Minggu, 01 September 2013

Mari Selamatkan Manuskrip Pesantren

Salah satu manuskrip keislaman pesantren yang saya temukan bertanggal 10 Oktober 1977.

Kajian pesantren dalam kerangka studi keislaman nusantara sudah cukup banyak dilakukan. Tapi pendekatan yang dilakukan masih sangat sedikit yang menggunakan metode penelitian naskah atau manuskrip pesantren. Studi yang dilakukan lebih banyak mengandalkan pada wawancara dan pengamatan. Ini terjadi terutama karena manuskrip pesantren masih belum mendapatkan perhatian oleh kalangan pesantren sendiri.

Demikian salah satu kunci gagasan yang saya dapatkan saat Pak Amiq Ahyad, kenalan di Facebook yang merupakan dosen filologi di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya bertandang ke rumah saya beberapa hari setelah lebaran Idulfitri lalu. Kandidat doktor yang menyelesaikan dua program magister di Belanda ini memang mengajar dan menekuni studi naskah (manuskrip) dengan fokus ketertarikan pada manuskrip pesantren.

Kedatangan Pak Amiq kemarin itu di antaranya bertujuan untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya merawat dan menyelamatkan manuskrip pesantren yang menurut perkiraannya pasti sangat melimpah. Pak Amiq memberi ilustrasi kasar dugaannya bahwa di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pastilah banyak sekali manuskrip pesantren.

Di pesantren yang tercatat berdiri pada tahun 1887 ini, dahulu pastilah para santrinya memiliki banyak catatan selama belajar di pesantren. Tambahan lagi, dahulu santri relatif sulit untuk mendapatkan kitab sehingga banyak di antara mereka yang menyalin atau menulis ulang kitab yang dipelajarinya di pesantren. Jika sepuluh persen saja dari para santri itu menyalin 2 kitab dalam setahun, maka potensi manuskrip pesantren di jaringan Annuqayah sangat besar.

Belum lagi ada fakta yang telah diketahui banyak orang bahwa beberapa kiai Annuqayah telah mengarang karya-karya berbahasa Arab. Beberapa di antaranya saat ini digunakan sebagai bahan pelajaran di lembaga pendidikan formal di Annuqayah dan lembaga jaringan atau alumninya.

Apa nilai penting salinan atau manuskrip-manuskrip tersebut? Secara sederhana Pak Amiq menjelaskan bahwa manuskrip-manuskrip pesantren itu akan dapat menjadi bukti yang sangat kuat betapa pesantren telah lama memiliki tradisi keilmuan yang canggih. Manuskrip pesantren akan memperlihatkan dengan jelas dialog-dialog keilmuan yang ada di pesantren sejak zaman dahulu.

Di sebuah pesantren di Jawa Timur, tutur Pak Amiq, dia menemukan sebuah karya yang luar biasa yang merupakan ulasan atas kitab Jawharatuttawhid karya Ibrahim al-Laqqani. Manuskrip yang lain, dalam bentuk catatan sederhana, juga berbicara banyak tentang semangat keilmuan yang ada di pesantren.

Saya sendiri sekitar dua tahun yang lalu secara kebetulan menemukan sebuah manuskrip pesantren tertanggal 10 Oktober 1977 di antara kitab-kitab ayah saya. Manuskrip yang saya temukan ini adalah rangkuman atas kitab Matnul Ajrumiyyah, kitab rujukan dasar tentang tata bahasa Arab yang biasa digunakan di pesantren. Manuskrip 31 halaman berbahasa Indonesia dan ditulis dengan huruf Arab pegon yang ditulis oleh seorang santri bernama Muhammad Sirri ini di mata saya memperlihatkan kecanggihan tradisi keilmuan pesantren pada masa itu. Menyusun rangkuman dari kitab kuning berbahasa Arab bukan sesuatu yang sederhana. Apalagi saya melihat si pengarang sudah bisa menyajikan beberapa poin rangkuman dalam bentuk tabel sehingga lebih mempermudah secara visual untuk memberikan pemahaman kepada pembaca. Tak heran bahwa naskah ini sampai sekarang di Annuqayah masih digunakan sebagai rujukan santri dalam belajar dasar-dasar tata bahasa Arab.


Salah satu salinan manuskrip Kiai Ilyas - Sumber: Muhammad Al-Faiz

17 Agustus lalu, seorang saudara memposting sebuah gambar di Facebook yang memuat kutipan syair berbahasa Arab bertema kemerdekaan yang ditulis oleh salah seorang pengasuh Pesantren Annuqayah, almarhum Kiai Muhammad Ilyas Syarqawi (wafat tahun 1959). Petikan syair itu kata saudara saya yang mengutip, Muhammad Al-Faiz, tercatat bertanggal 17 Agustus 1949. Al-Faiz menyalin syair itu dari manuskrip yang dia temukan di antara arsip almarhum ayahnya.

Manuskrip yang terakhir ini menunjukkan sesuatu yang sangat menarik: bahwa tokoh pesantren di Madura telah cukup intens bersentuhan dengan ide nasionalisme. Tak mengherankan, karena saudara Kiai Muhammad Ilyas, yakni Kiai Abdullah Sajjad, meninggal pada 3 Desember 1947 setelah ditembak oleh tentara Belanda.

Kedatangan Pak Amiq beberapa hari setelah lebaran lalu menggugah saya dan orang-orang pesantren pada umumnya untuk semakin sadar akan pentingnya dokumentasi dan nilai historis dari manuskrip pesantren. Kata Pak Amiq, manuskrip-manuskrip pesantren itu harus segera diselamatkan karena jika tidak pesantren akan kehilangan bukti sejarah kehebatannya di masa lalu. Bukti sejarah ini bukan sekadar dasar untuk dijadikan klaim bahwa pesantren sudah menjadi pusat keilmuan keagamaan sejak lama. Lebih dari itu, manuskrip-manuskrip itu dapat menjadi bahan pelajaran dan motivasi bagi orang-orang pesantren untuk terus berkhidmah di dunia pendidikan dan kemasyarakatan sebagaimana dahulu sudah dilakukan.

Hanya kepedulian orang-orang dalam pesantren sendirilah yang akan dapat menyelamatkan nasib manuskrip-manuskrip pesantren yang berharga itu.

0 komentar: