanan saya. Jika Maulana Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua di tanah Jawa maka tentu saja keyakinan keagamaan yang saya miliki dan ajaran keagamaan yang saya anut saat ini bersumber dari peranannya itu. Keimanan saya pastilah tersambung dengan kepercayaan yang serupa dengan Maulana Malik Ibrahim itu.

Saya jadi terpikir bahwa di setiap tempat, dengan skala yang sempit hingga luas, pastilah ada tokoh kunci yang menjadi pelopor dakwah Islam sehingga ajaran agama Islam menjadi hidup dan berkembang di sana. Dan dalam hal ini, Maulana Malik Ibrahim berada dalam konteks tempat dengan skala yang luas.

Menurut saya, sangat pantas kiranya kita memberi penghormatan dan berupaya merawat silsilah keimanan kita dengan cara yang secara subjektif cocok untuk diri kita masing-masing. Bagi saya, berziarah ke Maulana Malik Ibrahim dan atau para pelopor dakwah Islam lainnya, seperti untuk wilayah Madura kita mengenal Kiai Kholil Bangkalan, dapat menjadi upaya reflektif dan spiritual untuk merawat dan menyegarkan bangunan keimanan diri saya.

Yang pertama mungkin semacam rasa syukur dan penghormatan, karena mereka, para ulama dan pendakwah itu, telah menjadi perantara bagi sampainya keimanan dan ajaran Islam pada diri saya. Selain itu, kadar ketokohan, spiritualitas, serta kecintaan dan kedekatan mereka dengan Allah swt pada tingkat tertentu nilainya sangatlah istimewa, sehingga menjadi faktor penting yang membuat umat Islam tertentu seperti saya yang dibesarkan dalam tradisi pesantren bertawasul (tawassul) melalui para wali tersebut.

Kerangka seperti ini tampaknya penting untuk digarisbawahi untuk memberi nilai lebih pada kegiatan ziarah yang selama ini sering dilakukan oleh umat Islam Indonesia pada khususnya. Ziarah ke para wali atau ulama jika bisa jangan hanya dilakukan lantaran adanya keperluan yang sifatnya “pragmatis” saja, tapi juga diletakkan sebagai upaya untuk menelusuri jalinan keimanan kita dan merefleksikannya secara subjektif dalam diri kita masing-masing. Dengan demikian kita berharap agar bangunan keimanan kita dapat terus terawat dan dapat tersambung ke sumber pokok keimanan kita, yakni Allah swt.

Hanya Allah-lah yang dapat memberi pertolongan untuk kita. Wallahu a‘lam.

2 komentar:

Zyadah mengatakan...

"silsilah keimanan" ini akan lebih lengkap jika dilanjutkan dengan tulisan mengenai hakikat Ziarah Kubur dalam Ahlussunnah Waljamaah :)

keren...!

Salam Ta'dhim
Zyadah

M Mushthafa mengatakan...

Zyadah, kalau yang itu bisa jadi judul skripsi :-)