Rabu, 02 September 2009

Menyongsong Belanda dan Norwegia

Keberangkatan saya untuk studi di Eropa sudah tinggal beberapa hari lagi. Akhir pekan ini, saya sudah akan meninggalkan Jakarta menuju Amsterdam.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan rumah di Madura, sempat terbersit di kepala saya tentang dua negara yang akan menjadi tempat studi saya: Belanda dan Norwegia. Muncul pertanyaan: mengapa saya ternyata ditakdirkan akan belajar di dua negara Eropa itu? Mengapa bukan di negara yang lain? Mungkin ini termasuk pertanyaan bodoh.

Namun begitu, secara tak sengaja pikiran saya terus menyusur ke belakang, ke masa-masa yang cukup lampau, sampai akhirnya saya pun menemukan sedikit jawaban yang bisa saja dilihat sebagai suatu kebetulan. Saya teringat pada sebuah buku saya berjudul Negeri Belanda: Selayang Pandang. Buku ini sebenarnya sudah terlupakan. Ia tak terdata dalam daftar koleksi buku saya.

Sebelum bertolak ke Jakarta, saya mencoba mencari buku ini, dan, alhamdulillah, akhirnya ditemukan di tumpukan buku-buku lama saya. Saya beruntung bahwa ternyata saya mencatat tanggal penerimaan buku itu, yakni 27 Juli 1993. Itu berarti enam belas tahun yang lalu. Jika tak salah, itu saat saya mau naik ke kelas tiga Tsanawiyah (setingkat SMP).

Saya menerima buku itu secara gratis dari Kedutaan Besar Belanda bersama beberapa buku lain yang tak berhasil saya temukan di rumah. Seingat saya, ada kamus kecil bahasa Belanda, peta Belanda, dan beberapa buku lain. Saya masih ingat, saya mengirimkan kartu pos ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta untuk meminta buku bacaan. Entah seperti apa bahasa yang saya gunakan di kartu pos itu.

Tahun 1993 buat saya adalah semacam tahun peralihan, ketika saya mulai berani mencoba membaca buku-buku ilmiah (nonfiksi). Sebelumnya, bacaan saya hanya sebatas buku fiksi, terutama cerita silat legendaris Wiro Sableng yang mulai saya kenal sejak tahun 1988. Minat saya untuk mulai membaca tulisan nonfiksi bisa dikata juga didorong dari perkenalan saya dengan surat kabar dan hobi saya mengkliping. Di tahun 1992, koran sore Surabaya Post masuk ke kampung saya, setelah jauh sebelumnya Jawa Pos sudah bisa dibaca—entah sejak kapan tepatnya. Kemudian di tahun 1993, saat mulai terbit, Republika juga masuk, meski dengan kedatangan yang terlambat.

Buku Negeri Belanda: Selayang Pandang mungkin adalah buku gratis pertama yang saya dapatkan. Menyusul berikutnya, saya juga mendapatkan kiriman buku gratis dari Kedutaan Republik Islam Iran, Radio NHK Jepang, Deutsch Welle, dan yang lainnya, termasuk juga kiriman gratis buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya dari Cendana.

Saya jadi berpikir bahwa mungkin Belanda paling tidak secara relatif juga sedikit menandai mulai meluasnya minat bacaan dan kepenulisan saya. Jika sebelumnya saya hanya menulis untuk majalah dinding sekolah dan catatan harian, di pertengahan Tsanawiyah saya mulai berani mencoba menulis surat (“mempublikasikan” tulisan [?]) untuk minta buku gratis ke kedutaan-kedutaan atau badan lainnya.

Bagaimana dengan Norwegia? Terus terang, mula-mula saya tak begitu menyangka bahwa rute studi saya—selain Belanda—adalah Norwegia. Konsorsium MAE (Master of Applied Ethics), program studi saya, selain kedua negara itu juga termasuk Swedia. Dan saya menduga bahwa saya akan ditempatkan di Belanda dan Swedia. Namun, saat surat pelulusan dari Konsorsium MAE dan Uni Eropa saya terima, ternyata rute studi saya adalah Belanda dan Norwegia.

Pada saat itulah seketika saya lalu teringat pada salah satu penulis favorit saya: Jostein Gaarder. Saya jadi berpikir, mungkin garis keputusan ini juga ada kaitannya dengan sosok yang mulai saya kenal sejak awal 1997 ini, saat saya hampir lulus dari Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Mungkin ini adalah jalan yang akan memungkinkan saya untuk bertemu langsung dengan penulis yang produktif menghasilkan novel-novel filsafat dan tinggal di Oslo ini.

Gaarder buat saya adalah sosok yang kuat pengaruhnya, terutama untuk memantapkan tekad saya mempelajari filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebenarnya, perkenalan saya dengan filsafat dimulai lebih awal, tepat satu tahun sebelum saya membaca novel Jostein Gaarder yang ternama, Dunia Sophie (Mizan, Desember 1996). Di paruh kedua 1996, saya telah membaca beberapa buku filsafat yang relatif berat, seperti Nietzsche (LKiS, Mei 1996) karya St. Sunardi, Postmodernisme (Kanisius, 1996) karya I. Bambang Sugiharto, dan yang lainnya. Akan tetapi, baru setelah saya amat terpikat saat membaca Dunia Sophie, yakni awal 1997, saya merasa mantap untuk mendalami filsafat.

Dengan demikian, Gaarder, yang menulis novelnya dalam bahasa Norwegia, bisa dibilang adalah sosok yang mengantarkan saya ke Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di pertengahan tahun 1997, dan selanjutnya membukakan samudera pemikiran yang begitu luas dari dunia filsafat.

Dengan begitu, saya merasa bahwa mungkin kini saya tengah menyongsong undangan Gaarder untuk sebuah jamuan di taman filsafat di dekat rumahnya. Saya mengharapkan sebuah jamuan musim semi yang indah, di bawah naungan langit utara dengan bintang-bintangnya yang memikat. Saya juga berharap nanti dapat membawa pulang oleh-oleh cerita pengalaman dari sana—pengalaman yang tampaknya terlalu berharga untuk dilewatkan tak tercatatkan begitu saja.

5 komentar:

Bernando J Sujibto mengatakan...

va... diarymu enak banget dibaca...

selamata dan sukses ya... jangan lupa nonton Ajax kalo pas tanding besok2 di belanda

hhee

Bje

Rusa Bawean™ mengatakan...

waduh buku dunia sophie favoritku
keren tuhhh bukunya

Rumput Liar mengatakan...

ceritanya cantik dan unik Ra. Good luck.

lamanday mengatakan...

sukses bro..
ketemu yak kapan2
kasi tau aja alamat kalo dah mapan tempatnya...

aku dah di castellon, spanyol skrg

baroena mengatakan...

mas selamat berjihad menambah ilmu pengetahuan di negara eropa...doain aku suatu hari anati bisa berkunjung ke eropa..amin.