Minggu, 26 Juli 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (2)

Pekan ini saya kembali melanjutkan berbagai persiapan teknis keberangkatan saya. Setelah libur panjang tiga hari yang saya isi dengan kunjungan ke beberapa rekan dan saudara di sekitar Sawangan dan Ciputat, hari Selasa (21/7) saya ke Departemen Luar Negeri untuk mengambil kutipan akta kelahiran yang dilegalisasi. Saya berharap setelah dari Deplu saya bisa langsung memproses aplikasi visa/residence permit saya di Kedutaan Norwegia—syukur-syukur juga ke Kedutaan Belanda.

Berharap demikian, saya berangkat dari Parung lebih awal dan alhamdulillah saya tiba di Deplu sebelum jam sepuluh. Namun sial nasib saya di hari itu. Ternyata dokumen saya belum selesai ditandatangani oleh pejabat berwenang. Beberapa orang yang juga dijanjikan selesai di hari itu juga tampak kecewa karena belum selesai. Oleh petugas, saya dan beberapa orang lainnya diminta untuk menunggu di situ.

Saat menunggu di Deplu, saya tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca-baca buku yang saya bawa. Siang itu suasana di ruang tunggu Deplu cukup ramai, tidak seperti di hari Kamis, saat saya memasukkan dokumen. Saya menunggu lebih dari satu jam. Di saat menunggu itulah, saya kembali bertemu dengan P dan beberapa orang rekannya yang sepertinya sedang membantu melegalisasi dokumen. Di antara orang yang kemudian berbincang dengan P, ada seorang berwajah Arab, berkacamata, dan memiliki jambang yang cukup lebat, yang tampak juga sedang membantu proses legalisasi. Ini saya ketahui ketika dia menerima telepon, dan saya kemudian mendengarkan pembicaraan tentang angka-angka biaya yang sudah dikeluarkan oleh si penerima telepon itu. Saat hendak meninggalkan Deplu, saya sempat berpapasan dengan P, dan dia menyapa sekilas sambil tampak terburu-buru bergegas di hadapan saya menuju pintu keluar.

Ketidaklancaran di Deplu membuat proses selanjutnya tertunda. Dari kawasan Gambir, saya langsung menuju kawasan Mega Kuningan, tepatnya Menara Rajawali, tempat kantor Kedutaan Norwegia. Sayangnya, saat saya sampai di situ jam menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit, sehingga saya tak dilayani oleh petugas bagian visa. Untuk diketahui, di Kedutaan Norwegia dan Belanda (mungkin juga yang lain), urusan konsuler hanya buka hingga pukul dua belas siang.

Selasa siang itu, saya pun keluar dari Menara Rajawali dengan agak kecewa. Karena sudah tak ada agenda penting lain yang bisa saya kerjakan, saya mencoba melihat-lihat lokasi teror bom di sebelah Menara Rajawali, yakni JW Marriott dan Ritz Carlton.

Tampak banyak petugas keamanan berjaga di sana. Garis polisi juga menghalangi akses jalan, sehingga jalur di lingkar Mega Kuningan dialihkan. Dari Menara Rajawali, saya pun harus berjalan memutar ke arah luar Mega Kuningan untuk tiba di depan Ritz Carlton. Tiba di sana, saya melihat lapangan yang telah dijadikan tempat parkir banyak kendaraan yang saya duga milik para pemburu berita dan petugas keamanan. Ada tenda polisi di salah satu sudut lapangan. Di sekitar lokasi peledakan, tampak beberapa wartawan lalu lalang. Di antaranya tampak wartawan televisi sedang melaporkan langsung dari lapangan. Tampak pula beberapa wartawan asing dengan kamera yang cukup besar.

Dengan bermodal kamera HP yang sudah mulai memburuk hasilnya, saya pun mencoba mengambil gambar di sekitar tempat itu dari beberapa sudut.

Saya kembali lagi ke kawasan Kuningan pada hari Rabu (22/7), keesokan harinya. Yang dituju pertama adalah Kedutaan Belanda. Akan tetapi, ternyata pelayanan konsuler di hari Rabu tutup—saya kurang cermat membaca informasi di website Kedutaan Belanda. Saya pun melanjutkan ke Menara Rajawali, Kedutaan Norwegia. Seperti hari sebelumnya, pengamanan di Menara Rajawali yang juga menjadi kantor beberapa kedutaan itu tampak lebih ketat dibandingkan dengan kunjungan saya sebelumnya sebelum terjadi bom di hari Jum'at. Setiap pengunjung masih diperiksa petugas, termasuk warga negara asing.

Alhamdulillah, urusan aplikasi visa/residence permit di Kedutaan Norwegia berlangsung lancar. Saya juga tak perlu mengeluarkan biaya (hampir dua juta rupiah) untuk itu, karena saya membawa surat pengantar (rekomendasi) dari Uni Eropa. Setelah dokumen-dokumen diperiksa dan dinyatakan tak ada masalah, saya tinggal menunggu informasi selanjutnya dari Kedutaan. Sekitar pukul sebelas siang, saya meninggalkan Menara Rajawali.

Hari Kamis saya kembali ke Kedutaan Belanda untuk memproses legalisasi akta kelahiran yang sudah diproses di Dephukham dan Deplu. Ini dia yang membedakan dengan Norwegia. Untuk proses di Kedutaan Norwegia, setelah dilegalisasi di dua Departemen itu, dokumen bisa langsung digunakan untuk proses izin tinggal di Norwegia. Sedang untuk Belanda, prosesnya masih bertambah lagi. Setelah dilegalisasi di dua Departemen, kutipan akta kelahiran saya masih harus dilegalisasi di Kedutaan Belanda. Jadi, hari Kamis (23/7) saya memasukkan akta kelahiran saya. Biaya legalisasi di Kedutaan Belanda Rp. 367.000,- per dokumen.

Dokumen yang dilegalisasi itu saya ambil hari Jum'at (24/7) keesokan harinya. Namun, sebelum ke Kedutaan Belanda, saya mampir dulu ke Bank BCA Mampang untuk mentransfer biaya MVV visa Belanda. Meski saya sudah menanyakan informasi dan memastikan segala sesuatunya ke pihak BCA sehari sebelumnya, ternyata proses transfer masih agak ribet dan cukup memakan waktu. Baru setelah itu saya meluncur ke Kuningan untuk mengambil akta kelahiran yang sudah dilegalisasi.

Setelah akta kelahiran saya dapatkan, dari Kedutaan Belanda saya langsung melanjutkan proses berikutnya: menerjemahkan akta kelahiran saya di penerjemah tersumpah (sworn translator)—Kedutaan Norwegia tak mensyaratkan proses penerjemahan ini karena kutipan akta kelahiran saya yang baru sudah bilingual. Dari milis, saya mendapatkan informasi jasa penerjemah yang biasa digunakan oleh para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda. Penerjemah ini bernama Ediati Kamil yang beralamat di Jalan Saharjo 39 di kawasan Manggarai.

Alhamdulillah prosesnya berjalan cukup lancar. Saya tidak terlalu kesulitan untuk menemukan rumah si penerjemah ini, meski harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Sebelum Jum'atan, saya sudah di bus kota menuju Mampang untuk mampir di INFID (shalat Jum'at).

Pekan kedua di Jakarta ini tampak lebih padat daripada pekan sebelumnya. Di sela berbagai persiapan itu, saya bersyukur bisa sekalian juga beraktivitas yang lain, seperti berkunjung ke teman dan saudara di sekitar Jakarta.

Jika semua berjalan lancar, pekan depan adalah pekan terakhir saya di Jakarta. Selain sedikit urusan di Kedutaan Belanda (melanjutkan proses legalisasi akta kelahiran), pekan depan akan ada dua pertemuan pre-departure, yakni yang diselenggarakan oleh Uni Eropa dan Kedutaan Belanda. Di dua acara itu, saya akan berjumpa dengan rekan-rekan yang lain, baik sesama penerima Erasmus Mundus Scholarship 2009 maupun para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda.

Tulisan terkait:
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (1)
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas, kutipan akte lahir yang bilingual apakah memang harus diterjemahkan lagi supaya bisa dilegalisasi di Kedubes Belanda? Berarti urusan ke Kedubes Belanda jadi 2 kali ya? Terima kasih sebelumnya ya.

M Mushthafa mengatakan...

Punya saya bilingual, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Urusan legalisasi memang tidak cukup sekali ke Kedubes Belanda. Pas di Utrecht, tampaknya ada teman yang ga pake legalisasi seperti ini, dan oke2 saja. Cuma memang lebih aman diproses (dilegalisasi).

Anonim mengatakan...

Mas kl penerjemah tersumpah utk dokumen dr bahasa norwegia ke bhs indonesia dmn ya. Mksh sebelumnya