Rabu, 31 Desember 2008

Perempuan Pesantren dan Sastra Islam


Setiap komunitas masyarakat tak bisa melarikan diri dari perubahan. Demikian pula pesantren. Jika dahulu pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja, yakni seberapa banyak pesantren mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam komunitasnya.
Perempuan adalah bagian dari komunitas pesantren yang juga terlibat dalam proses perubahan tersebut. Jika diasumsikan bahwa ruang gerak perempuan di pesantren relatif lebih kurang leluasa dibandingkan laki-laki, maka saat ini ruang gerak tersebut semakin lega. Perempuan pesantren tak hanya bergerak di sektor privat saja. Banyak penelitian yang mencatat peran perempuan pesantren di ranah yang lebih luas.1
Dalam situasi seperti itu, kita dapat menyaksikan berbagai dampak yang dirasakan kaum perempuan pesantren. Arus perjumpaan dan interaksi mereka dengan dunia luar yang semakin intens menghasilkan dinamika yang beragam. Tulisan ini ingin mencoba melihat secara lebih dekat salah satu segi dinamika tersebut, yakni interaksi perempuan pesantren dengan dunia kesusastraan.

Sastra dalam Komunitas Pesantren
Sastra adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren. Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Keunikan itu berakar pada tradisi bersastra dalam masyarakat Arab yang kemudian dirawat dalam komunitas pesantren.
Di pesantren, ilmu-ilmu keagamaan tradisional pada khususnya dipelajari dengan media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi. Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren. Berbagai disiplin keilmuan keagamaan, mulai dari tawhid, fikih, tafsir, hadis, tata bahasa Arab, dan yang lainnya, semuanya pasti memiliki rujukan kitab yang ditulis dengan gaya syi’ir atau nazham.2
Dalam komunitas pesantren, ada satu kitab yang paling masyhur yang disebut Alfiyah karya Ibnu Malik dari Andalusia, yang memuat seribu bait puisi tentang ilmu tata bahasa Arab. Di pesantren-pesantren tradisional atau pesantren yang masih mempertahankan teks utuh kitab Alfiyah tersebut sebagai bahan ajar, tak jarang ditemukan santri yang menghafalkan larik-larik di dalamnya. Bahkan, seringkali penguasaan kitab tersebut di luar kepala dijadikan sebagai ukuran kealiman seorang santri atau juga menjadi bentuk kebanggaan diri.
Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat. Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.3
Meski tidak dengan upaya yang cukup kuat, padu, dan sistematis, tradisi syair di pesantren ini terus dipertahankan oleh komunitasnya. Beberapa ulama lokal hingga kini masih aktif menulis materi-materi keilmuan keagamaan dengan gaya nazham. Di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep (Madura), K.H. Moh. Mahfoudh Husainy menulis Manzhûmat al-Nuqâyah, yakni nazham untuk kitab Itmâm al-Dirâyah li Qurrâ’ al-Nuqâyah karya Jalâluddîn ‘Abdurrahmân al-Suyûthî—kitab yang menjadi muasal penamaan pesantren yang berdiri pada tahun 1887 ini. Kitab al-Nuqâyah ini merupakan sebuah kitab tipis yang memuat 14 cabang ilmu meliputi berbagai disiplin, mulai dari ushuluddin, ilmu tafsir, ilmu hadis, hingga anatomi, kedokteran, dan tasawuf. Hingga akhir 2003, beliau telah menuliskan hampir 1400-an larik, dan tersisa 3 disiplin ilmu lagi yang belum diselesaikan. Pada tahun 2006, dalam perbincangan pribadi dengan penulis, beliau mengatakan bahwa sebenarnya ketiga disiplin ilmu tersebut sudah ditulis, tapi naskahnya tak ditemukan setelah di-tashhîh kepada salah seorang ulama terkemuka di Madura. Sayangnya, semenjak itu, beliau sendiri tidak bisa melacak langsung sisa naskah tersebut karena kondisi kesehatan beliau yang menurun.
Dalam bentuk yang lebih sederhana, tradisi syiir ini kemudian menguat pula dalam bentuk ekspresi bahasa daerah. Di Madura, banyak sekali orator yang menggunakan syiir sebagai wahana menyampaikan pesan moral keagamaan.

“Sastra Pesantren” dan “Sastra Islam”
Tradisi kesusastraan dalam bentuk puisi (nazham) baik dalam rangka transmisi keilmuan dan ritual keagamaan di pesantren masih terus bertahan hingga saat ini. Namun demikian, seiring dengan perubahan sosial, belakangan ini muncul istilah “sastra pesantren” di dunia kesusastraan Indonesia. Hingga saat ini, istilah tersebut memang masih belum memiliki acuan yang baku dan ketat. Jamal D. Rahman mencatat bahwa paling tidak ada tiga pengertian dari istilah tersebut: pertama, sastra yang hidup di pesantren, antara lain seperti disinggung di atas; kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang pesantren (kiai, santri, alumni); dan ketiga, sastra yang bertema pesantren, seperti karya Djamil Suherman, dan sebagainya. 4
Pengertian kedua dan ketiga dari definisi sastra pesantren tersebut di atas dapat kita lihat sebagai fenomena mutakhir perjumpaan sastra dengan dunia pesantren. Sastra pesantren dalam dua pengertian tersebut merupakan produk perubahan zaman, ketika pesantren berinteraksi semakin luas dengan dunia luar, saat pesantren tak lagi hanya menggunakan aksara Arab pegon, tapi mulai intens masuk dan berkreasi dengan dunia aksara/sastra Indonesia, ketika industri perbukuan juga merambah ke segmen pesantren (juga karena keterlibatan orang-orang pesantren dengan dunia penerbitan profesional, khususnya kesusastraan). Dari kedua pengertian tersebut, muncullah banyak nama, mulai dari K.H. A. Mustofa Bisri, H.D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Hamdi Salad, Abidah El-Khalieqy, dan sebagainya.
Contoh paling mutakhir dari sastra pesantren adalah penerbitan novel-novel populer remaja oleh Matapena, salah satu divisi penerbitan LKiS Yogyakarta, sebuah lembaga penerbitan yang dikelola oleh anak-anak muda NU—yakni, berlatar pesantren. Di tengah booming novel-novel populer remaja, kehadiran novel-novel Matapena mempertegas kehadiran sastra pesantren dalam dua pengertian terakhir sebagaimana disebut di atas.
Pembicaraan tentang sastra pesantren dalam perkembangan kesusastraan Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dengan apa yang belakangan muncul dan disebut sebagai sastra Islam atau sastra islami. Seperti halnya sastra pesantren, definisi sastra Islam masih tak cukup terang benderang.
Sastra Islam atau sastra islami kadang dipersamakan maknanya dengan sastra religius. Secara khusus, label sastra Islam atau sastra islami ini tak bisa dilepaskan dari Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah komunitas penulis yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa pada 1997, karena dari komunitas inilah karya berlabel sastra Islam banyak muncul. Helvy, alumnus Fakultas Sastra UI yang telah menulis puluhan karya fiksi, mendefinisikan sastra Islam sebagai “sastra ketakterhinggaan yang berusaha mencerahkan diri sendiri, orang lain, dan membawa menuju jalan beribadah kepada Allah”.5 Di tempat yang lain, dijelaskan bahwa Helvy memberi gambaran seperti berikut ini:
…sebuah puisi, cerpen, atau novel Islam tidak akan melalaikan pembacanya dari dzikrullah. Ada unsur ammar ma'ruf nahyi mungkar dengan tanpa menggurui. Selain itu karya sastra Islam tidak akan mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun.6
Kehadiran genre sastra Islam ini sebenarnya lebih awal daripada populernya sastra pesantren yang disinggung tadi. Jika Matapena lahir pada tahun 2005, maka fiksi-fiksi Islam ini bisa dikatakan secara khusus menjadi semakin populer sejak tahun 2000. Novel Aisyah Putri (2000) karya Asma Nadia mungkin bisa disebut sebagai salah satu karya yang populer. Buku fiksi Islam ini mengalami masa puncak kejayaannya sepanjang 2004-2005. Salah satu tonggaknya adalah novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Di sepanjang tahun 2005, novel yang terbit di penghujung 2004 ini cetak ulang sebanyak sembilan kali. Di awal 2008, saat diangkat ke layar lebar, novel ini tembus hingga cetakan ke-36 dan terjual lebih dari 500 ribu eksemplar.7
Sukses di pasaran yang diraih novel-novel berlabel sastra Islam atau sastra islami ini pada gilirannya memicu lahirnya polemik-polemik di media massa tentang karya-karya jenis ini. Pro kontra muncul. Muhidin M. Dahlan menyebutkan bahwa sisi positif dari pelabelan ini adalah adanya ikatan emosi antarkomunitas Islam karena mampu memberi penanda identitas yang jelas dan tuntas. Di sisi yang lain, ada kesadaran bahwa ini adalah bagian dari gerakan dakwah. Sedang sisi negatifnya, pelabelan ini dapat berpotensi meminggirkan karya-karya lain yang mengangkat isu kemanusiaan, keadilan, dan semacamnya (yang merupakan elemen substantif agama), sebagai karya yang bukan sastra bernapaskan Islam.8
Yang menarik untuk dicermati lebih mendalam sebenarnya berkaitan dengan muatan nilai dan bahkan mungkin muatan ideologis yang berada di balik debat label sastra Islam tersebut. Hal ini menjadi penting dibicarakan secara lebih mendalam karena faktanya buku-buku fiksi berlabel sastra Islam atau sastra islami inilah yang justru banyak diminati oleh kaum (santri) perempuan di pesantren dan menjadi bacaan mereka sehari-hari (paling tidak dalam hampir satu dekade terakhir), jauh sebelum munculnya sastra pesantren ala Matapena. Tentu saja, sebelum muncul apa yang disebut sastra Islam, orang-orang pesantren juga membaca karya-karya sastra Indonesia pada umumnya, dengan intensitas perjumpaan yang beragam.

Muatan Nilai dan Ideologi
Di akhir April 2008 yang lalu, saat Koran Tempo mengangkat ulasan cukup panjang bertema fiksi Islam di suplemen Ruang Baca-nya, Jonru, salah seorang penulis dan pengelola Sekolah Menulis Online yang dikutip di reportase tersebut, memposting sebuah tulisan di blognya dengan judul yang cukup menarik: “Beginilah Cara Koran Tempo Menyerang Sastra Islam”. Dari judulnya saja pembaca sudah dapat menduga nuansa yang cukup panas dari tulisan tersebut. Sebagai semacam kesimpulan, dalam tulisan itu, Jonru memberikan catatan:
Koran Tempo SEPERTINYA sedang membuat sebuah skenario besar untuk melawan sastra Islam. Untuk itu, mereka membutuhkan ucapan seorang tokoh yang akan melakukan penyerangan secara langsung. Mereka mungkin mempertimbangkan nama Ayu Utami atau Sapardi Joko Damono atau nama-nama sastrawan lain yang selama ini berseberangan secara aliran dan ideologi dengan Sastra Islam.
Tapi secara jurnalistik, isu “Ayu Utami menyerang Sastra Islam”(misalnya) sama sekali tidak menarik.
Karena itu, Koran Tempo mungkin mencoba mencari jalan yang lebih “cerdik”. Maka profil seperti berikut ini tentu amat menarik bagi mereka:
Seorang penulis yang selama ini sering berkomentar kritis seputar karya-karya Sastra Islam, kebetulan dia adalah ORANG DALAM Forum Lingkar Pena (sebuah organisasi penulis yang giat memperjuangkan keberadaan sastra Islam), dan ia berpotensi besar untuk diperlakukan seperti tokoh Silas pada novel The Da Vinci Code.
“Hm… ini adalah tokoh yang paling tepat untuk kita manfaatkan dalam menyerang Sastra Islam. Ayo lakukan! Tentu SANGAT MENARIK bila Sastra Islam diserang oleh sesama pegiat Sastra Islam sendiri. INI BARU BERITA!!!” 9
Membaca teks komentar ini, kita dapat merasakan suasana yang terbangun di dalamnya: atmosfer ideologis yang cukup panas. Seakan-akan sastra Islam telah dipojokkan dan duduk di kursi pesakitan tanpa sebuah forum pengadilan yang imbang—dan ada sebuah konspirasi di balik itu.
Seperti disinggung di atas, popularitas istilah sastra Islam ini tak dapat dipisahkan dengan FLP. Bila diamati secara lebih dekat, komunitas FLP itu sendiri—yang menurut Wikipedia kini beranggotakan sekitar 5000 orang dan memiliki cabang di hampir 30 propinsi, termasuk beberapa di luar negeri—sepertinya tidak memiliki pemahaman yang persis sama tentang apa itu sastra Islam. Kalaupun arus utama ideologi mereka dapat digambarkan seperti dari kutipan penjelasan Helvy di atas, anggota komunitas mereka yang begitu beragam itu mungkin memiliki spektrum ideologis yang merentang cukup lebar.
Jonru, misalnya, di milis pasarbuku tak ragu untuk menyebut Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai sastra Islam. Jonru tak mau terjebak pada simbol-simbol, bahwa yang disebut sastra Islam hanyalah sastra yang mengadopsi simbol-simbol Islam. Jika dihadapkan dengan penjelasan Helvy di atas, bahwa “sastra Islam tidak akan mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan”, Jonru memberi toleransi atas penggalan cerita yang mengisahkan hubungan cinta monyet” antara Ikal dan A Ling dalam Laskar Pelangi. Di situ Jonru menulis bahwa “dalam konteks kemanusiaan, hal-hal seperti ini sangat manusiawi dan hampir semua orang pernah mengalaminya, terutama ketika kita masih berada di usia pancaroba atau pubertas.”10
Dalam konteks ini, tampaklah bahwa salah satu norma penting dalam kategori sastra Islam atau sastra islami adalah bahwa ia menolak ekspos seksualitas yang vulgar dalam karya sastra. Dan, bagi Jonru, penggambaran hubungan Ikan dengan A Ling masih cukup wajar dan bisa dimaafkan. Di titik inilah, sastra Islam kemudian tampak terlibat masuk ke dalam perdebatan soal moralitas dalam sastra, yang di antaranya pernah cukup ramai dimuat di berbagai media massa.
Topik Mulyana, pegiat FLP Bandung dan editor Penerbit Syaamil Cipta Media, menegaskan bahwa FLP melawan karya-karya serupa chiklit dan teenlit. Novel-novel semacam itu perlu "dilawan" karena dipandang memuat nilai-nilai yang dianggap merusak akhlak, seperti hedonisme dan sekularisme. Dalam kemasan populer, FLP tampil sebagai chiklit dan teenlit yang menawarkan nilai-nilai Islam.11 Nah, salah satu simbol hedonisme dan sekularisme itu adalah masalah seksualitas.
Dengan ilustrasi singkat di atas, sampai di sini kita dapat memiliki gambaran bahwa perempuan pesantren yang faktanya memang banyak membaca karya-karya yang disebut sastra Islam atau sastra islami itu, disadari atau tidak, sebenarnya tengah terlibat dalam sebuah arus perdebatan ideologis yang sarat dengan muatan nilai dan kecenderungan penafsiran keagamaan tertentu.
Problem yang banyak disorot atas genre sastra Islam adalah kecenderungan penggunaan simbol yang berlebihan sehingga ia kadang terjatuh pada pola keagamaan yang formalistik. Kalangan pendukung sastra Islam sendiri mengakui kecenderungan semacam ini—keterjebakan pada simbol-simbol. Benny Rhamdani, Manajer Redaksi Anak dan Remaja Mizan, menyebutkan banyaknya novel yang sekadar mengutip ayat-ayat suci Alquran, atau penggunaan salam dan ungkapan-ungkapan simbol Islam yang lain, sehingga label Islam hanya menjadi tempelan.12 Meskipun begitu, dari sikap Jonru atas Laskar Pelangi tersebut di atas tampak bahwa komposisi simbol dan substansi ini dalam karya sastra Islam dalam pikiran komunitas pegiat sastra Islam sendiri masih menjadi wilayah yang terbuka untuk didiskusikan.
Sampai di sini, kita akan kembali ke titik awal, tentang bagaimana sastra Islam, sastra islami, termasuk juga sastra pesantren, dimaknai dan diperdebatkan. Jika kita telah membaca beberapa uraian tentang hal itu dari kelompok yang secara khusus banyak bergiat di sastra Islam, yang diwakili oleh forum FLP, maka ada baiknya kita juga mengemukakan suara-suara dari pesantren. Ahmad Tohari, misalnya, mengemukakan bahwa sastra pesantren adalah pengejawantahan mâ’ dalam ayat lillâhi mâ fissamâwâti wa mâ fil ardh dan dikemas dengan kualitas sastra yang horison yang lalu membinarkan kekuasan Tuhan atas mâ’ di langit dan bumi. Dalam pengertian ini, Islam muncul sebagai nilai yang universal dan melampaui simbol. Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”.13
Suara Ahmad Tohari ini jelas menunjukkan visi yang amat terbuka tentang apa itu sastra pesantren. Dia jelas memberi titik tekan yang substantif, bukan simbolis. Setali tiga uang dengan Tohari, Abdurrahman Wahid dalam sebuah wawancaranya memaparkan bahwa sastra Islam itu merupakan bagian dari peradaban Islam. Ia memiliki watak eklektik: mampu menyerap secara terbuka hal-hal yang berasal dari kebudayaan lain. Gus Dur menyebutkan contoh Kitabulhayawân karya al-Zais yang merupakan kumpulan fabel yang banyak mengambil unsur dari peradaban Yunani, Romawi, India. Karena mampu menyerap, maka sastra Islam bukan hanya milik orang Islam, tapi juga milik orang lain yang hidup dalam masyarakat Islam. Sastra Islam menjadi bagian dari humanisme universal, karena peradaban Islam adalah peradaban yang mampu mengayomi semua orang.14
Meski memang masih membutuhkan pengamatan yang lebih mendalam, sampai di sini dapat disimpulkan bahwa nilai dan muatan ideologi dalam sastra Islam maupun sastra pesantren salah satunya sangat terkait dengan dialektika materi dan bentuk, atau substansi dan kemasan, yang ada dalam karya-karya itu. Sementara di satu sisi ada yang lebih menekankan pada nilai substantif yang diusung karya-karya itu serta watak inklusif yang mendunia, di sisi lain ada yang justru memberi tekanan yang lebih pada nilai-nilai Islam formal—dengan takaran yang masih beragam.

Perempuan dan “Sastra Pesantren”/”Sastra Islam”
Secara lebih khusus, kita dapat mengamati lebih dekat, bagaimana perempuan masuk dalam ruang diskursus sastra Islam atau sastra pesantren. Pada titik awal dapat dikemukakan bahwa perempuan dalam konteks ini menjadi stakeholder yang cukup menarik dan penting. Jika kita melihat FLP sebagai pemain penting di wilayah sastra Islam, maka informasi yang menjelaskan bahwa 70% anggota FLP adalah perempuan akan dapat menjelaskan makna signifikansi perempuan dalam sastra Islam. Jadi, tak heran bila karya-karya sastra Islam cukup banyak bertutur tentang tema-tema perempuan. Karya semacam inilah yang banyak diapresiasi oleh kaum perempuan di pesantren. Di samping itu, media-media yang serumpun dengan FLP juga banyak dikonsumsi oleh perempuan pesantren, seperti Majalah Annida (Helvy aktif sebagai redaktur dan pemimpin redaksi pada 1991-2001) dan Majalah Ummi, yang memang dikhususkan pada segmen pembaca perempuan.15
Nah, dengan proporsi partisipasi perempuan yang cukup besar di wilayah tersebut, bagaimanakah perempuan digambarkan dalam sastra Islam atau sastra pesantren? Yang menarik, pengamatan selintas penulis menemukan bahwa ada nuansa yang cukup berbeda tentang bagaimana perempuan diceritakan antara dalam sastra Islam dan sastra pesantren. Di sini kita dapat mengangkat contoh dua novel karya Abidah El-Khalieqy, yakni Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2004).
Jika kita sepakat dengan asumsi bahwa sastra pesantren sewajarnya menjadi bagian dari khazanah sastra Islam, kita akan dihadapkan dengan kenyataan bahwa Geni Jora ternyata tak disinggung secara cukup mendalam pada pembicaraan-pembicaraan bertajuk sastra Islam.16 Ia kalah fenomenal dengan Ayat-Ayat Cinta. Tak hanya itu, jika Kang Abik—nama akrab Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta—begitu dikenal oleh banyak perempuan pesantren, setidaknya sejauh pengamatan penulis di beberapa komplek pesantren, mengapa Abidah, yang jelas-jelas berlatar pendidikan pesantren, kalah populer di dunia pesantren? Ataukah ini cukup terkait dengan fakta bahwa basis massa pendukung sastra Islam kebanyakan berasal dari muslim kelas menengah perkotaan, dan mereka punya media yang ampuh untuk melakukan penetrasi ke kelompok masyarakat lainnya, termasuk perempuan di pesantren? Ataukah ini semata terkait dengan strategi pemasaran (sosial-ekonomi), atau juga terkait dengan aspek nilai dan ideologi?
Jelaslah bahwa sosok perempuan yang digambarkan Abidah dalam kedua novelnya itu sungguh berbeda, bahkan mungkin berseberangan, dengan perempuan dalam novel-novel berlabel sastra Islam itu. Perempuan dalam karya Abidah adalah perempuan dengan semangat pembebasan—pembebasan dari patriarki. Dalam Perempuan Berkalung Sorban, Abidah bercerita tentang Anissa, seorang perempuan pesantren, dan ketersudutannya di antara doktrin misoginis agama di pesantren. Sementara Geni Jora berkisah tentang Kejora yang terpasung dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Kedua karya ini dapat dibilang cukup subversif dan, sebagaimana Maman S. Mahayana mengomentari Geni Jora di Koran Tempo, seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam Islam. Citra ideal sosok muslimah dalam novel Abidah memuat semangat pembebasan—bahkan mungkin juga perlawanan.
Bandingkanlah gambaran perempuan semacam ini dengan perempuan dalam Ayat-Ayat Cinta atau novel berlabel sastra Islam lainnya. Salah satu yang cukup tampak dan agak vulgar dalam novel best-seller itu adalah sikapnya terhadap poligami. Jelaslah bahwa novel semacam Ayat-Ayat Cinta tampak seperti tidak secara mendalam mengeksplorasi lebih jauh problem psikologis perempuan dalam lembaga keluarga atau pernikahan atau lingkungan sosial pada umumnya. Yang lebih banyak tergambar adalah citraan-citraan ideal—dalam hal Ayat-Ayat Cinta mungkin lebih tepat dikatakan bahwa yang menjadi fokus adalah citra pemuda muslim ideal. Jadinya, novel semacam itu seperti kurang mampu mengangkat realitas-realitas sosial-keagamaan di masyarakat yang masih bermasalah—termasuk juga yang menyangkut perempuan.
Dalam masalah poligami, pembaca Ayat-Ayat Cinta akan cukup mudah untuk menyimpulkan bahwa alur cerita yang disajikan tampak begitu ingin memberikan pembenaran atas pilihan tindakan Fahri untuk berpoligami dengan menikahi Maria. Nyaris seperti sebuah rekayasa. Maria yang sakit keras dan sekarat, yang benar-benar mengharap Fahri, dan juga Aisyah yang begitu ikhlas. Pilihan poligami Fahri seperti menjadi satu keharusan, karena di situ tersirat tujuan untuk menyelamatkan hidup Maria.
Ayat-Ayat Cinta—yang di sampul bukunya diberi keterangan sebagai “novel pembangun jiwa”—bukan satu-satunya novel berlabel sastra Islam yang bersikap demikian. Novel Asma Nadia berjudul Istana Kedua (2007) secara khusus juga mengangkat tema masalah poligami. Alur yang dibuatnya pun nyaris tak berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta, yakni dalam konteks kecenderungan untuk memberikan justifikasi atas pilihan poligami tokoh utamanya, Pras, atas seorang perempuan bernama Mei. Mei yang mualaf, Mei yang tak punya siapa-siapa, Mei yang memilukan, seperti ingin mengarahkan pembaca untuk berkesimpulan bahwa kasus poligami Pras adalah “aturan main yang ditetapkan Tuhan”, atau sebuah “takdir”. Kesimpulan ini yang cukup menguat, meski—berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta—Asma Nadia dalam novel ini juga mampu menghadirkan pergulatan psikologis perempuan menghadapi masalah poligami. Bahkan, Asma menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang alasan laki-laki berpoligami, dengan merujuk kepada teladan kehidupan Nabi.17
Dari gambaran ini, sepertinya cukup mudah dipahami mengapa karya yang terbilang sebagai sastra pesantren sampai sekarang masih belum sepenuhnya bisa menyatu dalam wacana sastra Islam. Memang, batas-batas kedua kelompok ini sulit dijelaskan secara cukup gamblang—bahwa keduanya memiliki paradigma yang jelas berseberangan. Di lapangan, beberapa penulis fiksi yang berasal dari pesantren tradisional bergabung dengan komunitas FLP. Di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep (Madura) misalnya, sejak tahun 2000 berdiri komunitas FLP yang memiliki anggota sekitar 50 orang—semuanya perempuan. Akan tetapi, di antara anggota komunitas FLP di sana, kadang muncul “suara lain” yang sepertinya akan terkesan aneh untuk dikatakan bahwa suara seperti itu lahir dari anggota FLP.
Hanna al-Ithriyah, misalnya, seorang penulis fiksi dari komunitas FLP Annuqayah, pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul My Valentine (2006) di Penerbit Gema Insani Press. Dia menuturkan bahwa ada salah satu cerpennya yang terelimenasi dari antologi tersebut. Cerpen yang dimaksud berjudul “Senja di Notredame”. Cerpen itu berkisah tentang persahabatan dua orang perempuan di Perancis yang sama-sama bergiat di pergerakan yang memperjuangkan kebebasan untuk memakai atribut-atribut keagamaan. Dua perempuan itu berbeda iman—salah satunya muslim. Ada nuansa toleransi dalam persahabatan dua orang ini yang digambarkan Hanna. Menurut Hanna, penerbit tidak memuat cerpen ini dalam kumpulan cerpennya karena khawatir menyinggung masalah SARA.
Apakah dari kasus ini kita dapat menambahkan bahwa nilai lain yang dibawa oleh sastra Islam terkait dengan pemaknaan tertentu tentang makna toleransi—dan itu cukup berbeda dengan pandangan orang semacam Tohari atau Gus Dur atau orang-orang pesantren pada umumnya? Ini, sekali lagi, masih membutuhkan pengamatan yang lebih serius.

Perempuan Pesantren sebagai Subjek: Catatan Penutup
Dari beberapa uraian singkat di atas, ada beberapa catatan yang penting digarisbawahi berkaitan dengan perjumpaan perempuan pesantren dengan karya-karya sastra Indonesia kontemporer, terutama yang berlabel sastra Islam, sastra islami, atau sastra pesantren. Pertama, bahwa ternyata selama ini pesantren, terutama pesantren-pesantren tradisional, kurang memberi perhatian terhadap muatan-muatan ideologis yang terdapat dalam karya-karya fiksi semacam itu. Padahal, dari uraian singkat di atas, tampaklah bahwa nilai-nilai dan muatan ideologis dalam karya-karya tersebut memiliki nuansa yang berbeda, bahkan bisa cukup bertolak belakang. Lebih dari itu, akar komunitas pendukung utama kelompok sastra Islam relatif berbeda dengan komunitas sastra pesantren. Apalagi jika dikaitkan dengan semacam gosip yang menghubung-hubungkan FLP dengan Partai Keadilan Sejahtera. Meski rumor ini ditampik secara tegas oleh orang-orang FLP, fakta yang sulit dibantah adalah bahwa banyak anggota komunitas FLP, terutama di kota-kota besar, yang berasal dari para aktivis dakwah kampus yang memang merupakan salah satu basis massa partai tersebut.
Para pengelola pesantren hingga sejauh ini tampak kurang begitu menyadari makna dan signifikansi arus perdebatan tersebut, termasuk konteks politik kebudayaan yang mungkin menjadi latarnya, dan menganggap bahwa itu hanyalah sekadar perdebatan antara kelompok muslim yang mendukung moral-moral agama dan kelompok sekuler yang anti moralitas agama. Saat berbincang dengan beberapa alumni pesantren, terutama dari komplek perempuan, penulis mendapatkan informasi bahwa di banyak pesantren yang muncul adalah aturan soal larangan membaca novel-novel remaja selain yang berlabel novel islami. Semua karya berlabel sastra islami dipandang memiliki muatan nilai yang tak berbeda dan tak memiliki problem nilai atau ideologi tertentu.
Pada titik ini, komunitas pesantren pada umumnya terkesan tampak sebagai konsumen yang tidak kritis. Akan tetapi, sebenarnya, jika kita mengamati lebih mendalam, muncul hipotesis bahwa cara konsumsi komunitas pesantren terhadap produk budaya yang seperti itu tak hanya terjadi pada karya sastra, yakni sastra Islam, tetapi juga pada produk budaya lainnya. Di bidang kesenian, misalnya, saat ini pesantren yang notabene kebanyakan berbasis masyarakat tradisional mulai lebih banyak mengadopsi atau mengadaptasi kesenian yang berbasis masyarakat perkotaan. Jika kesenian lokal pada umumnya kadang diberi label-label yang kurang baik (secara keagamaan), maka komunitas pesantren terkesan lebih mudah menoleransi kesenian baru dari kota—semacam lagu-lagu nasyid, misalnya. Hal serupa juga tampak dalam cara komunitas pesantren mengonsumsi kebutuhan sehari-hari, model pakaian, dan juga “idola”. Apakah ini berarti komunitas pesantren larut dalam budaya massa, atau, katakanlah, kultur monolitik peradaban modern?
Dalam wilayah yang lebih luas, pembicaraan mengenai kaum perempuan dan sastra Islam dapat mengantarkan pada agenda penguatan orang-orang pesantren untuk bermain lebih aktif dalam dunia kesusastraan. Pesantren juga harus menjadi subjek penting dalam menyuarakan karakter kultural dan pandangan dunia kesusastraannya. Pesantren memberikan warna baru yang berbeda dalam dunia kesusastraan Indonesia dengan karya-karya yang lebih mengakar.
Jamal D. Rahman dalam salah satu tulisannya memaparkan tentang salah satu aspek penting dari karakter sastra pada umumnya dalam kaitannya dengan pesantren. Bahwa sastra itu membebaskan manusia dari kejumudan dan kecupetan perasaan, mempertajam kepekaan hati dan perasaan, dan sebagainya, yang kesemuanya itu—dalam kaitannya dengan penghayatan keagamaan—dapat mengontrol kecenderungan destruktif, yang mungkin muncul dari amarah akibat perasaan tertekan, psikologi kekalahan, dan ketakberdayaan menghadapi hal yang sangat tak diinginkan.18 Ekspresi teduh dan sejuk dari model penghayatan keagamaan semacam inilah yang penting untuk dipromosikan oleh karya sastra pesantren.
Sampai saat ini, harus diakui bahwa orang-orang di pesantren, termasuk juga kaum perempuan pesantren, masih belum bisa menjadi subjek yang signifikan dalam sastra Islam dan kesusastraan pada umumnya. Selain mungkin faktor yang bisa terkait dengan politik kebudayaan, harus diakui bahwa secara intrinsik karya-karya sastra dari pesantren masih belum cukup mampu untuk menggambarkan realitas dan pengalaman yang unik dan sangat kaya di dunia pesantren—termasuk, secara khusus, dunia perempuan. Salah seorang kritikus sastra, Faruk HT, mencatat bahwa sastra pesantren yang ada cenderung “menampilkan dunia pesantren sebagai latar, tanpa deskripsi yang rinci dan hidup, dan menjelmakan nilai keislaman secara formalistik serupa khotbah. Selain itu, juga cenderung minim realitas kejiwaan dan teknik berceritanya konvensionil. Akibatnya, dunia santri dan pesantren dalam karya sastra hadir tak utuh dan tanpa gema.”19
Kita belum menemukan suara yang khas pesantren, yang dapat memberikan gambaran subtil kehidupan pesantren yang khas, dengan nilai-nilai seperti yang digambarkan oleh Jamal D. Rahman di atas—Islam yang sejuk dan damai. Kita masih menunggu karya-karya semacam itu. Karya yang, baik dari kemasan maupun substansi, mirip karya-karya Orhan Pamuk yang mampu memberikan gambaran muram kehidupan di Turki, atau misalnya Istambul secara khusus, di tengah peralihan sosio-kultural masyarakatnya. Jika masyarakat dunia menjadi lebih kenal dengan Turki melalui karya-karya Pamuk, maka orang-orang pesantren mestinya menjadi orang pertama yang paling berhak dan paling tepat memperkenalkan kehidupan dan nilai-nilai pesantren kepada dunia.
Secara khusus, bagi perempuan proyek kebudayaan semacam ini memberi peluang kepada mereka untuk dapat terlibat secara lebih intens dengan dunia luar, baik itu dalam konteks pengembangan literasi atau kontribusi sosio-kultural yang lain—tak hanya menjadi objek yang mengonsumsi produk budaya lainnya.
Wallahualam.


Catatan:
1.       Di antaranya seperti yang terdokumentasikan dalam penelitian yang dikoordinasikan oleh PPIM IAIN Jakarta, yakni dalam Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2002.
2.       M. Faizi, “Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren”, Jurnal ‘Anil Islam, LP2M STIK Annuqayah Sumenep, Nomor 1, Volume 1, 2008, hlm. 115-118.
3.       Lihat, Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw. dalam Islam, penerjemah: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, Cet. VIII, September 2001, hlm. 239-287.
4.       Tulisan Jamal D. Rahman dalam weblog pribadinya berjudul “Sastra, Pesantren, dan Radikalisme Islam”, URL: http://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/, diakses pada 30 November 2008.
5.       Efri Ritonga, “Sastra yang Menuju Tuhan”, Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008, URL: http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwOA==&dokm=MDQ=&dokd=Mjg=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=Njcw, diakses pada 30 November 2008.
6.       Muhidin M. Dahlan, “Mengapa ‘Kita’ Menolak Sastra (Berlabel) Islam”, URL: http://akubuku.blogspot.com/2007/04/mengapa-kita-menolak-sastra-berlabel.html, diakses pada 30 November 2008.
7.       Paparan tentang tren sastra Islam ini diulas cukup panjang di Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008. Dapat diakses di www.ruangbaca.com.
8.       Muhidin M. Dahlan, Op. Cit..
9.       Tulisan selengkapnya dapat diakses di URL http://www.jonru.net/beginilah-cara-koran-tempo-menyerang-sastra-islam. Perdebatan yang lain tentang sastra Islam ini juga dapat dibaca dalam polemik Kurniasih dengan Topik Mulyana, pegiat FLP Bandung, di Harian Pikiran Rakyat. Kurniasih menulis di Pikiran Rakyat 3 November 2007 berjudul “Wajah Sastra Islam”, yang kemudian ditanggapi oleh Topik Mulyana pada 15 Desember 2007 di harian yang sama dalam tulisan berjudul “FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi”. Polemik ini berlanjut hingga awal 2008. Arsip-arsip polemik ini dapat diakses di www.cabiklunik.blogspot.com.
10.   Milis pasarbuku, pesan #50160. URL: http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/50160.
11.   Topik Mulyana, “FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi”, Harian Pikiran Rakyat, 15 Desember 2007.
12.   Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008. Sakti Wibowo, seorang pegiat sastra Islam, juga berbicara tentang hal yang serupa. Lihat http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=162&Itemid=40.
13.   Sebagaimana dijelaskan oleh M. Faizi, Op. Cit., hlm. 132. Jika kita mengamati karya-karya Ahmad Tohari, nyaris tak ditemukan yang secara eksplisit berlatar pesantren. Yang lebih terlihat justru memang aspek nilai dan substansinya.
14.   M. Saleh Isre (ed.), Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS, Yogyakarta, Cet. II, Agustus 1998, hlm. 129-134.
15.   Dari beberapa informan, penulis mendapatkan data bahwa Majalah Annida yang beredar di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep setiap edisinya bisa mencapai sekitar 40-50 eksemplar. Jumlah ini belakangan cenderung menurun karena harga jualnya yang kurang dapat dijangkau oleh santri yang kebanyakan berasal dari lapisan kelas menengah ke bawah. Sementara itu, Majalah Ummi di Annuqayah lebih sedikit diminati daripada Annida. Informasi tentang popularitas Annida di lingkungan komplek pesantren perempuan lainnya juga penulis temukan.
16.   Lebih jauh, baca Maman S. Mahayana, “Fenomena Novel Islami”, dalam Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008.
17.   Lihat, M. Mushthafa, “Asma Nadia dan Dilema Poligami”, resensi novel Istana Kedua di Harian Sinar Harapan, Sabtu, 15 November 2008. Yang cukup menarik, dalam buku yang lain berjudul Catatan Hati Seorang Istri (2007), Asma Nadia juga mampu memotret kehidupan sehari-hari perempuan dan bahkan mengangkat suara perempuan dalam kaitannya dengan poligami dan masalah keluarga yang lain. Meski begitu, pembaca tetap dapat memahami dan membaca secara implisit “batas-batas wacana” yang hendak ditegaskan Asma dalam masalah poligami dalam kedua karyanya ini. Ulasan atas Catatan Hati Seorang Istri ditulis oleh M. Mushthafa, “Asma Nadia tentang Poligami dan Perselingkuhan”, Jurnal Perempuan, No. 56, November 2007, hlm. 143-146.
Secara khusus, Harian Jawa Pos pernah menurunkan tulisan menarik tentang novel Ayat-Ayat Cinta kaitannya dengan keberpihakannya pada perempuan. Yaitu, tulisan Khotimatul Husna, “Ayat-Ayat Cinta: Pro atau Anti-Perempuan?” (Jawa Pos, 20 April 2008), dan Beni Setia, “Patriarki Islam dalam Ayat-Ayat Cinta” (Jawa Pos, 27 April 2008).
18.   Jamal D. Rahman, Op. Cit..
19.   Sebagaimana dipaparkan oleh Binhad Nurrohmat, “Gincu Merah Sastra Pesantren”, Harian Suara Karya, 24 Maret 2007, diakses dari URL: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=169288 pada 30 November 2008.


Tulisan ini dimuat di Jurnal Srinthil Nomor 17/2009.

0 komentar: