Minggu, 14 April 2013

Pak Polisi, Tolong Berantas Maling Sapi



Pada hari Jum’at (12/4) kemarin, rombongan Kepolisian Resor Sumenep melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Jamik Annuqayah, Guluk-Guluk. Rombongan Polres Sumenep menggunakan lima kendaraan, di antaranya bus mini. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kapolres Sumenep, AKBP Marjoko, S.I.K., M.Si.

Sejak melihat rombongan mobil Polres Sumenep yang parkir di sekitar masjid, saya sudah menduga bahwa mungkin mereka ingin menyampaikan sesuatu setelah shalat Jum’at. Ternyata benar. Seusai shalat Jum’at, Kapolres menyampaikan beberapa hal di depan jamaah yang terdiri dari santri dan masyarakat.

Saya mencatat beberapa poin penting dari penyampaian Kapolres Sumenep tersebut. Pertama, dia memaparkan bahwa menurut laporan yang dia terima, kondisi Guluk-Guluk kondusif. Cuma ada indikasi bahwa ada masyarakat Guluk-Guluk yang menyimpan bahan peledak, di antaranya yang populer di masyarakat dengan sebutan potas. Kapolres mengingatkan bahwa orang yang memiliki dan menyimpan bahan peledak seperti itu, seperti juga senjata tajam selain yang digunakan sebagai alat pertanian, diancam dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951.

Kapolres juga menyampaikan salah satu tugas kepolisian dalam memberantas apa yang disebutnya “penyakit masyarakat”. Polisi punya satu operasi khusus untuk masalah ini yang diberi akronim “operasi pekat”—ya, polisi dan tentara memang hobi sekali membuat akronim. Dalam kamus kepolisian, Kapolres menyebutkan penyakit masyarakat itu meliputi perjudian, minum minuman keras, prostitusi, dan premanisme.

Kapolres juga menyinggung soal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat. Kapolres melaporkan kesiapan pihak kepolisian untuk mengamakan pelaksanaan UN. Kapolres kemudian melanjutkan bahwa bulan depan akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa desa di Kabupaten Sumenep. Dia meminta dukungan masyarakat untuk ikut mengamankan pelaksanaan Pilkades tersebut.

Yang menarik dari kehadiran rombongan Polres Sumenep ini adalah karena seusai Kapolres memaparkan beberapa hal tersebut di atas, dia memberi kesempatan kepada jamaah yang hadir untuk menyampaikan masukan atau pertanyaan. Menurut catatan saya, ada tiga penanya yang mengajukan pertanyaan kepada Kapolres. Penanya terakhir, K.H. M. Syafi’ie Anshari, sempat bolak-balik bertanya untuk meminta uraian lebih mendalam atas jawaban yang diberikan sebelumnya.

Semua pertanyaan mengarah pada kasus yang marak terjadi belakangan di masyarakat, termasuk di wilayah Guluk-Guluk, yakni pencurian, khususnya pencurian hewan dan kendaraan bermotor. Intinya, para penanya menginginkan adanya tindakan yang tegas dari aparat kepolisian. Malah Kiai Syafi’ie sempat menyampaikan kemungkinan perlunya terapi kejut ala Penembak Misterius yang sempat dilakukan Presiden Soeharto pada sekitar tahun 1983 hingga 1985. Penanya yang lain mengeluhkan soal modus pemerasan yang dilakukan pencuri hewan atau kendaraan bermotor. Kerap terjadi, hewan atau kendaraan yang hilang dapat dikembalikan bila si pemilik menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada pihak tertentu yang memiliki hubungan dengan si pencuri.

Jawaban Kapolres dalam pemahaman saya cenderung normatif dan datar. Kapolres mengajak masyarakat untuk ikut membantu penanganan kasus pencurian dengan cara memberikan laporan dan kesaksian bila ada kasus pencurian yang diketahui. Kapolres juga menyinggung bahwa saksi akan dilindungi—bahkan perlindungan saksi juga sudah diatur dalam undang-undang.

Mengenai modus uang tebusan, Kapolres menyampaikan bahwa saat ini di Polres Sumenep sudah ada kasus maling yang diproses secara hukum setelah ditangkap akibat memeras dengan modus seperti ini.

Kapolres juga mengingatkan agar jika ada masyarakat yang menemukan kasus pencurian, masyarakat diminta untuk membantu dengan menangkap si pelaku dan menyerahkannya pada aparat kepolisian. Kapolres mengingatkan agar masyarakat jangan sampai main hakim sendiri dengan membakar pelaku pencurian atau menganiaya.

Meskipun sesi dialog berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 30 menit, saya merasa kurang puas. Tentu saja, berbincang masalah pencurian hewan dan kendaraan saja membutuhkan waktu yang lama, karena masalah ini cukup rumit dan melibatkan banyak pihak.

Saya membayangkan, idealnya Polres Sumenep memiliki semacam visi penanganan yang lebih utuh dan menyeluruh untuk masalah ini. Saya sebenarnya berharap bahwa pada saat menghadapi beberapa pertanyaan jamaah tersebut, Kapolres akan menyampaikan visi penanganan yang menyeluruh itu, termasuk penjelasan yang bersifat praktis (how to) yang dapat menuntun warga untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan soal ini. Ternyata tidak. Kapolres hanya menjawab sebatas poin pertanyaan yang diajukan, tidak masuk lebih mendalam dan meluas secara lebih radikal.

Sebagai pendengar awam, di benak saya, misalnya, saya bertanya-tanya kenapa Kapolres menyampaikan bahwa menurut laporan, kondisi di Guluk-Guluk kondusif. Padahal, belum genap satu bulan di sebelah utara Masjid Jamik Annuqayah terjadi kasus pencurian sapi sebanyak 3 ekor. Belum genap sebulan pula, di kompleks PP Annuqayah terjadi kasus pencurian kendaraan bermotor. Saya sempat menyampaikan ini kepada santri yang duduk di sebelah, dan salah seorang peserta rombongan Polres yang tidak jauh dari saya menjawab, “Ya laporkan.”

Saya heran, apakah memang harus seperti itu? Artinya, polisi baru bergerak setelah ada laporan? Sependek pengetahuan saya, kasus pencurian seperti pencurian sapi itu bukanlah delik aduan. Jadi, sekali lagi, apa polisi baru akan bekerja jika ada warga yang melaporkan? Bagi saya, dalam kasus pencurian 3 ekor sapi di dekat Masjid Jamik Annuqayah itu, nyaris mustahil polisi tidak tahu kejadiannya karena lokasi kejadian hanya berjarak 650 meter dari kantor Kepolisian Sektor Guluk-Guluk. Jadi, jika polisi benar-benar tidak tahu, saya sungguh heran.

Masalah perlindungan saksi sempat ditegaskan dan ditanyakan lebih sekali oleh Kiai Syafi’ie yang tampaknya merasa kurang puas dengan jawaban Kapolres. Saya bisa memahami ketidakpuasan Kiai Syafi’ie, karena memang dalam situasi sosial masyarakat Madura, warga yang memberi kesaksian atas kasus pencurian sapi (bahkan mungkin juga keluarganya) akan diancam oleh si pencuri. Saya menangkap keraguan dan pertanyaan di benak Kiai Syafi’ie: sejauh mana polisi akan melindungi dan menjamin keselamatan saksi dan atau pelapor?

Saat dialog diakhiri pada pukul 13.23 WIB, paling tidak saya merasa senang melihat pihak kepolisian mau berbincang dan mendengar suara rakyat. Namun, karena sifatnya umum dan waktunya terbatas, saya punya harapan yang lebih. Saya berharap, suatu saat akan ada suatu pertemuan yang lebih fokus ke satu soal tertentu, misalnya masalah pencurian hewan dan kendaraan bermotor, yang memang belakangan cukup marak terjadi di lingkungan saya.

Dengan lebih fokus, mungkin saja polisi bisa menyusun satu rancangan yang lebih utuh dan jelas dalam membantu menyelesaikan nestapa masyarakat yang di tengah sulitnya kehidupan ekonomi mereka masih juga dihantui oleh tindak kejahatan pencurian. Jika masalah konkret seperti ini tak kunjung berusaha keras diatasi, artinya polisi tidak menunjukkan upaya serius dan menyeluruh untuk menyelesaikannya, saya cenderung berpikir bahwa kepercayaan masyarakat pada pihak kepolisian yang di mata saya saat ini cenderung rendah akan sangat sulit untuk dipulihkan.

Wallahualam.


Baca juga:
>> Surat Terbuka Untuk Pak Polisi

1 komentar:

Addarori Ibnu Wardi mengatakan...

Benar memang pernyataan tersebut diatas bahwa menjadi ironi jika daerah yang dekat dengan kepolisian kehilangan namun mereka (kepolisian) tidak mengetahui. dan benar juga mengenai pendapat nom musthofa bahwa bisa dibilang janggal kalau pihak bewajib bekerja jika ada laporan.
Pertanyaannya.
lalu seperti apakah idealnya aparat keamanan itu bekerja? apakah kepolisian harus berpatroli tiap malam kerumah masing-masing warga? atau ada solusi yang lebih pas dengan keadaan yang seperti ini. terimakasih.