Senin, 26 Mei 2014

Saat Kacamata Pengetahuan Mengubah Dunia


Pernahkah Anda merasakan situasi saat pengetahuan atau informasi tertentu menempatkan Anda di posisi yang berbeda di dunia? Bagaimana sebenarnya pengetahuan atau informasi mengubah cara pandang Anda dalam melihat dunia?

Bayangkanlah tiga sosok manusia yang tengah mengunjungi sebuah kebun binatang atau, sebagai contoh agar lebih jelas, Taman Safari Prigen, Pasuruan. Tiga sosok itu adalah anak kecil, seorang dewasa biasa, dan satu lagi seorang dewasa yang pernah berkenalan dengan ide tentang animal welfare (kesejahteraan binatang).

Seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat aneka binatang liar di Taman Safari tentu saja akan merasa sangat heran dan mungkin juga merasa riang. Dari dalam kendaraan, ia dapat menyaksikan binatang-binatang yang sebelumnya mungkin hanya ia kenal melalui gambar atau cerita gurunya. Binatang-binatang itu tak pernah ia jumpai di lingkungan tinggalnya sehingga pertama-tama ia mungkin akan merasa takjub. Mungkin ada banyak pertanyaan yang ia lontarkan, mulai dari nama, habitat, makanan, atau hal teperinci lainnya, yang bisa membuat orang dewasa yang menemaninya merasa terganggu dan mungkin sedikit kesal.

Seorang anak kecil mungkin akan menilai aneka satwa itu sebagai sesuatu yang eksotis: istimewa dan aneh. Saat ia berkesempatan melihat hewan-hewan itu secara lebih dekat, bisa jadi rasa takjub dan riangnya semakin bertambah. Sebagian rasa penasarannya mungkin terjawab. Namun keheranannya bisa bertambah saat ia menyaksikan beberapa hewan menampilkan pertunjukan sirkus di hadapan para pengunjung.

Ia menyaksikan beberapa ekor gajah menampilkan sepenggal kisah mereka di hutan, dikejar pemburu liar, menyelamatkan dan membela diri, terluka, ditolong polisi hutan, dan seterusnya. Gajah-gajah itu tampak begitu pintar dan terlatih, bisa memahami pikiran dan ucapan manusia, mampu mengikuti alur cerita sedemikian rupa, dan secara sangat baik memperagakan beberapa atraksi dengan amat mahir. Di akhir bagian, gajah-gajah itu dengan tenang melayani para penonton yang hendak foto bersama.

Di lain tempat, beberapa ekor lumba-lumba ia lihat berdansa penuh gaya, mengejar bola yang dilempar si pelatih ke udara, atau melompati lingkaran yang digantung di ketinggian. Mereka tampak begitu pintar. Mereka tampak begitu riang saat mendapatkan tepuk riuh para penonton.



Di mata seorang dewasa pada umumnya, Taman Safari dan berbagai pertunjukan satwa itu nilainya mungkin tidak seheboh tanggapan anak kecil yang pikirannya masih sederhana. Mungkin orang-orang dewasa itu akan membawa pengetahuan umum mereka saat mereka berjumpa dengan berbagai satwa itu. Mereka yang memiliki pengetahuan cukup baik di bidang biologi mungkin akan berusaha mencocokkan pengetahuan yang ia punya dengan apa yang ia saksikan. Mereka yang hanya punya pengetahuan umum mungkin hanya akan berpikir tentang tempat asal satwa-satwa itu dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di habitat baru mereka ini. Mereka mungkin membayangkan betapa sibuknya pengurus Taman Safari ini memberi makan satwa-satwa itu setiap hari. Apalagi satwa-satwa itu berjenis karnivora. Bagaimana pula cara para penjaga merawat kesehatan mereka?

Namun mungkin dunia akan tampak berbeda saat pengetahuan memberi kita kacamata yang akan memberi warna baru pada apa yang ada di hadapan kita.

Mungkin memang benar. Pada pandangan pertama, kita semua mungkin akan merasa takjub dengan pemandangan aneka satwa itu. Namun, berikutnya, pengetahuan kita tentang dunia satwa akan menjadi kacamata yang akan memberi warna tertentu dalam melihat lebih jauh satwa-satwa itu.

Mereka yang sudah pernah bertemu dengan gagasan tentang animal welfare (kesejahteraan binatang) mungkin akan melihat satwa-satwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Secara sederhana, animal welfare adalah keadaan satwa yang sehat, nyaman, aman, dan sejahtera. Tiga tahun lalu, saya pernah mengikuti pemaparan Drh. Wita Wahyu, salah seorang anggota dewan penasihat ProFauna, tentang animal welfare ini. Menurut Drh. Wita, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan untuk menjamin terpenuhinya animal welfare ini, yaitu bahwa satwa itu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa tertekan.

Satwa liar dipandang punya hak untuk mendapatkan animal welfare. Manusia akan dianggap bersalah jika mengabaikan hak satwa liar ini.

Untuk contoh yang lebih konkret, kita bisa mengambil dari film The Cove. Film dokumenter tahun 2009 ini menuturkan perjalanan Rick O’Barry, seorang aktivis pembebas lumba-lumba, bersama rekan-rekannya dalam merekam penangkapan dan pembantaian lumba-lumba yang rutin dilakukan di sebuah teluk kecil di Taiji, Jepang. O’Barry, yang merupakan mantan pelatih lumba-lumba di serial televisi pertama yang menampilkan lumba-lumba, melalui film dokumenter yang mendapatkan penghargaan Academy Award 2010 sebagai film dokumenter terbaik ini membuka mata kita betapa lumba-lumba sirkus seperti di Taman Safari atau di tempat lainnya tak mendapatkan kenyamanan atau bisa kita sebut tersiksa.

Dalam The Cove, digambarkan bahwa di alam liar lumba-lumba bisa menempuh jarak sekitar 40 mil dalam sehari. Ia makhluk yang suka berkelana di tengah luas samudera. Bayangkanlah bagaimana rasanya saat ia dikurung dalam kolam yang luasnya tak seberapa.

Ric O’Barry juga menuturkan bahwa lumba-lumba itu makhluk akustik yang sangat peka dengan suara. Telinga adalah indra penting mereka. Di awal-awal industri hiburan lumba-lumba, kata O’Barry, banyak lumba-lumba yang tidak bisa bertahan lama di kolam karena sistem penyaringan suara yang buruk dan membuat lumba-lumba itu tertekan (stres) dan mati.

Bagaimana teknologi kolam lumba-lumba saat ini khususnya terkait dengan pengelolaan suara? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas bisa kita lihat, seperti di Taman Safari, adalah soal ukuran kolam yang terbatas. Selain itu, saya juga teringat pemaparan O’Barry yang menjelaskan bahwa dalam industri hiburan lumba-lumba, digunakan obat-obatan tertentu untuk mengurangi tingkat stres lumba-lumba saat tampil menghibur.

Dalam The Cove digambarkan bahwa Taiji adalah penyedia terbesar lumba-lumba yang disalurkan ke tempat-tempat hiburan di dunia. Seekor lumba-lumba untuk sirkus bisa dihargai hingga 150.000 dolar Amerika. Di Taiji, lumba-lumba yang tidak cocok untuk sirkus diambil dagingnya. Diperkirakan, sekitar 23 ribu lumba-lumba ditangkap di Jepang setiap tahun.

Poster film The Cove dan foto Rick O'Barry. Sumber gambar: Wikipedia

Jadi, penampilan lumba-lumba sirkus yang kelihatan riang gembira itu tampaknya sungguh menipu. Apalagi para penonton yang hanya bisa melihat dari sisi luaran dan tidak mendapatkan informasi tentang lumba-lumba sirkus sebagaimana dalam film The Cove tersebut. Karena itu, di mata seorang dewasa yang sudah pernah menonton film The Cove, penampilan lumba-lumba di Taman Safari mungkin akan membuat ia sedih. Ia dapat memperkirakan penderitaan lumba-lumba yang tengah dipaksa menghibur ratusan penonton itu.

Apakah hewan-hewan sirkus semuanya menghadapi penderitaan seperti lumba-lumba itu? Saya tidak tahu pasti. Tapi konon hewan-hewan sirkus itu pada umumnya mula-mula dilatih dengan memadukan siksaan dan sistem reward and punishment. Ia dibuat paham dengan perintah tertentu yang dalam proses latihannya ia bisa disiksa bila tidak mengikuti perintah yang diinginkan dan akan diberi upah (dalam bentuk makanan) jika mau tunduk pada perintah.

Demikianlah. Pengetahuan tertentu kadang dapat memberi kita kacamata baru sehingga dunia akan tampak begitu berbeda dari biasanya. Memang kadang kacamatanya justru membuat kita gelisah, seperti dalam kasus lumba-lumba di atas. Kita tidak jadi terhibur menyaksikan lumba-lumba di Taman Safari, tapi mungkin jadi berpikir lebih jauh dan mungkin juga berempati. Ini mungkin termasuk jenis pengetahuan yang menggelisahkan—the awful truth, dalam istilah Michael Moore.

Jika dunia sudah tampak berbeda bagi seseorang yang punya pengetahuan, lalu bagaimana cerita selanjutnya? Apakah pengetahuan yang telah memberi kacamata berbeda itu dapat memberikan perubahan yang lebih nyata? Jika yang diharapkan adalah perubahan yang lebih nyata, dari manakah ia mestinya bermula? Bagaimana caranya? Hal apakah yang paling penting untuk mewujudkan dan memulai perubahan yang nyata ini?

Sampai di sini, alhamdulillah, saya diingatkan kembali dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menalikan pengetahuan dengan dunia dan perubahan nyata.

Wallahualam.

Baca juga:
>> Ironi Pengetahuan


2 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Pertama: saya suka dengan istilah “makhluk akustik” .Apakah istilah ini baku?

Kedua: mengacu pada itu, saya teringat “Finding Nemo” dan filem “Madagascar 3” yang ceritanya “binatang yang ingin bebas”. Filem yang terakhir malah ekstrem, binatang lah yang justru memenjara polisinya

Betul sekali, dengan bertambahnya usia dan pengetahuan, kita akan punya padangan dan perspektif baru dalam melihat sesuatu, tentu jika kita mau terus mencari tahu dan belajar, termasuk melihat fenomena fauna dalam lingkungan terbatas (kebun binatang, sangkat, dll) yang dulu kita anggap senang di masa kecil, namun berubah menjadi sedih dalam situtasi yang berbeda, setelah kita dewasa. Itulah sudut pandang.

M Mushthafa mengatakan...

Istilah makhluk akustik itu disebutkan dalam film The Cove. Lumba-lumba punya kemampuan akustik yang luar biasa, bahkan bisa merasakan detak jantung orang yang ada di dekatnya.
Bisa jadi Madagascar 3 terilhami oleh George Orwell, penulis Animal Farm. Ada filmnya. Film kartun, tapi masih versi hitam-putih.