Senin, 30 Juli 2012

Bila Media Tak Setia pada Fakta


Mengamati pemberitaan media tentang kasus ijazah Moh. Azhari, alumnus Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, yang dianggap tak memenuhi persyaratan dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas oleh Kepolisian Resor Sumenep di bulan Juni hingga Juli 2012, saya menjadi prihatin. Saya prihatin dengan mutu pemberitaan di media yang beberapa di antaranya ternyata tak setia pada fakta.

Kasus ini menjadi cukup menghebohkan saat beberapa ribu alumnus Pondok Pesantren Annuqayah bersama unsur pondok pesantren lain di Sumenep mengadakan aksi turun jalan pada hari Selasa, 17 Juli 2012. Beberapa televisi nasional sempat menurunkan liputannya. Namun, sayangnya, beberapa bagian dalam berita itu sungguh jauh panggang dari api.

Headline news MetroTV pukul 16.00 WIB hari Selasa tanggal 17 Juli 2012 memuat 3 kesalahan mendasar dalam memberitakan aksi turun jalan di Sumenep tersebut. Pertama, disebutkan bahwa pengunjuk rasa dalam aksi itu berjumlah ratusan. Kedua, kericuhan terjadi di Markas Kepolisian Resor Sumenep. Ketiga, kericuhan terjadi karena massa dihalangi petugas untuk masuk ke Mapolres Sumenep.

Ralph Tampubolon, pembaca berita pada acara tersebut tampil gagah dengan jas dan dasi serta rambut modis. Di saku jasnya, tampak saputangan menonjol sedikit keluar. Bagi yang tak tahu persis kejadian di lapangan, tentu dia akan berpikir bahwa ketiga fakta yang benar-benar tak berdasar itu benar adanya. Apalagi Ralph Tampubolon membacakan naskah beritanya dengan meyakinkan.

Faktanya, aksi turun jalan ini diikuti oleh ribuan orang. Saya sendiri tidak tahu persis jumlah peserta aksi karena tidak hadir pada kejadian tersebut. Namun beberapa sumber yang hadir menyebutkan angka paling sedikit 1.500 orang. Bahkan ada yang menyatakan mungkin sampai 3.000 orang. Sumber-sumber saya itu mungkin memang tak punya dasar teori penghitungan massa yang profesional. Tapi jika saya melihat foto-foto yang didokumentasikan dari aksi tersebut, angka ratusan itu jelas sangat jauh dari fakta.

Yang kedua, kericuhan tak terjadi di Mapolres Sumenep. Kejadian itu terjadi pada jarak sekitar 1,5 kilometer dari Mapolres, yakni di Kantor DPRD Sumenep. Gedung DPRD Sumenep berbeda dengan Mapolres. Ada patung kuda terbang di halaman DPRD, dan di Mapolres tak ada patung yang diambil dari lambang Kabupaten Sumenep itu.

Ketiga, penyebab kericuhan jelas tidak seperti itu. K. A. Dardiri Zubairi, seorang jurnalis warga produktif di Sumenep yang juga hadir pada aksi tersebut, menuliskan laporannya bahwa kericuhan terjadi saat Wakapolres yang hendak dibawa ke Guluk-Guluk tiba-tiba diambil paksa oleh sejumlah petugas. Padahal Wakapolres sebelumnya sudah menyatakan kesediaannya pada massa. Pada titik inilah massa merasa dikhianati. Apalagi kemudian ada saksi mata yang melihat bahwa petugas memukul beberapa demonstran.

Titik kejadian yang penting ini saya tanyakan ke beberapa sumber utama lainnya. Dan mereka menegaskan fakta serupa.

Atas semua ini, saya sungguh prihatin dan bertanya-tanya: dari manakah sumber berita MetroTV itu berasal sehingga ia melaporkan fakta-fakta yang boleh dibilang, maaf, asli ngawur?

Aksi hari Selasa tanggal 17 Juli itu memang menarik perhatian karena dari segi jumlah massa yang sangat banyak. Media televisi lain yang menurunkan beritanya adalah SCTV. Namun sayang, urutan kejadian yang dipaparkan pada Liputan 6 Malam itu sangat berpotensi untuk membelokkan fakta.


Ini dia kutipan berita yang dilaporkan oleh Salli Nawali itu:

“Unjuk rasa ribuan santri asal Sumenep Madura di Jawa Timur di gedung DPRD setempat berakhir rusuh. Mereka melempari polisi, merusak pos penjagaan serta pot-pot bunga lantaran merasa dilecehkan oleh Kapolres Sumenep setelah rekan mereka ditolak mendaftar dalam rekrutmen bintara Polri.”

Pemirsa yang tak mengikuti rangkaian kejadian kasus yang bermula satu bulan sebelum aksi turun jalan tersebut akan membuat kesimpulan rekaan peristiwa sederhana: ada santri ditolak mendaftar di Kepolisian, lalu teman-temannya unjuk rasa dan rusuh.

Pembawa berita menuturkan dengan penuh percaya diri sambil memainkan intonasinya saat tiba di bagian yang memaparkan tentang aksi rusuh. Dia tampak yakin dengan apa yang dia bacakan.

Saya sudah menjelaskan titik kejadian terkait penyebab kericuhan pada aksi tersebut. Yang terpenting, dalam berita ini tak dijelaskan sejumlah langkah dialog yang diambil oleh beberapa pihak untuk menjelaskan kesalahan Polres Sumenep—yang akhirnya diakui sendiri secara resmi pada tanggal 24 Juli yang lalu.

Pihak Madrasah Aliyah 2 Annuqayah pada tanggal 18 Juni sudah mendatangi Polres untuk menjelaskan status ijazah yang mereka keluarkan—bahwa MA 2 Annuqayah mengikuti sistem pendidikan nasional di bawah Kementerian Agama RI, dan seterusnya. Pada tanggal 21 Juni, Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep mendatangi Polres Sumenep untuk menjelaskan hal yang sama. Tapi Polres bersikukuh bahwa keputusan mereka sudah sesuai dengan petunjuk Polda Jawa Timur.

Pada tanggal 5 Juli, Annuqayah bersama sebuah LSM bernama LKP2M mendatangi DPRD Sumenep menjelaskan duduk perkara kasus ini dan meminta DPRD Sumenep untuk memfasilitasi pertemuan dengan Kapolres Sumenep, Dinas Pendidikan Sumenep, Kantor Kementerian Agama Sumenep, dan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Pada acara ini, Annuqayah mengeluarkan pernyataan sikap yang juga disampaikan ke Polres Sumenep.

Pada tanggal 16 Juli, Wakapolres Sumenep bersama rombongan menemui pengasuh Annuqayah. Mereka membawa alasan yang sama sebagaimana sudah diungkapkan kepada pihak MA 2 Annuqayah dan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Bedanya, kali ini mereka diperkuat dengan surat dari Polda Jawa Timur.

Urutan peristiwa ini, dalam pandangan saya sebagai pengurus Annuqayah yang ikut mengawal penyelesaian masalah ini, di satu sisi memperlihatkan sikap keras kepala aparat dan lembaga kepolisian untuk mengubah cara pandangnya yang nyata-nyata salah. Semua peristiwa ini juga tersiar di beberapa media setempat, termasuk juga melalui media jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Dengan kata lain, masyarakat yang bisa memahami urutan kejadiannya dengan nalar sehat secara gamblang juga menyaksikan sikap keras kepala aparat dan lembaga kepolisian ini.

Proses yang panjang ini menjadi hilang dalam pemberitaan SCTV. Saya paham bahwa ada keterbatasan durasi dalam menyiarkan berita ini. Tapi menghilangkan fakta yang sangat terkait dan bernilai penting sangat berpotensi membelokkan fakta yang dipaparkan. Dan itulah yang menurut saya terjadi.

Pemberitaan dari media setempat juga ada yang memuat fakta tak berdasar. Pada terbitan 6 Juli 2012, sehari setelah Annuqayah dan LKP2M mendatangi DPRD Sumenep, harian Radar Madura dan Kabar Madura menurunkan berita pertemuan ini. Namun sayang, berita itu memuat fakta tak berdasar.


Radar Madura, yang pertama kali terbit pada 27 Juli 1999, menurunkan beritanya di halaman “Radar Sumenep” dengan judul “Ayah Azhari Ngadu ke Dewan”. Judul berita ini jelas tak berdasar. Yang hadir ke DPRD Sumenep itu adalah rombongan pengurus Annuqayah dan LKP2M. Tak ada ayah Azhari. Di dalam berita ini, dijelaskan bahwa ayah Azhari datang ke DPRD Sumenep ditemani salah seorang pimpinan MA 2 Annuqayah. Waktu kedatangannya pun salah. Di situ ditulis sekitar pukul 13.00 WIB. Padahal, 40 menit sebelum jam yang disebutkan itu, pertemuan di gedung DPRD Sumenep sudah berakhir. Pun, dalam berita itu, sama sekali tak disebutkan kutipan dari juru bicara Annuqayah pada pertemuan tersebut, K. Moh. Naqib Hasan.

Dugaan saya: tampaknya wartawan Radar Madura tak mendapatkan informasi peristiwa ini dari sumber pertama atau dari lapangan. Tapi dia dengan penuh percaya diri menulis berita ini untuk kemudian disiarkan.

Kabar Madura memuat berita pertemuan di DPRD Sumenep tanggal 5 Juli itu keesokan harinya di halaman pertama. Dalam berita berjudul “Tuntut Panitia Lokal Minta Maaf”, kalimat pertama langsung memuat fakta yang salah. Ini kutipannya:

“Aktivis Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LKP2M) Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, akan menuntut Polres Sumenep agar meminta maaf.”


Kesalahan fakta dalam kalimat ini adalah ketika penulisnya memasukkan LKP2M sebagai bagian dari Annuqayah. Padahal, LKP2M itu lembaga di luar Annuqayah. Di berita pelengkap dengan judul lainnya di halaman yang sama, Kabar Madura, yang mulai terbit sejak 1 Juni 2012 lalu, juga memuat kesalahan penyebutan rombongan Annuqayah yang hadir ke DPRD Sumenep. Di situ disebutkan ada Kepala MA 1 Putri Annuqayah. Padahal, Kepala MA 1 Annuqayah Putri sama sekali tidak terlibat dalam penanganan kasus ini dari awal sampai akhir.

Apakah pemberitaan yang tidak berdasar fakta ini hanya terjadi pada kasus ijazah Madrasah Aliyah 2 Annuqayah? Saya tidak bisa menjawab secara pasti dan ilmiah. Perlu penelitian yang lebih cermat. Tapi, sependek pengetahuan saya, tampaknya soal ketepatan fakta ini memang masih menjadi masalah utama untuk media cetak lokal di Madura.

Pada tanggal 5 Mei 2012 lalu, misalnya, Radar Madura menurunkan berita perampokan di Ketapang, Sampang. Korbannya seorang janda kaya. Namun ada beberapa fakta penting yang keliru, yakni penyebutan usia korban perampokan dan foto korban. Pada edisi keesokan harinya, Radar Madura memberi pembetulan.

Radar Madura edisi 5 Mei dan 6 Mei. Bandingkan foto yang salah dan foto yang  benar.


Saya sungguh prihatin dengan fakta bahwa ternyata baik media nasional maupun media lokal masih belum benar-benar berpegang pada ketepatan fakta yang mereka angkat sebagai prinsip mendasar jurnalisme. Saya jadi teringat tulisan Andreas Harsono dalam mengantar buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (KPG, 2008) yang menuturkan bahwa Majalah The New Yorker sejak terbit tahun 1925 memperkenalkan jabatan fact checker (pemeriksa fakta) yang bertugas memeriksa ketepatan fakta yang diangkat di setiap naskah.

Apakah yang demikian ini mungkin masih terlalu ideal bagi media di Indonesia?

Dalam pandangan awam saya, ketepatan fakta adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Bila media tak mau setia pada fakta, dampaknya bisa panjang. Bahkan mungkin bisa fatal. Informasi yang sesat bisa menghasilkan sikap dan tindakan yang juga sesat. Tujuan utama jurnalisme, sebagaimana ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, “menyediakan informasi yang diperlukan agar orang bebas dan bisa mengatur diri sendiri”, akan sulit—bahkan mungkin mustahil—tercapai bila dibangun di atas dasar fakta yang tidak tepat.

Pertanyaan berikutnya: apa kita hanya bisa prihatin? Adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Bagi saya, masalah ini menghadirkan dua tantangan. Pertama, kita perlu mendidik diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya untuk melek media, yakni untuk bisa memiliki bekal yang cukup (dan kritis) dalam mencerna informasi. Tujuannya agar sebagai pembaca kita dapat melihat celah-celah dan kemungkinan pembelokan informasi—baik disengaja atau tidak—yang mungkin terjadi.

Kedua, secara aktif kita juga ditantang untuk menghidupkan jurnalisme warga. Dahulu, saat pemerintah Orde Baru menekan dan membatasi ruang gerak media massa, Seno Gumira Ajidarma menulis sebuah esai berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Kini, ketika era kebebasan justru ternyata kadang menghadirkan media yang tidak teliti mengangkat fakta, saya bisa mengatakan: “Ketika Jurnalisme Tak Setia pada Fakta, Jurnalis Warga Harus Bicara”.

Menurut saya, kedua butir tantangan ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama. Sebuah pekerjaan yang tidak kecil, sehingga harus dikerjakan bersama-sama. Jika ini tak dilakukan, ruang publik kita bisa jadi akan terus disesaki dengan informasi-informasi palsu yang kotor dan menyesatkan.

Wallahualam.

Baca juga:
>> Melek Informasi

Read More..

Senin, 09 Juli 2012

Nalar Bahasa Pengurus Publik

Menteri ESDM diprotes pembaca Kompas karena tidak tertib berbahasa.

Di rubrik “Redaksi Yth” Harian Kompas tanggal 1 Mei 2012, ada surat pembaca yang sangat menarik perhatian saya. Surat pembaca itu berjudul “Menteri dan Bahasa Indonesia”, ditulis oleh Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, Marius Widjajarta. Dia risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, di halaman muka Kompas edisi 23 April 2012.

Berikut kutipan surat pembaca Marius Widjajarta:

Sebagai Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, yayasan yang—antara lain—berupaya melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan betul, saya risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengenai pembatasan pemakaian BBM bersubsidi yang konon akan diterapkan dalam waktu dekat.

Pada paragraf kelima berita halaman muka
Kompas edisi 23 April 2012, "Mobil Pribadi 1.500 Cc ke Atas Tak Pakai BBM Subsidi", tersua pernyataan langsung Menteri ESDM Jero Wacik: "Tidak ada mobil yang pas 1.500 cc, ada 1.490 cc, 1.492 cc." Lalu, keterangan berikutnya berbunyi: "Mobil dengan kapasitas seperti itu akan digolongkan dengan mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas."

Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan betul, pengertian 1.500 cc ke atas adalah "1.500 cc, 1.501 cc, dan seterusnya". Jika yang dimaksudkan Menteri ESDM bahwa aturan itu mencakup mobil "1.490 cc, 1.492 cc", seharusnya ia mengatakan bahwa aturan "tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi" itu berlaku untuk mobil berkapasitas 1.400 cc ke atas.


Saya sangat sedih mengingat Menteri ESDM merupakan pejabat publik berpendidikan tinggi. Ucapan dan tingkah lakunya semestinya teladan bagi masyarakat luas.


Melalui surat pembaca di atas, saya jadi tersadar bahwa kemampuan berbahasa pengurus publik di negeri kita masih bermasalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya tentang kemampuan berbahasa, karena saya percaya bahwa bahasa pada dasarnya juga adalah soal nalar. Bahasa bukan semata soal komunikasi dan ekspresi, tapi juga soal cara berpikir. Manusia itu berpikir dengan bahasa. Jadi, kesalahan berbahasa sangat mungkin terjadi karena kekurangrapian berpikir.

Lalu bagaimana jika yang salah berpikir itu orang-orang yang termasuk pengurus publik atau pemegang kebijakan strategis? Atau mereka yang punya pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti Menteri ESDM atau yang lainnya?

Anda, pembaca, tentu dapat mengemukakan jawabannya. Tapi izinkanlah saya memberikan gambaran yang lebih jelas melalui kasus yang sedang saya hadapi saat ini.

Ceritanya begini. Ada seorang lulusan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, bernama Azhari, mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas di Kepolisian Resor Sumenep. Namun dia dinyatakan tidak lulus karena ijazahnya tidak diakui oleh panitia penerimaan di Polres Sumenep.

Kenapa tidak diterima? Menurut polisi, ijazah Azhari (yakni ijazah MA 2 Annuqayah) tidak diakui atau dianggap tidak memenuhi syarat karena MA 2 Annuqayah berada di bawah naungan pondok pesantren. Sedangkan pesantren yang diakui oleh mereka, katanya, hanya empat pesantren sebagaimana tercantum dalam brosur penerimaan.

Pembaca, agar lebih jelas, saya kutip secara lengkap bagian dari brosur yang menjelaskan hal tersebut:

II. PERSYARATAN LAIN.

1. Berijazah serendah-rendahnya SMU/MA jurusan IPA/IPS atau SMK yang sesuai dengan kompetensi dengan tugas pokok Polri (kecuali Tata Busana dan Tata Kecantikan) dgn nilai rata-rata HUAN (Hasil Ujian Akhir Nasional) min 6,25 (enam koma dua lima) untuk IPA dan 6,5 (enam koma lima) untuk jurusan IPS dan SMK;


2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;




Brosur penerimaan brigadir brimob dan dalmas Polres Sumenep.


Sebelum saya lanjutkan, saya ajak pembaca untuk mencerna kembali dua poin dalam kutipan di atas dengan cermat. Bacalah dengan nalar yang lurus dan tangkaplah pokok gagasannya.

Apabila sudah dicerna ulang, baiklah, sekarang teruskan.

Penolakan polisi dengan alasan sebagaimana disebut di atas menurut saya secara terang benderang menunjukkan kesalahan nalar bahasa polisi. Menurut saya, panitia/polisi gagal memahami persyaratan yang tercantum dalam brosur yang mereka buat sendiri. Gagal bagaimana? Menurut saya, mereka tak bisa memahami pokok gagasan yang hendak disampaikan oleh pembuat kebijakan terkait persyaratan ijazah—siapa sebenarnya pembuat kebijakan tersebut?

Jika kita perhatikan alasan penolakan polisi, mereka sebenarnya berpikir seperti ini: bagi mereka, semua ijazah lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang berada di bawah naungan pesantren tak akan diakui—bahkan meskipun telah terakreditasi dan diakui oleh Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI—kecuali lembaga pendidikan yang dikelola oleh keempat pesantren tersebut.

Apakah cara berpikir seperti ini dapat dibenarkan secara logika (bahasa)? Mari kita lihat secara lebih cermat dengan akal sehat.

Poin kedua dalam persyaratan tersebut menurut saya sebenarnya adalah untuk mengkhususkan atau mengecualikan poin persyaratan yang pertama. Perhatikan frasa “yang diakui setara dengan SMU” dalam poin kedua persyaratan tersebut. Frasa ini menunjukkan bahwa poin kedua ini ingin mengecualikan pesantren yang tidak memiliki Madrasah Aliyah atau SMA yang mengikuti sistem pendidikan nasional tetapi memiliki sistem pendidikan sendiri yang setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA.

Pesantren Al-Amien, Prenduan, misalnya, memiliki Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI), yakni lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah atau SMP dan SMA dengan model atau sistem mandiri yang tidak sama dengan sistem pendidikan nasional. Nah, menurut saya, poin kedua ini hendak menyatakan bahwa sistem pendidikan khas pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana terdapat di keempat pesantren tersebut di atas juga diakui oleh Negara, yakni diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA, sehingga lulusannya dapat mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas ini.

Karena itu, dalam pengumuman penerimaan siswa TMI di Al-Amien, dijelaskan bahwa ijazah TMI diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA oleh Negara. Sebaliknya, dalam pengumuman penerimaan siswa di Madrasah Aliyah atau SMA di Annuqayah, tak perlu ada penjelasan semacam ini. Cukup menjelaskan bahwa madrasah/sekolah ini sudah terakreditasi (oleh Negara).

Masalahnya polisi berpikir terbalik, sehingga kesimpulannya sangatlah fatal. Jika mengikuti logika polisi, maka seluruh lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang bernaung di pondok pesantren tidak akan diakui ijazahnya oleh polisi meskipun telah terakreditasi oleh Negara dan mengikuti Ujian Nasional—kecuali lembaga pendidikan di empat pesantren yang disebut dalam brosur tersebut. Logika yang sesat ini akan meruntuhkan wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama dalam menilai mutu dan keabsahan lembaga pendidikan yang mengikuti sistem Negara.

Saya sangat heran mengapa polisi sampai salah paham dan sesat pikir hingga sejauh ini. Saya tak habis pikir, jika mereka tak mencerna kalimat-kalimat dalam brosur itu dengan logika, lalu mereka memahaminya dengan apa? Saya semakin heran ketika di media massa polisi menjawab bahwa mereka hanya mengikuti aturan. Aturan apakah itu tepatnya?

Saya pikir dalam hal ini mungkin mereka hanya ikut-ikutan, ikut apa kata atasan, dan tak mau mencoba mengikuti aturan bahasa, aturan nalar. Apakah mereka menempatkan atasan lebih tinggi daripada nalar?

Bahkan jika pun mereka mau memaksa menggunakan logika terbalik seperti di atas, saya pun masih bisa menunjukkan kelemahan lainnya yang bersumber dari keteledoran berbahasa yang termuat dalam kutipan brosur tersebut di atas, khususnya di poin kedua.

Apa itu? Biar lebih jelas, saya kutip kembali poin kedua di atas:

2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;

Baiklah. Taruhlah saya akan ikut logika sesat polisi, bahwa poin kedua ini akan diperhitungkan pertama kali jika ada pendaftar yang berasal dari lembaga pendidikan di bawah pengelolaan pesantren. Tapi coba perhatikan kata “antara lain” di poin kedua ini.

Bagaimanakah penggunaan kata “antara lain” yang benar dan sesuai nalar?

Menurut saya, “antara lain” digunakan saat kita hendak menyebutkan sejumlah hal/barang dan kita hanya menyebutkan sebagian saja. Perhatikan contoh penggunaan kata “antara lain” yang saya kutip dari Harian Kompas edisi 7 Mei 2012: “Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56 perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi”. Kata “antara lain” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa perilaku arogan anggota TNI tak hanya berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi. Ini hanya sebagian. Ada lagi yang lainnya. Jika Anda membaca lebih lanjut laporan Kompas di edisi 7 Mei 2012 itu, Anda akan menemukan bentuk arogansi anggota TNI yang lain, seperti pelecehan seksual, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan yang lainnya.



Contoh penggunaan kata "antara lain" di Kompas, 7 Mei 2012.


Nah, jika penggunaan kata “antara lain” seperti ini, yakni untuk menyebut sebagian dari sebuah himpunan, maka berarti seharusnya ada pesantren lain yang juga diakui setara dengan SMA selain keempat pesantren tersebut. Apakah Annuqayah termasuk? Apakah Pesantren Al-Is’af, Kalabaan, Guluk-Guluk, juga termasuk? Apakah Pesantren Karay, Ganding, termasuk? Polisi mestinya tahu jawabannya.

Tapi polisi tak bisa menjawab: “Oooo tidak, hanya empat pesantren itu saja yang diakui setara”. Kalau menjawab seperti ini, berarti polisi sedang melawan nalar atau aturan bahasa—melanggar hukum bahasa.

Dua kesalahan fatal ini, sekali lagi, menunjukkan nalar bahasa pengurus publik di negeri ini masih kacau. Untuk kasus yang saya ulas panjang ini, saya sangat heran (saya sesungguhnya butuh ekstra hiperbola untuk mengungkapkan keheranan saya ini) karena di media massa secara cukup lama, sejak kasus ini pertama kali dipersoalkan oleh Azhari ke polisi pada 21 Juni lalu hingga tulisan ini dibuat, polisi tak mau mengubah pandangannya. Bahkan, Kabar Madura edisi 6 Juli 2012 menulis: “Rahbini (Kabag Sumber Daya Manusia Polres Sumenep—MM) juga menjelaskan, Pantia Seleksi Administrasi Tahap Pertama melibatkan pihak Dinas Pendidikan Sumenep yang diwakili Mery Margaret, Penggiat LSM Tajul Arifin, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep Jazuli, dan dua anggotanya, Aiptu Teguh Prawoto dan Ipda Rasyidi”. Sekali lagi, saya heran.


Pemberitaan kasus ijazah Azhari di Kabar Madura, 6 Juli 2012.

Saya juga sedih. Sebagai guru Bahasa Indonesia yang juga mengajar Logika, kasus ini dari satu sisi mungkin menunjukkan kegagalan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Belakangan ini, kemampuan menyerap pokok gagasan dalam sebuah paragraf atau kalimat yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia memang telah disorot oleh banyak kalangan—dinilai belum berhasil. Ada yang mengatakan, ini juga terkait dengan rendahnya kebiasaan membaca.

Namun demikian, dari sisi yang lain, masalah ini memunculkan tantangan bagi saya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya tertantang untuk mengupayakan proses pembelajaran bahasa di sekolah yang lebih baik dan bermutu sehingga masyarakat pada umumnya dapat berbahasa secara lebih baik. Saya harus meneguhkan komitmen saya agar dapat mengajar dengan lebih baik, dan juga mengajak rekan-rekan guru Bahasa Indonesia yang lain untuk juga meningkatkan mutu pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Siapa tahu di antara murid-murid saya kelak ada yang menjadi pengurus publik, sehingga jika saya dan guru-guru Bahasa Indonesia berhasil memberi dasar-dasar kebahasaan yang baik, terutama dari segi logika bahasa, mereka nantinya akan dapat mengurus masyarakat dengan pola pikir yang tertib, lurus, dan sehat.

Baca juga:
Surat Terbuka untuk Pak Polisi

Read More..