Rabu, 28 Maret 2012

Revolusi Paradigma Guru

Judul buku: Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara
Penulis: Munif Chatib
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: Pertama, Mei 2011
Tebal: xx + 256 halaman


Kualitas pendidikan di Indonesia hingga kini masih terus dipertanyakan. Amanat kemerdekaan untuk memajukan bangsa dengan pendidikan tampak masih penuh masalah akut. Banyak pihak percaya bahwa guru adalah kunci utama untuk mengurai masalah pendidikan dan kemajuan bangsa.

Buku ini menawarkan revolusi paradigmatik agar guru dapat lebih berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan sehingga pada akhirnya dapat ikut serta memajukan mutu kehidupan masyarakat. Munif Chatib, penulisnya, menyebut guru sejati yang diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi masalah kebangsaan ini dengan istilah “gurunya manusia”.

Munif menyebut lima syarat mendasar untuk menjadi gurunya manusia, yaitu bersedia untuk selalu belajar, membuat rencana pembelajaran sebelum mengajar, bersedia diobservasi, selalu tertantang untuk meningkatkan kreativitas, dan memiliki karakter yang baik.

Oleh Munif, gurunya manusia dibedakan dengan guru robot dan guru materialistis. Guru robot bekerja secara mekanis, sedang guru materialistis mengajar dengan logika dagang. Gurunya manusia bekerja dengan landasan ketulusan untuk menanamkan ilmu dan pengetahuan kepada anak didik sehingga ia terus berusaha untuk maju, berkembang, terus kreatif, dan tak bosan mengembangkan kompetensinya.

Sejauh ini, jika kita melihat di lapangan, dorongan agar guru senantiasa terus mengembangkan diri sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan sertifikasi guru. Namun demikian, kenyataan di lapangan tidaklah seindah yang dibayangkan. Beberapa pihak menilai bahwa semangat pemberdayaan yang diusung sertifikasi gagal. Indikasinya, di beberapa daerah ditemukan kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi. Bahkan, ada kecenderungan bahwa sertifikasi justru memicu lahirnya model guru yang oleh Munif disebut guru materialistis.

Karena itu, penting sekali memberikan sejumlah catatan yang bersifat prinsipil dalam rangka pengembangan mutu guru agar terhindar dari ekses buruk yang mungkin ditimbulkannya. Atau mungkin juga dengan mengajukan konsep pengembangan guru yang lain, seperti yang dicoba dilakukan Munif melalui buku ini.

Munif percaya bahwa pada dasarnya guru itu adalah manusia pembelajar. Ini adalah kondisi ideal guru yang dituntut jika guru diharapkan dapat memainkan peran penting dalam perubahan kualitas hidup masyarakat. Munif menyatakan bahwa tak ada guru yang tidak mampu mengajar, asalkan ia mau terus belajar dan mengasah kreativitas dan kompetensinya.

Dalam buku ini, Munif, yang sebenarnya juga adalah seorang praktisi dan konsultan pendidikan, mengemukakan bahwa terkadang semangat guru untuk berkembang terhambat oleh kebijakan sekolah atau lembaga yang menaunginya—yakni yayasan dalam kasus sekolah swasta. Karena itu Munif memberi petunjuk bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang banyak memberi kesempatan dan membuat program pengembangan kualitas guru secara terencana dan berkala.

Pada titik ini, Munif sebenarnya tengah mengemukakan kritik kelembagaan atas manajemen sekolah yang tak berhasil menumbuhkan iklim yang mendukung bagi pengembangan kreativitas dan kompetensi guru. Dengan demikian, menurut Munif, manajemen sekolah memiliki peran yang sangat penting untuk menjawab masalah ini. Di buku ini Munif memberi sejumlah contoh praktis tentang cara merancang berbagai kegiatan pengembangan mutu guru di sekolah.

Namun kritik kelembagaan terkait dengan manajemen sekolah yang dikemukakan Munif tampak tak bergerak lebih jauh, misalnya dengan mencoba membuka kemungkinan kritik atas kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, baik pemerintah lokal, regional, maupun nasional. Padahal, dukungan dari pemegang kebijakan juga sangat menentukan. Misalnya, masih adanya iklim korupsi dan feodal di daerah tertentu yang berimbas pada dunia pendidikan, termasuk juga guru.

Selain konteks kelembagaan, Munif dalam buku ini juga membahas panjang lebar paradigma seorang guru ideal dalam berhadapan dengan anak didik. Gurunya manusia adalah guru yang berusaha memanusiakan anak didiknya. Bagaimana caranya? Yakni dengan berpegang pada cara pandang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) sehingga terus berupaya menggali kemampuan dan potensi siswa. Anak didik diposisikan sebagai sosok yang istimewa dan didekati dengan hati, sehingga anak didik dapat menyerahkan hak untuk mengajar kepada guru.

Munif mencatat bahwa cukup banyak guru yang tidak sadar bahwa sejak awal masuk kelas dia sebenarnya tidak diterima oleh anak didiknya. Karena itu, dalam satu bab khusus Munif membahas cara merebut ketertarikan dan minat belajar siswa di menit-menit pertama. Dalam ilmu pendidikan ini disebut dengan apersepsi. Langkah ini dimaksudkan agar tumbuh motivasi dari dalam diri siswa untuk menyimak topik pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.

Bagian yang paling banyak dibahas Munif dalam buku ini adalah kiat dan panduan praktis untuk menjadi guru yang melakukan aktivitas belajar-mengajar di kelas atas dasar pendekatan kecerdasan majemuk. Dalam pendekatan ini, anak didik menjadi pusat proses pembelajaran sehingga guru musti mengupayakan strategi pembelajaran yang kreatif sesuai dengan beragam potensi dan gaya belajar siswa. Pada bagian ini, Munif memaparkan banyak contoh strategi belajar-mengajar dengan kecerdasan majemuk. Ada lima belas strategi yang dijelaskan Munif lengkap dengan contohnya, seperti strategi diskusi, action research, analogi, sosiodrama, environment learning, dan sebagainya.

Bagian terakhir yang dijelaskan Munif adalah cara guru menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (lesson plan) yang populer disingkat RPP. Munif percaya bahwa RPP sangat mendukung keberhasilan proses pembelajaran di kelas, karena selain untuk mematangkan persiapan, RPP juga dapat menjadi media refleksi dan evaluasi pembelajaran guru di kelas.

Buku ini sangat penting dibaca oleh para guru serta pengelola dan pemegang kebijakan pendidikan. Buku ini adalah sebuah upaya jawaban serta tawaran jalan keluar atas pihak-pihak yang kecewa dengan mutu guru. Memang, revolusi paradigmatik yang ditawarkan Munif dalam buku ini lebih banyak menyorot dan menyelami aspek teknis pedagogis, bukan menyangkut visi besar revolusioner ala Paulo Freire atau Ivan Illich yang berlandaskan kritik atas kapitalisme dan komersialisme pendidikan.

Namun demikian, visi dan paradigma guru yang hendak dibangun Munif dalam buku ini bisa dibilang cukup sejalan dengan kedua filsuf pendidikan tersebut karena sama-sama mengasumsikan visi kemanusiaan yang mendalam. Mereka bersepakat dalam menempatkan guru sebagai aktor penting pembangun peradaban dan sama-sama memperlakukan anak didik sebagai sosok unik yang perlu didekati dengan hati. Tapi dalam hal lain Munif tampak kurang menyelami aspek-aspek struktural menyangkut kehidupan sosial, budaya dan ideologi secara lebih kritis.

Meski begitu, kita bisa menemukan kelebihan buku ini yang cukup baik, yakni arahan teknis yang begitu banyak digali untuk membumikan paradigma guru tersebut yang sebenarnya banyak dipetik dari pengalaman Munif selama bertahun-bertahun bergelut di dunia pendidikan.

Sebagai seorang guru, melalui buku ini Munif telah mencoba menginspirasi guru-guru yang lain dan masyarakat umum untuk lebih menguatkan peran pendidikan dan meningkatkan mutu guru pada khususnya sehingga bisa mengantar Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Suluh MHSA, edisi X, Maret 2012.

0 komentar: