Jumat, 16 Oktober 2009

Era Tragedi dan Pelajaran Empati

Beberapa tahun terakhir, negeri ini cukup sering diterpa bencana alam. Kali ini, gempa dahsyat terjadi di Sumatera. Ratusan korban meninggal, bangunan dan rumah tinggal roboh. Kerugian tak hanya material, karena efek psiko-sosial dari setiap bencana alam juga terus membayang.

Berbagai tragedi bencana (alam) yang susul-menyusul belakangan ini, mulai dari tsunami Aceh, banjir bandang dan longsor di sana-sini, gempa dahsyat di Yogyakarta, muntahan lumpur panas di Sidoarjo, dan yang terakhir, gempa di kawasan Sumatera, dalam tataran subjektif-spekulatif, mungkin dapat dibaca sebagai sebuah pelajaran bagi bangsa ini untuk bisa lebih penuh memahami dan menghayati pelajaran empati. Sering kali, di luar konteks bencana, rasa kemanusiaan beberapa elemen bangsa ini seperti tumpul berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang mengenaskan.

Contoh yang paling mudah terkait dengan cara para pemimpin negeri ini menyikapi dan menyelesaikan kasus korban Lapindo. Lebih tiga tahun berlalu. Namun, masih banyak warga yang terlantar dan tidak jelas nasibnya. Argumen formal-prosedural yang kaku menempatkan kewajiban moral di luar prioritas dan pertimbangan.

Sementara itu, di sisi yang lain, cukup sering pula uang negera ini dihambur-hamburkan justru untuk mereka yang hidup lebih dari cukup, atau untuk seremoni yang tak substantif dan tak berhubungan langsung dengan kepedulian terhadap rakyat kecil.

Gagalnya pelajaran empati di era tragedi semacam ini pada level yang paling mendasar seharusnya dapat menggugah bangsa ini untuk kembali mempertanyakan makna kebangsaan yang telah lama dibangun bersama. Begitu sering diungkapkan bahwa sebuah bangsa dibangun dari imajinasi kolektif warga-warganya, dari sejumlah pengalaman masa lalu hingga terpatri dalam terang aktualitas masa kini. Sebuah bangsa yang baik akan mampu menghadirkan imajinasi konstruktif dalam kerangka upaya bersama mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih beradab.

Mengapa era tragedi ini hingga sekarang masih belum sepenuhnya bisa memberikan hikmah pelajaran empati untuk seluruh elemen bangsa ini? Mengapa yang mengemuka masih egoisme yang seperti menafikan kehadiran saudara setanah air? Mengapa para pemimpin negeri ini masih belum kunjung selalu memiliki kepekaan dan kepedulian yang cukup atas berbagai penderitaan yang dialami bangsa ini?

Semenjak era Orde Baru, kesewenangan penguasa telah mengikis dan menggerogoti perspektif kepedulian, rasa empati, dan rasa kebersamaan bangsa ini, hingga ke level yang cukup kritis. Nasionalisme hanya menjadi slogan, tak pernah berbekas dalam kenyataan. Jadilah, (aparat) negara tak mampu menjaga rasa kebangsaan para warganya, dan hanya menyemai benih disintegrasi. Kemudian era reformasi seperti memberi harapan baru untuk memulihkan luka berbagai elemen bangsa yang sebelumnya terinjak hak-haknya. Tapi penghayatan rasa empati yang sesungguhnya di era reformasi pun ternyata masih sering tak menemukan ruang perwujudannya.

Sekarang, marilah kita sedikit berspekulasi tentang episode tragedi yang kembali dirasakan bangsa ini. Tidakkah ini mungkin merupakan sebuah pelajaran buat seluruh elemen bangsa ini untuk menyalakan kembali imajinasi kolektif-konstruktif mereka, tentang komunitas bangsa yang betul-betul membutuhkan kebersamaan untuk menyelamatkannya dari puing kehancuran? Bila berbagai upaya berupa rekayasa sosial-politik selama era reformasi ini tak kunjung memperlihatkan hasil yang jelas untuk merekatkan kembali kebersamaan, membangkitkan empati tentang derita banyak warganya, dan betul-betul menggugah para elite untuk tak hanya berpesta dalam kuasa serta mempersembahkan yang terbaik untuk bangsanya, apakah tidak mungkin belakangan “alam” kemudian turun tangan untuk memberikan pelajarannya yang terakhir tentang empati, kepedulian, dan kebersamaan?

Mungkin dengan pembacaan subjektif-spekulatif semacam ini berbagai kisah sedih bencana alam yang menimpa bangsa ini dapat menjadi lebih bermakna bagi kelanjutan kehidupan masyarakat bangsa ini. Tentu saja perspektif pemaknaan seperti ini tidak boleh hanya berhenti pada level romantik saja, tetapi jelas harus dijangkarkan pada level objektif, dengan kerja-kerja konkret untuk terus menerjemahkan makna kebangsaan, kebersamaan, ketulusan, dan empati, dalam sebuah komunitas bangsa yang tak kunjung bisa keluar dari multibencana yang menamparnya.

Pada sisi yang lain, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang religius. Islam, sebagai agama yang mayoritas dipeluk masyarakat Indonesia juga tak luput mengajarkan pelajaran empati semacam ini. Sesungguhnya, salah satu nilai moral puasa Ramadan, yang baru saja kita tunaikan, adalah pelajaran empati, selain pengendalian dan penyucian diri. Dalam berpuasa, umat Islam diajak untuk berempati dengan rasa lapar dan dahaga yang sehari-hari dirasakan oleh kaum papa. Ibadah puasa mendorong solidaritas manusia.

Bangsa Indonesia tak boleh selalu kehilangan momentum untuk menumbuhkan kesadaran solidaritas sosial semacam ini. Tak diragukan lagi, solidaritas dan empati saat ini amat dibutuhkan untuk menjadi nilai dasar bagi upaya bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang tak kunjung berhenti mendera.

0 komentar: