Rabu, 31 Desember 2008

Perempuan Pesantren dan Sastra Islam


Setiap komunitas masyarakat tak bisa melarikan diri dari perubahan. Demikian pula pesantren. Jika dahulu pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja, yakni seberapa banyak pesantren mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam komunitasnya.
Perempuan adalah bagian dari komunitas pesantren yang juga terlibat dalam proses perubahan tersebut. Jika diasumsikan bahwa ruang gerak perempuan di pesantren relatif lebih kurang leluasa dibandingkan laki-laki, maka saat ini ruang gerak tersebut semakin lega. Perempuan pesantren tak hanya bergerak di sektor privat saja. Banyak penelitian yang mencatat peran perempuan pesantren di ranah yang lebih luas.1
Dalam situasi seperti itu, kita dapat menyaksikan berbagai dampak yang dirasakan kaum perempuan pesantren. Arus perjumpaan dan interaksi mereka dengan dunia luar yang semakin intens menghasilkan dinamika yang beragam. Tulisan ini ingin mencoba melihat secara lebih dekat salah satu segi dinamika tersebut, yakni interaksi perempuan pesantren dengan dunia kesusastraan.

Sastra dalam Komunitas Pesantren
Sastra adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren. Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Keunikan itu berakar pada tradisi bersastra dalam masyarakat Arab yang kemudian dirawat dalam komunitas pesantren.
Di pesantren, ilmu-ilmu keagamaan tradisional pada khususnya dipelajari dengan media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi. Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren. Berbagai disiplin keilmuan keagamaan, mulai dari tawhid, fikih, tafsir, hadis, tata bahasa Arab, dan yang lainnya, semuanya pasti memiliki rujukan kitab yang ditulis dengan gaya syi’ir atau nazham.2
Dalam komunitas pesantren, ada satu kitab yang paling masyhur yang disebut Alfiyah karya Ibnu Malik dari Andalusia, yang memuat seribu bait puisi tentang ilmu tata bahasa Arab. Di pesantren-pesantren tradisional atau pesantren yang masih mempertahankan teks utuh kitab Alfiyah tersebut sebagai bahan ajar, tak jarang ditemukan santri yang menghafalkan larik-larik di dalamnya. Bahkan, seringkali penguasaan kitab tersebut di luar kepala dijadikan sebagai ukuran kealiman seorang santri atau juga menjadi bentuk kebanggaan diri.
Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat. Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.3
Meski tidak dengan upaya yang cukup kuat, padu, dan sistematis, tradisi syair di pesantren ini terus dipertahankan oleh komunitasnya. Beberapa ulama lokal hingga kini masih aktif menulis materi-materi keilmuan keagamaan dengan gaya nazham. Di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep (Madura), K.H. Moh. Mahfoudh Husainy menulis Manzhûmat al-Nuqâyah, yakni nazham untuk kitab Itmâm al-Dirâyah li Qurrâ’ al-Nuqâyah karya Jalâluddîn ‘Abdurrahmân al-Suyûthî—kitab yang menjadi muasal penamaan pesantren yang berdiri pada tahun 1887 ini. Kitab al-Nuqâyah ini merupakan sebuah kitab tipis yang memuat 14 cabang ilmu meliputi berbagai disiplin, mulai dari ushuluddin, ilmu tafsir, ilmu hadis, hingga anatomi, kedokteran, dan tasawuf. Hingga akhir 2003, beliau telah menuliskan hampir 1400-an larik, dan tersisa 3 disiplin ilmu lagi yang belum diselesaikan. Pada tahun 2006, dalam perbincangan pribadi dengan penulis, beliau mengatakan bahwa sebenarnya ketiga disiplin ilmu tersebut sudah ditulis, tapi naskahnya tak ditemukan setelah di-tashhîh kepada salah seorang ulama terkemuka di Madura. Sayangnya, semenjak itu, beliau sendiri tidak bisa melacak langsung sisa naskah tersebut karena kondisi kesehatan beliau yang menurun.
Dalam bentuk yang lebih sederhana, tradisi syiir ini kemudian menguat pula dalam bentuk ekspresi bahasa daerah. Di Madura, banyak sekali orator yang menggunakan syiir sebagai wahana menyampaikan pesan moral keagamaan.

“Sastra Pesantren” dan “Sastra Islam”
Tradisi kesusastraan dalam bentuk puisi (nazham) baik dalam rangka transmisi keilmuan dan ritual keagamaan di pesantren masih terus bertahan hingga saat ini. Namun demikian, seiring dengan perubahan sosial, belakangan ini muncul istilah “sastra pesantren” di dunia kesusastraan Indonesia. Hingga saat ini, istilah tersebut memang masih belum memiliki acuan yang baku dan ketat. Jamal D. Rahman mencatat bahwa paling tidak ada tiga pengertian dari istilah tersebut: pertama, sastra yang hidup di pesantren, antara lain seperti disinggung di atas; kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang pesantren (kiai, santri, alumni); dan ketiga, sastra yang bertema pesantren, seperti karya Djamil Suherman, dan sebagainya. 4
Pengertian kedua dan ketiga dari definisi sastra pesantren tersebut di atas dapat kita lihat sebagai fenomena mutakhir perjumpaan sastra dengan dunia pesantren. Sastra pesantren dalam dua pengertian tersebut merupakan produk perubahan zaman, ketika pesantren berinteraksi semakin luas dengan dunia luar, saat pesantren tak lagi hanya menggunakan aksara Arab pegon, tapi mulai intens masuk dan berkreasi dengan dunia aksara/sastra Indonesia, ketika industri perbukuan juga merambah ke segmen pesantren (juga karena keterlibatan orang-orang pesantren dengan dunia penerbitan profesional, khususnya kesusastraan). Dari kedua pengertian tersebut, muncullah banyak nama, mulai dari K.H. A. Mustofa Bisri, H.D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Hamdi Salad, Abidah El-Khalieqy, dan sebagainya.
Contoh paling mutakhir dari sastra pesantren adalah penerbitan novel-novel populer remaja oleh Matapena, salah satu divisi penerbitan LKiS Yogyakarta, sebuah lembaga penerbitan yang dikelola oleh anak-anak muda NU—yakni, berlatar pesantren. Di tengah booming novel-novel populer remaja, kehadiran novel-novel Matapena mempertegas kehadiran sastra pesantren dalam dua pengertian terakhir sebagaimana disebut di atas.
Pembicaraan tentang sastra pesantren dalam perkembangan kesusastraan Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dengan apa yang belakangan muncul dan disebut sebagai sastra Islam atau sastra islami. Seperti halnya sastra pesantren, definisi sastra Islam masih tak cukup terang benderang.
Sastra Islam atau sastra islami kadang dipersamakan maknanya dengan sastra religius. Secara khusus, label sastra Islam atau sastra islami ini tak bisa dilepaskan dari Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah komunitas penulis yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa pada 1997, karena dari komunitas inilah karya berlabel sastra Islam banyak muncul. Helvy, alumnus Fakultas Sastra UI yang telah menulis puluhan karya fiksi, mendefinisikan sastra Islam sebagai “sastra ketakterhinggaan yang berusaha mencerahkan diri sendiri, orang lain, dan membawa menuju jalan beribadah kepada Allah”.5 Di tempat yang lain, dijelaskan bahwa Helvy memberi gambaran seperti berikut ini:
…sebuah puisi, cerpen, atau novel Islam tidak akan melalaikan pembacanya dari dzikrullah. Ada unsur ammar ma'ruf nahyi mungkar dengan tanpa menggurui. Selain itu karya sastra Islam tidak akan mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun.6
Kehadiran genre sastra Islam ini sebenarnya lebih awal daripada populernya sastra pesantren yang disinggung tadi. Jika Matapena lahir pada tahun 2005, maka fiksi-fiksi Islam ini bisa dikatakan secara khusus menjadi semakin populer sejak tahun 2000. Novel Aisyah Putri (2000) karya Asma Nadia mungkin bisa disebut sebagai salah satu karya yang populer. Buku fiksi Islam ini mengalami masa puncak kejayaannya sepanjang 2004-2005. Salah satu tonggaknya adalah novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Di sepanjang tahun 2005, novel yang terbit di penghujung 2004 ini cetak ulang sebanyak sembilan kali. Di awal 2008, saat diangkat ke layar lebar, novel ini tembus hingga cetakan ke-36 dan terjual lebih dari 500 ribu eksemplar.7
Sukses di pasaran yang diraih novel-novel berlabel sastra Islam atau sastra islami ini pada gilirannya memicu lahirnya polemik-polemik di media massa tentang karya-karya jenis ini. Pro kontra muncul. Muhidin M. Dahlan menyebutkan bahwa sisi positif dari pelabelan ini adalah adanya ikatan emosi antarkomunitas Islam karena mampu memberi penanda identitas yang jelas dan tuntas. Di sisi yang lain, ada kesadaran bahwa ini adalah bagian dari gerakan dakwah. Sedang sisi negatifnya, pelabelan ini dapat berpotensi meminggirkan karya-karya lain yang mengangkat isu kemanusiaan, keadilan, dan semacamnya (yang merupakan elemen substantif agama), sebagai karya yang bukan sastra bernapaskan Islam.8
Yang menarik untuk dicermati lebih mendalam sebenarnya berkaitan dengan muatan nilai dan bahkan mungkin muatan ideologis yang berada di balik debat label sastra Islam tersebut. Hal ini menjadi penting dibicarakan secara lebih mendalam karena faktanya buku-buku fiksi berlabel sastra Islam atau sastra islami inilah yang justru banyak diminati oleh kaum (santri) perempuan di pesantren dan menjadi bacaan mereka sehari-hari (paling tidak dalam hampir satu dekade terakhir), jauh sebelum munculnya sastra pesantren ala Matapena. Tentu saja, sebelum muncul apa yang disebut sastra Islam, orang-orang pesantren juga membaca karya-karya sastra Indonesia pada umumnya, dengan intensitas perjumpaan yang beragam.

Muatan Nilai dan Ideologi
Di akhir April 2008 yang lalu, saat Koran Tempo mengangkat ulasan cukup panjang bertema fiksi Islam di suplemen Ruang Baca-nya, Jonru, salah seorang penulis dan pengelola Sekolah Menulis Online yang dikutip di reportase tersebut, memposting sebuah tulisan di blognya dengan judul yang cukup menarik: “Beginilah Cara Koran Tempo Menyerang Sastra Islam”. Dari judulnya saja pembaca sudah dapat menduga nuansa yang cukup panas dari tulisan tersebut. Sebagai semacam kesimpulan, dalam tulisan itu, Jonru memberikan catatan:
Koran Tempo SEPERTINYA sedang membuat sebuah skenario besar untuk melawan sastra Islam. Untuk itu, mereka membutuhkan ucapan seorang tokoh yang akan melakukan penyerangan secara langsung. Mereka mungkin mempertimbangkan nama Ayu Utami atau Sapardi Joko Damono atau nama-nama sastrawan lain yang selama ini berseberangan secara aliran dan ideologi dengan Sastra Islam.
Tapi secara jurnalistik, isu “Ayu Utami menyerang Sastra Islam”(misalnya) sama sekali tidak menarik.
Karena itu, Koran Tempo mungkin mencoba mencari jalan yang lebih “cerdik”. Maka profil seperti berikut ini tentu amat menarik bagi mereka:
Seorang penulis yang selama ini sering berkomentar kritis seputar karya-karya Sastra Islam, kebetulan dia adalah ORANG DALAM Forum Lingkar Pena (sebuah organisasi penulis yang giat memperjuangkan keberadaan sastra Islam), dan ia berpotensi besar untuk diperlakukan seperti tokoh Silas pada novel The Da Vinci Code.
“Hm… ini adalah tokoh yang paling tepat untuk kita manfaatkan dalam menyerang Sastra Islam. Ayo lakukan! Tentu SANGAT MENARIK bila Sastra Islam diserang oleh sesama pegiat Sastra Islam sendiri. INI BARU BERITA!!!” 9
Membaca teks komentar ini, kita dapat merasakan suasana yang terbangun di dalamnya: atmosfer ideologis yang cukup panas. Seakan-akan sastra Islam telah dipojokkan dan duduk di kursi pesakitan tanpa sebuah forum pengadilan yang imbang—dan ada sebuah konspirasi di balik itu.
Seperti disinggung di atas, popularitas istilah sastra Islam ini tak dapat dipisahkan dengan FLP. Bila diamati secara lebih dekat, komunitas FLP itu sendiri—yang menurut Wikipedia kini beranggotakan sekitar 5000 orang dan memiliki cabang di hampir 30 propinsi, termasuk beberapa di luar negeri—sepertinya tidak memiliki pemahaman yang persis sama tentang apa itu sastra Islam. Kalaupun arus utama ideologi mereka dapat digambarkan seperti dari kutipan penjelasan Helvy di atas, anggota komunitas mereka yang begitu beragam itu mungkin memiliki spektrum ideologis yang merentang cukup lebar.
Jonru, misalnya, di milis pasarbuku tak ragu untuk menyebut Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai sastra Islam. Jonru tak mau terjebak pada simbol-simbol, bahwa yang disebut sastra Islam hanyalah sastra yang mengadopsi simbol-simbol Islam. Jika dihadapkan dengan penjelasan Helvy di atas, bahwa “sastra Islam tidak akan mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan”, Jonru memberi toleransi atas penggalan cerita yang mengisahkan hubungan cinta monyet” antara Ikal dan A Ling dalam Laskar Pelangi. Di situ Jonru menulis bahwa “dalam konteks kemanusiaan, hal-hal seperti ini sangat manusiawi dan hampir semua orang pernah mengalaminya, terutama ketika kita masih berada di usia pancaroba atau pubertas.”10
Dalam konteks ini, tampaklah bahwa salah satu norma penting dalam kategori sastra Islam atau sastra islami adalah bahwa ia menolak ekspos seksualitas yang vulgar dalam karya sastra. Dan, bagi Jonru, penggambaran hubungan Ikan dengan A Ling masih cukup wajar dan bisa dimaafkan. Di titik inilah, sastra Islam kemudian tampak terlibat masuk ke dalam perdebatan soal moralitas dalam sastra, yang di antaranya pernah cukup ramai dimuat di berbagai media massa.
Topik Mulyana, pegiat FLP Bandung dan editor Penerbit Syaamil Cipta Media, menegaskan bahwa FLP melawan karya-karya serupa chiklit dan teenlit. Novel-novel semacam itu perlu "dilawan" karena dipandang memuat nilai-nilai yang dianggap merusak akhlak, seperti hedonisme dan sekularisme. Dalam kemasan populer, FLP tampil sebagai chiklit dan teenlit yang menawarkan nilai-nilai Islam.11 Nah, salah satu simbol hedonisme dan sekularisme itu adalah masalah seksualitas.
Dengan ilustrasi singkat di atas, sampai di sini kita dapat memiliki gambaran bahwa perempuan pesantren yang faktanya memang banyak membaca karya-karya yang disebut sastra Islam atau sastra islami itu, disadari atau tidak, sebenarnya tengah terlibat dalam sebuah arus perdebatan ideologis yang sarat dengan muatan nilai dan kecenderungan penafsiran keagamaan tertentu.
Problem yang banyak disorot atas genre sastra Islam adalah kecenderungan penggunaan simbol yang berlebihan sehingga ia kadang terjatuh pada pola keagamaan yang formalistik. Kalangan pendukung sastra Islam sendiri mengakui kecenderungan semacam ini—keterjebakan pada simbol-simbol. Benny Rhamdani, Manajer Redaksi Anak dan Remaja Mizan, menyebutkan banyaknya novel yang sekadar mengutip ayat-ayat suci Alquran, atau penggunaan salam dan ungkapan-ungkapan simbol Islam yang lain, sehingga label Islam hanya menjadi tempelan.12 Meskipun begitu, dari sikap Jonru atas Laskar Pelangi tersebut di atas tampak bahwa komposisi simbol dan substansi ini dalam karya sastra Islam dalam pikiran komunitas pegiat sastra Islam sendiri masih menjadi wilayah yang terbuka untuk didiskusikan.
Sampai di sini, kita akan kembali ke titik awal, tentang bagaimana sastra Islam, sastra islami, termasuk juga sastra pesantren, dimaknai dan diperdebatkan. Jika kita telah membaca beberapa uraian tentang hal itu dari kelompok yang secara khusus banyak bergiat di sastra Islam, yang diwakili oleh forum FLP, maka ada baiknya kita juga mengemukakan suara-suara dari pesantren. Ahmad Tohari, misalnya, mengemukakan bahwa sastra pesantren adalah pengejawantahan mâ’ dalam ayat lillâhi mâ fissamâwâti wa mâ fil ardh dan dikemas dengan kualitas sastra yang horison yang lalu membinarkan kekuasan Tuhan atas mâ’ di langit dan bumi. Dalam pengertian ini, Islam muncul sebagai nilai yang universal dan melampaui simbol. Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”.13
Suara Ahmad Tohari ini jelas menunjukkan visi yang amat terbuka tentang apa itu sastra pesantren. Dia jelas memberi titik tekan yang substantif, bukan simbolis. Setali tiga uang dengan Tohari, Abdurrahman Wahid dalam sebuah wawancaranya memaparkan bahwa sastra Islam itu merupakan bagian dari peradaban Islam. Ia memiliki watak eklektik: mampu menyerap secara terbuka hal-hal yang berasal dari kebudayaan lain. Gus Dur menyebutkan contoh Kitabulhayawân karya al-Zais yang merupakan kumpulan fabel yang banyak mengambil unsur dari peradaban Yunani, Romawi, India. Karena mampu menyerap, maka sastra Islam bukan hanya milik orang Islam, tapi juga milik orang lain yang hidup dalam masyarakat Islam. Sastra Islam menjadi bagian dari humanisme universal, karena peradaban Islam adalah peradaban yang mampu mengayomi semua orang.14
Meski memang masih membutuhkan pengamatan yang lebih mendalam, sampai di sini dapat disimpulkan bahwa nilai dan muatan ideologi dalam sastra Islam maupun sastra pesantren salah satunya sangat terkait dengan dialektika materi dan bentuk, atau substansi dan kemasan, yang ada dalam karya-karya itu. Sementara di satu sisi ada yang lebih menekankan pada nilai substantif yang diusung karya-karya itu serta watak inklusif yang mendunia, di sisi lain ada yang justru memberi tekanan yang lebih pada nilai-nilai Islam formal—dengan takaran yang masih beragam.

Perempuan dan “Sastra Pesantren”/”Sastra Islam”
Secara lebih khusus, kita dapat mengamati lebih dekat, bagaimana perempuan masuk dalam ruang diskursus sastra Islam atau sastra pesantren. Pada titik awal dapat dikemukakan bahwa perempuan dalam konteks ini menjadi stakeholder yang cukup menarik dan penting. Jika kita melihat FLP sebagai pemain penting di wilayah sastra Islam, maka informasi yang menjelaskan bahwa 70% anggota FLP adalah perempuan akan dapat menjelaskan makna signifikansi perempuan dalam sastra Islam. Jadi, tak heran bila karya-karya sastra Islam cukup banyak bertutur tentang tema-tema perempuan. Karya semacam inilah yang banyak diapresiasi oleh kaum perempuan di pesantren. Di samping itu, media-media yang serumpun dengan FLP juga banyak dikonsumsi oleh perempuan pesantren, seperti Majalah Annida (Helvy aktif sebagai redaktur dan pemimpin redaksi pada 1991-2001) dan Majalah Ummi, yang memang dikhususkan pada segmen pembaca perempuan.15
Nah, dengan proporsi partisipasi perempuan yang cukup besar di wilayah tersebut, bagaimanakah perempuan digambarkan dalam sastra Islam atau sastra pesantren? Yang menarik, pengamatan selintas penulis menemukan bahwa ada nuansa yang cukup berbeda tentang bagaimana perempuan diceritakan antara dalam sastra Islam dan sastra pesantren. Di sini kita dapat mengangkat contoh dua novel karya Abidah El-Khalieqy, yakni Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2004).
Jika kita sepakat dengan asumsi bahwa sastra pesantren sewajarnya menjadi bagian dari khazanah sastra Islam, kita akan dihadapkan dengan kenyataan bahwa Geni Jora ternyata tak disinggung secara cukup mendalam pada pembicaraan-pembicaraan bertajuk sastra Islam.16 Ia kalah fenomenal dengan Ayat-Ayat Cinta. Tak hanya itu, jika Kang Abik—nama akrab Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta—begitu dikenal oleh banyak perempuan pesantren, setidaknya sejauh pengamatan penulis di beberapa komplek pesantren, mengapa Abidah, yang jelas-jelas berlatar pendidikan pesantren, kalah populer di dunia pesantren? Ataukah ini cukup terkait dengan fakta bahwa basis massa pendukung sastra Islam kebanyakan berasal dari muslim kelas menengah perkotaan, dan mereka punya media yang ampuh untuk melakukan penetrasi ke kelompok masyarakat lainnya, termasuk perempuan di pesantren? Ataukah ini semata terkait dengan strategi pemasaran (sosial-ekonomi), atau juga terkait dengan aspek nilai dan ideologi?
Jelaslah bahwa sosok perempuan yang digambarkan Abidah dalam kedua novelnya itu sungguh berbeda, bahkan mungkin berseberangan, dengan perempuan dalam novel-novel berlabel sastra Islam itu. Perempuan dalam karya Abidah adalah perempuan dengan semangat pembebasan—pembebasan dari patriarki. Dalam Perempuan Berkalung Sorban, Abidah bercerita tentang Anissa, seorang perempuan pesantren, dan ketersudutannya di antara doktrin misoginis agama di pesantren. Sementara Geni Jora berkisah tentang Kejora yang terpasung dalam tradisi pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Kedua karya ini dapat dibilang cukup subversif dan, sebagaimana Maman S. Mahayana mengomentari Geni Jora di Koran Tempo, seperti hendak menawarkan paradigma baru dalam menempatkan perempuan dalam Islam. Citra ideal sosok muslimah dalam novel Abidah memuat semangat pembebasan—bahkan mungkin juga perlawanan.
Bandingkanlah gambaran perempuan semacam ini dengan perempuan dalam Ayat-Ayat Cinta atau novel berlabel sastra Islam lainnya. Salah satu yang cukup tampak dan agak vulgar dalam novel best-seller itu adalah sikapnya terhadap poligami. Jelaslah bahwa novel semacam Ayat-Ayat Cinta tampak seperti tidak secara mendalam mengeksplorasi lebih jauh problem psikologis perempuan dalam lembaga keluarga atau pernikahan atau lingkungan sosial pada umumnya. Yang lebih banyak tergambar adalah citraan-citraan ideal—dalam hal Ayat-Ayat Cinta mungkin lebih tepat dikatakan bahwa yang menjadi fokus adalah citra pemuda muslim ideal. Jadinya, novel semacam itu seperti kurang mampu mengangkat realitas-realitas sosial-keagamaan di masyarakat yang masih bermasalah—termasuk juga yang menyangkut perempuan.
Dalam masalah poligami, pembaca Ayat-Ayat Cinta akan cukup mudah untuk menyimpulkan bahwa alur cerita yang disajikan tampak begitu ingin memberikan pembenaran atas pilihan tindakan Fahri untuk berpoligami dengan menikahi Maria. Nyaris seperti sebuah rekayasa. Maria yang sakit keras dan sekarat, yang benar-benar mengharap Fahri, dan juga Aisyah yang begitu ikhlas. Pilihan poligami Fahri seperti menjadi satu keharusan, karena di situ tersirat tujuan untuk menyelamatkan hidup Maria.
Ayat-Ayat Cinta—yang di sampul bukunya diberi keterangan sebagai “novel pembangun jiwa”—bukan satu-satunya novel berlabel sastra Islam yang bersikap demikian. Novel Asma Nadia berjudul Istana Kedua (2007) secara khusus juga mengangkat tema masalah poligami. Alur yang dibuatnya pun nyaris tak berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta, yakni dalam konteks kecenderungan untuk memberikan justifikasi atas pilihan poligami tokoh utamanya, Pras, atas seorang perempuan bernama Mei. Mei yang mualaf, Mei yang tak punya siapa-siapa, Mei yang memilukan, seperti ingin mengarahkan pembaca untuk berkesimpulan bahwa kasus poligami Pras adalah “aturan main yang ditetapkan Tuhan”, atau sebuah “takdir”. Kesimpulan ini yang cukup menguat, meski—berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta—Asma Nadia dalam novel ini juga mampu menghadirkan pergulatan psikologis perempuan menghadapi masalah poligami. Bahkan, Asma menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang alasan laki-laki berpoligami, dengan merujuk kepada teladan kehidupan Nabi.17
Dari gambaran ini, sepertinya cukup mudah dipahami mengapa karya yang terbilang sebagai sastra pesantren sampai sekarang masih belum sepenuhnya bisa menyatu dalam wacana sastra Islam. Memang, batas-batas kedua kelompok ini sulit dijelaskan secara cukup gamblang—bahwa keduanya memiliki paradigma yang jelas berseberangan. Di lapangan, beberapa penulis fiksi yang berasal dari pesantren tradisional bergabung dengan komunitas FLP. Di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep (Madura) misalnya, sejak tahun 2000 berdiri komunitas FLP yang memiliki anggota sekitar 50 orang—semuanya perempuan. Akan tetapi, di antara anggota komunitas FLP di sana, kadang muncul “suara lain” yang sepertinya akan terkesan aneh untuk dikatakan bahwa suara seperti itu lahir dari anggota FLP.
Hanna al-Ithriyah, misalnya, seorang penulis fiksi dari komunitas FLP Annuqayah, pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul My Valentine (2006) di Penerbit Gema Insani Press. Dia menuturkan bahwa ada salah satu cerpennya yang terelimenasi dari antologi tersebut. Cerpen yang dimaksud berjudul “Senja di Notredame”. Cerpen itu berkisah tentang persahabatan dua orang perempuan di Perancis yang sama-sama bergiat di pergerakan yang memperjuangkan kebebasan untuk memakai atribut-atribut keagamaan. Dua perempuan itu berbeda iman—salah satunya muslim. Ada nuansa toleransi dalam persahabatan dua orang ini yang digambarkan Hanna. Menurut Hanna, penerbit tidak memuat cerpen ini dalam kumpulan cerpennya karena khawatir menyinggung masalah SARA.
Apakah dari kasus ini kita dapat menambahkan bahwa nilai lain yang dibawa oleh sastra Islam terkait dengan pemaknaan tertentu tentang makna toleransi—dan itu cukup berbeda dengan pandangan orang semacam Tohari atau Gus Dur atau orang-orang pesantren pada umumnya? Ini, sekali lagi, masih membutuhkan pengamatan yang lebih serius.

Perempuan Pesantren sebagai Subjek: Catatan Penutup
Dari beberapa uraian singkat di atas, ada beberapa catatan yang penting digarisbawahi berkaitan dengan perjumpaan perempuan pesantren dengan karya-karya sastra Indonesia kontemporer, terutama yang berlabel sastra Islam, sastra islami, atau sastra pesantren. Pertama, bahwa ternyata selama ini pesantren, terutama pesantren-pesantren tradisional, kurang memberi perhatian terhadap muatan-muatan ideologis yang terdapat dalam karya-karya fiksi semacam itu. Padahal, dari uraian singkat di atas, tampaklah bahwa nilai-nilai dan muatan ideologis dalam karya-karya tersebut memiliki nuansa yang berbeda, bahkan bisa cukup bertolak belakang. Lebih dari itu, akar komunitas pendukung utama kelompok sastra Islam relatif berbeda dengan komunitas sastra pesantren. Apalagi jika dikaitkan dengan semacam gosip yang menghubung-hubungkan FLP dengan Partai Keadilan Sejahtera. Meski rumor ini ditampik secara tegas oleh orang-orang FLP, fakta yang sulit dibantah adalah bahwa banyak anggota komunitas FLP, terutama di kota-kota besar, yang berasal dari para aktivis dakwah kampus yang memang merupakan salah satu basis massa partai tersebut.
Para pengelola pesantren hingga sejauh ini tampak kurang begitu menyadari makna dan signifikansi arus perdebatan tersebut, termasuk konteks politik kebudayaan yang mungkin menjadi latarnya, dan menganggap bahwa itu hanyalah sekadar perdebatan antara kelompok muslim yang mendukung moral-moral agama dan kelompok sekuler yang anti moralitas agama. Saat berbincang dengan beberapa alumni pesantren, terutama dari komplek perempuan, penulis mendapatkan informasi bahwa di banyak pesantren yang muncul adalah aturan soal larangan membaca novel-novel remaja selain yang berlabel novel islami. Semua karya berlabel sastra islami dipandang memiliki muatan nilai yang tak berbeda dan tak memiliki problem nilai atau ideologi tertentu.
Pada titik ini, komunitas pesantren pada umumnya terkesan tampak sebagai konsumen yang tidak kritis. Akan tetapi, sebenarnya, jika kita mengamati lebih mendalam, muncul hipotesis bahwa cara konsumsi komunitas pesantren terhadap produk budaya yang seperti itu tak hanya terjadi pada karya sastra, yakni sastra Islam, tetapi juga pada produk budaya lainnya. Di bidang kesenian, misalnya, saat ini pesantren yang notabene kebanyakan berbasis masyarakat tradisional mulai lebih banyak mengadopsi atau mengadaptasi kesenian yang berbasis masyarakat perkotaan. Jika kesenian lokal pada umumnya kadang diberi label-label yang kurang baik (secara keagamaan), maka komunitas pesantren terkesan lebih mudah menoleransi kesenian baru dari kota—semacam lagu-lagu nasyid, misalnya. Hal serupa juga tampak dalam cara komunitas pesantren mengonsumsi kebutuhan sehari-hari, model pakaian, dan juga “idola”. Apakah ini berarti komunitas pesantren larut dalam budaya massa, atau, katakanlah, kultur monolitik peradaban modern?
Dalam wilayah yang lebih luas, pembicaraan mengenai kaum perempuan dan sastra Islam dapat mengantarkan pada agenda penguatan orang-orang pesantren untuk bermain lebih aktif dalam dunia kesusastraan. Pesantren juga harus menjadi subjek penting dalam menyuarakan karakter kultural dan pandangan dunia kesusastraannya. Pesantren memberikan warna baru yang berbeda dalam dunia kesusastraan Indonesia dengan karya-karya yang lebih mengakar.
Jamal D. Rahman dalam salah satu tulisannya memaparkan tentang salah satu aspek penting dari karakter sastra pada umumnya dalam kaitannya dengan pesantren. Bahwa sastra itu membebaskan manusia dari kejumudan dan kecupetan perasaan, mempertajam kepekaan hati dan perasaan, dan sebagainya, yang kesemuanya itu—dalam kaitannya dengan penghayatan keagamaan—dapat mengontrol kecenderungan destruktif, yang mungkin muncul dari amarah akibat perasaan tertekan, psikologi kekalahan, dan ketakberdayaan menghadapi hal yang sangat tak diinginkan.18 Ekspresi teduh dan sejuk dari model penghayatan keagamaan semacam inilah yang penting untuk dipromosikan oleh karya sastra pesantren.
Sampai saat ini, harus diakui bahwa orang-orang di pesantren, termasuk juga kaum perempuan pesantren, masih belum bisa menjadi subjek yang signifikan dalam sastra Islam dan kesusastraan pada umumnya. Selain mungkin faktor yang bisa terkait dengan politik kebudayaan, harus diakui bahwa secara intrinsik karya-karya sastra dari pesantren masih belum cukup mampu untuk menggambarkan realitas dan pengalaman yang unik dan sangat kaya di dunia pesantren—termasuk, secara khusus, dunia perempuan. Salah seorang kritikus sastra, Faruk HT, mencatat bahwa sastra pesantren yang ada cenderung “menampilkan dunia pesantren sebagai latar, tanpa deskripsi yang rinci dan hidup, dan menjelmakan nilai keislaman secara formalistik serupa khotbah. Selain itu, juga cenderung minim realitas kejiwaan dan teknik berceritanya konvensionil. Akibatnya, dunia santri dan pesantren dalam karya sastra hadir tak utuh dan tanpa gema.”19
Kita belum menemukan suara yang khas pesantren, yang dapat memberikan gambaran subtil kehidupan pesantren yang khas, dengan nilai-nilai seperti yang digambarkan oleh Jamal D. Rahman di atas—Islam yang sejuk dan damai. Kita masih menunggu karya-karya semacam itu. Karya yang, baik dari kemasan maupun substansi, mirip karya-karya Orhan Pamuk yang mampu memberikan gambaran muram kehidupan di Turki, atau misalnya Istambul secara khusus, di tengah peralihan sosio-kultural masyarakatnya. Jika masyarakat dunia menjadi lebih kenal dengan Turki melalui karya-karya Pamuk, maka orang-orang pesantren mestinya menjadi orang pertama yang paling berhak dan paling tepat memperkenalkan kehidupan dan nilai-nilai pesantren kepada dunia.
Secara khusus, bagi perempuan proyek kebudayaan semacam ini memberi peluang kepada mereka untuk dapat terlibat secara lebih intens dengan dunia luar, baik itu dalam konteks pengembangan literasi atau kontribusi sosio-kultural yang lain—tak hanya menjadi objek yang mengonsumsi produk budaya lainnya.
Wallahualam.


Catatan:
1.       Di antaranya seperti yang terdokumentasikan dalam penelitian yang dikoordinasikan oleh PPIM IAIN Jakarta, yakni dalam Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2002.
2.       M. Faizi, “Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren”, Jurnal ‘Anil Islam, LP2M STIK Annuqayah Sumenep, Nomor 1, Volume 1, 2008, hlm. 115-118.
3.       Lihat, Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw. dalam Islam, penerjemah: Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, Cet. VIII, September 2001, hlm. 239-287.
4.       Tulisan Jamal D. Rahman dalam weblog pribadinya berjudul “Sastra, Pesantren, dan Radikalisme Islam”, URL: http://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/, diakses pada 30 November 2008.
5.       Efri Ritonga, “Sastra yang Menuju Tuhan”, Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008, URL: http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwOA==&dokm=MDQ=&dokd=Mjg=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=Njcw, diakses pada 30 November 2008.
6.       Muhidin M. Dahlan, “Mengapa ‘Kita’ Menolak Sastra (Berlabel) Islam”, URL: http://akubuku.blogspot.com/2007/04/mengapa-kita-menolak-sastra-berlabel.html, diakses pada 30 November 2008.
7.       Paparan tentang tren sastra Islam ini diulas cukup panjang di Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008. Dapat diakses di www.ruangbaca.com.
8.       Muhidin M. Dahlan, Op. Cit..
9.       Tulisan selengkapnya dapat diakses di URL http://www.jonru.net/beginilah-cara-koran-tempo-menyerang-sastra-islam. Perdebatan yang lain tentang sastra Islam ini juga dapat dibaca dalam polemik Kurniasih dengan Topik Mulyana, pegiat FLP Bandung, di Harian Pikiran Rakyat. Kurniasih menulis di Pikiran Rakyat 3 November 2007 berjudul “Wajah Sastra Islam”, yang kemudian ditanggapi oleh Topik Mulyana pada 15 Desember 2007 di harian yang sama dalam tulisan berjudul “FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi”. Polemik ini berlanjut hingga awal 2008. Arsip-arsip polemik ini dapat diakses di www.cabiklunik.blogspot.com.
10.   Milis pasarbuku, pesan #50160. URL: http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/50160.
11.   Topik Mulyana, “FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi”, Harian Pikiran Rakyat, 15 Desember 2007.
12.   Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008. Sakti Wibowo, seorang pegiat sastra Islam, juga berbicara tentang hal yang serupa. Lihat http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=162&Itemid=40.
13.   Sebagaimana dijelaskan oleh M. Faizi, Op. Cit., hlm. 132. Jika kita mengamati karya-karya Ahmad Tohari, nyaris tak ditemukan yang secara eksplisit berlatar pesantren. Yang lebih terlihat justru memang aspek nilai dan substansinya.
14.   M. Saleh Isre (ed.), Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS, Yogyakarta, Cet. II, Agustus 1998, hlm. 129-134.
15.   Dari beberapa informan, penulis mendapatkan data bahwa Majalah Annida yang beredar di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep setiap edisinya bisa mencapai sekitar 40-50 eksemplar. Jumlah ini belakangan cenderung menurun karena harga jualnya yang kurang dapat dijangkau oleh santri yang kebanyakan berasal dari lapisan kelas menengah ke bawah. Sementara itu, Majalah Ummi di Annuqayah lebih sedikit diminati daripada Annida. Informasi tentang popularitas Annida di lingkungan komplek pesantren perempuan lainnya juga penulis temukan.
16.   Lebih jauh, baca Maman S. Mahayana, “Fenomena Novel Islami”, dalam Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, 28 April 2008.
17.   Lihat, M. Mushthafa, “Asma Nadia dan Dilema Poligami”, resensi novel Istana Kedua di Harian Sinar Harapan, Sabtu, 15 November 2008. Yang cukup menarik, dalam buku yang lain berjudul Catatan Hati Seorang Istri (2007), Asma Nadia juga mampu memotret kehidupan sehari-hari perempuan dan bahkan mengangkat suara perempuan dalam kaitannya dengan poligami dan masalah keluarga yang lain. Meski begitu, pembaca tetap dapat memahami dan membaca secara implisit “batas-batas wacana” yang hendak ditegaskan Asma dalam masalah poligami dalam kedua karyanya ini. Ulasan atas Catatan Hati Seorang Istri ditulis oleh M. Mushthafa, “Asma Nadia tentang Poligami dan Perselingkuhan”, Jurnal Perempuan, No. 56, November 2007, hlm. 143-146.
Secara khusus, Harian Jawa Pos pernah menurunkan tulisan menarik tentang novel Ayat-Ayat Cinta kaitannya dengan keberpihakannya pada perempuan. Yaitu, tulisan Khotimatul Husna, “Ayat-Ayat Cinta: Pro atau Anti-Perempuan?” (Jawa Pos, 20 April 2008), dan Beni Setia, “Patriarki Islam dalam Ayat-Ayat Cinta” (Jawa Pos, 27 April 2008).
18.   Jamal D. Rahman, Op. Cit..
19.   Sebagaimana dipaparkan oleh Binhad Nurrohmat, “Gincu Merah Sastra Pesantren”, Harian Suara Karya, 24 Maret 2007, diakses dari URL: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=169288 pada 30 November 2008.


Tulisan ini dimuat di Jurnal Srinthil Nomor 17/2009.

Read More..

Selasa, 30 Desember 2008

The Smell of Public Lie is Quite Nauseating

What does make someone feel nauseate? One of my students is a nauseating person. She always nauseates and vomits every time she rides a car for a long distance. I knew this when I went to Sumenep with some of my students and in the way home she vomited in the car. Smell of car fuel, shake of vehicle on the rocky road, bends in the road, breeze from windows, all of them make the stomach feel disgust. Then, the contents of the stomach can throw up through the mouth.

Fortunately, I’m not a nauseating person—thanks God. However, in my situation, sometimes nauseating occurs when I hear a public lie. More exactly, if I hear someone who talks a lie in a public speaking. He doesn’t just talks nonsense. The fact that he talks something that is not true—and he talks as if it is a true, and he doesn’t feel guilty about it—makes me nauseating. He doesn’t aware of the fact that one or more of the audiences know about the lie. Furthermore, doesn’t the smell of a lie stink very much?

Deep in my heart, I have pity on him. But I don’t know, isn’t a pity useful to solve the problem of his lie, to change the way he talks? Don’t tell me that we must give him a lie-detector. It is not funny. It is a serious problem of our society, when someone talks a lie and feels nothing but just okay. It is a problem of ethics—the death of conscience.

When the smell of public lie attacked me yesterday, I know that we must do something to find the answer.

Read More..

Senin, 29 Desember 2008

City Syndrome

Last Saturday morning, I went to Sumber Pinang to visit one of my friends. His name is Fawaid. I went there with my bicycle at early morning. Riding bicycle in the morning—I always truly miss it. I arrived before seven minutes from my departure from my house.

We talk about various things, from national and actual issues to academic or personal matters. Three hours passed, and it seemed that we just had already discussed a little while. I nearly forgot that I had an appointment that morning in the school.

In fact, he lives in Jakarta with his wife and his first daughter. He worked in a kind of non-governmental organization for about five years, and he went home to take part in the selection of governmental employee as a lecturer in State Islamic College Pamekasan. Having passed for the selection of administration, he went home to do the interview and personality test in Pamekasan.

He had some interesting stories about the test. One of them related to the problem of “city syndrome” (that is to say “Jakarta syndrome”). The interviewer who is an official from the institution asked my friend: “Why do you want to go home and leave your position in Jakarta?” I think the interviewer feels that he asked a good problematic question to my friend. But he was wrong. Instead, my friend gave a counterattack to the question. “Sir, isn’t going home to the motherland normal? I suppose that you must ask the people who don’t want to go home to their motherland and settle in the city,” my friend responded.

The dialogue reveals general inclination of contemporary people to believe that living in the city is more better than living in the rural community—even though it is the homeland. People who decide to return home is perceived as unusual. Our society struck by the city syndrome so that urbanization became a common phenomenon. This is not only relates to physical issue. Many policies of the government focus on the city and its derivative. Development concentrates in the city. And the gap between urban and rural community become more and more wide.

Can we say that many people and development tend to betray the homeland? What are the consequences if this is true?

Read More..

Sabtu, 27 Desember 2008

Crouching Tiger, Hidden Dragon

This title reminds me to one of my favourite movies—a film by Ang Lee. The movie won the Academy Award in 2000 for the category “Best Foreign Language Film”. Seno Gumira Adjidarma wrote a fascinating essay in Kompas, comparing the movie to the best picture of that year, Gladiator. Seno argued that western system of thought, i.e. rationalistic and positivistic paradigm, led the jury to choose the movie—and not the Ang Lee’s.

I don’t want to talk about those movies. This title came to me last night when I read the Indonesian translation (from English) composed by the students of SMA 3 Annuqayah. Yesterday afternoon, sixteen students of SMA 3 Annuqayah that are the members of Club of Translator at Library of Madaris 3 Annuqayah took part the test or evaluation. At the same time, eight student of STIK Annuqayah, the members of another Club of Translator at Sabajarin, also took part this test with different text. The test held to evaluate the progress of their abilities to translate English text to Indonesian language. This club accomplished its regular activity almost one year.

I found their translations were great. I read line by line, and their excellences was surprised me. When the students was doing the test yesterday afternoon, translating several passages from Children’s Encarta 2009, I looked that they worked very hard, with serious manner. They concentrated to the text and dictionary. After more than one hour, they didn’t touch the candies that I gave after the test had already begun.

When I read their translations, I was so impressed. I was envious. I remembered, when I was a student, I didn’t have capability like them in English. In fact, I didn’t have any experience and opportunity like them to learn English translation.

I think if they keep learning consistently, they will attain an amazing competence in English when they graduate from this senior high school. I think a tiger crouches deep in themselves. A dragon gets ready to expose its power. It seems that it's just a matter of when.

Read More..

Kamis, 25 Desember 2008

Notulen dari atas Taksi

Kalau saya menyebut “taksi” di judul tulisan ini, jangan bayangkan mobil sedan seperti taksi-taksi di Surabaya atau Jakarta. “Taksi” yang saya maksudkan di sini adalah sebutan untuk angkutan pedesaan di Madura. Semakin ke pelosok rute taksi di Madura, kondisi mobilnya relatif semakin buruk—mungkin disesuaikan dengan kondisi jalannya. Taksi dengan rute yang melintas jalan provinsi biasanya relatif masih cukup bagus kondisinya. Taksi di jalan yang paling pelosok biasanya berjenis mobil pick-up.

Saat masih kecil dulu, saya nyaris selalu ikut ayah saya yang setiap pekan pulang ke rumah asalnya di Karduluk. Kami pasti naik taksi, karena ayah tak punya kendaraan bermotor—sampai sekarang.

Ingatan saya tentang taksi di masa kecil dulu ternyata masih tak jauh berbeda dengan taksi saat ini, terutama taksi dengan rute yang sering saya tumpangi, yakni rute Prenduan-Ganding. Sopir dan kenek taksi biasanya akan menunggu penumpang penuh sesak, sehingga kadang Mitsubishi L300 atau Toyota Hiace-nya memuat sekitar hampir 20 orang! Saat masih kecil dulu, pernah suatu kali taksi yang saya tumpangi bersama ayah dicegat polisi. Saya lihat, dengan tatapan yang tampak tanpa emosi dan tanpa empati, si polisi berkata kepada si sopir, “Penumpang bukan pindang, jangan ditumpuk-tumpuk seperti itu.” Tampaknya si polisi sedang ingin menjadi pahlawan penegak hukum negara.

Saat saya dewasa, jika melihat polisi di jalan, saya jadi selalu ingat kata-kata dingin si polisi pada si sopir itu. Saya kadang kemudian tak habis pikir: apakah si polisi tidak tahu betapa tekanan ekonomi para sopir pedesaan itu telah menuntutnya sedemikian rupa sehingga mereka tak punya pilihan lain kecuali memuat penumpang sebanyak-banyaknya—asal masih muat? Bukankah itu pelajaran ekonomi yang paling sederhana: modal sekecil-kecilnya, untuk keuntungan yang sebesar-besarnya? Kalau mau berbicara tentang keselamatan, bukankah para sopir itu juga tengah berusaha menyelamatkan dapur keluarga mereka?

Dalam lima bulan terakhir, secara rutin saya kembali berlangganan memanfaatkan jasa taksi-taksi di rute Prenduan-Ganding. Setiap Kamis, saya naik taksi ke Karduluk: berangkat pagi-pagi sebelum jam tujuh, dan pulang selepas tengah hari.

Hal berbeda yang paling tampak yang saya temui belakangan ini terutama berkaitan dengan penumpang. Saat ini, penumpang sudah semakin jarang. (Apakah ini pertanda baik, bahwa masyarakat sudah banyak yang punya kendaraan bermotor?) Sementara jumlah taksi yang beroperasi relatif cukup banyak.

Tadi siang, saat saya pulang dari Karduluk, saya lihat ada 11 mobil yang antre menunggu penumpang. Dan, ini dia kabar buruknya, tak ada satu pun kendaraan yang berpenumpang. Semuanya kosong melompong. Saya jadi tak tahu taksi yang mana yang berada di antrean terdepan, sampai kemudian ada seorang pemuda yang melambai-lambaikan tangannya di kejauhan sambil berteriak, “Lukguluk, Ganding...”

Rupanya saya menjadi penumpang pertama di siang yang cukup terik itu. Saya masuk dan duduk di kursi belakang. Kaca jendela saya buka agak lebar, agar angin lebih leluasa masuk. Si pemuda yang berteriak dan mengantar saya tadi kemudian menghilang entah ke mana.

Dari kursi belakang, saya bisa melihat taksi-taksi lain yang berjejer di kanan kiri jalan. Di antara mobil-mobil itu, saya melihat stiker-stiker calon anggota legislatif yang ditempel di kaca-kaca mobil, dengan berbagai ukuran, dari bermacam partai. Beberapa minggu yang lalu, saya sempat bertanya kepada sopir yang saya tumpangi tentang stiker-stiker itu. Katanya, ada orang yang membagikannya.

Cukup lama saya duduk sendiri di mobil itu, mungkin sekitar 20 menitan, sampai kemudian si sopir datang, menghidupkan mesin, dan berangkat. Toyota Hiace yang umurnya pasti tak jauh berbeda dengan usia saya itu pun melaju. Saya menyapa si sopir, memastikan apa dia memang mau berangkat—karena penumpangnya hanya saya. Dia mengiyakan tanpa menoleh ke belakang—mungkin agak sedikit kesal dengan nasibnya siang itu.

Untunglah, baru sekitar 100 meter mobil itu bergerak, ada dua orang penumpang menyetop mobil ini. Seorang pemuda berkaos Palang Merah Indonesia dan memakai sarung, dan seorang nenek tua. Sekitar hampir satu kilometer kemudian, saat mobil bergerak pelan hampir tikungan, ada lagi seorang ibu tua yang naik. Dialah yang kemudian meramaikan atmosfer mobil di siang yang kerontang ini.

Ibu tua itu berkulit hitam agak keriput, mengenakan baju berwarna kuning, dengan motif bunga-bunga. Jilbabnya warna oranye. Saya tidak bisa melihat cukup jelas, karena dia duduk di kursi tengah, di kursi ekstra yang terbuat dari kayu. Pandangan saya sedikit terhalang oleh dua orang penumpang yang duduk di kursi tengah. Si ibu tua itu mengatakan bahwa dia sebenarnya tadi lama menunggu di pertigaan Prenduan. Tapi akhirnya dia memilih berjalan kaki. Dia khawatir jika terlanjur naik taksi, taksi itu antre lama sekali—seperti pengalamannya sebelumnya.

Belum lama dia naik ke taksi, dia menyodorkan ongkos kepada si sopir taksi sambil menyebutkan tempat tujuannya itu. (Untuk diketahui, taksi ini tak ada keneknya, seperti kebanyakan taksi belakangan ini, karena menurut sopir-sopir rute Prenduan-Ganding, keuntungan yang didapat saat ini sungguh tak seberapa untuk dibagi dengan kenek.) Dia hendak pergi melayat ke Brungbung. Dari belakang saya mendengar si sopir meminta ongkos tambahan. Sepertinya si ibu memberi uang dua ribu rupiah, dan si sopir meminta tambahan seribu rupiah.

“Memang ongkosnya segini, Bu. Sudah lama tarifnya naik, berbulan-bulan yang lalu. Percayalah. Saya tak mau membohongi ibu,” kata si sopir meyakinkan. Si ibu tampak masih bertahan, seperti hendak menawar, sampai akhirnya ia mengeluarkan uang ribuan yang sudah lusuh dan sedikit sobek.

Tak lama setelah ibu itu menggenapi ongkosnya seperti permintaan sopir, dua penumpang yang lain turun karena sudah tiba di tujuan—di sebuah tempat bernama “na-bungkar”. Tinggallah kami berdua di taksi. Setelah itu, dari mulut si ibu, mengalirlah cerita-cerita menarik yang sungguh mengundang haru. Si ibu memulai dengan memberi tahu bahwa ia berasal dari Pamekasan.

“Saya dari Kampung Baru, Pamekasan,” katanya, seperti hendak melengkapi formulir identitas yang tak disodorkan oleh siapa-siapa. Si sopir kontan memberi respons cepat.

“Kenal dengan Toha, Bu?” tanya si sopir.

“Ya, kenal, dia tetangga saya. Dia di timur rumah saya,” si ibu menukas.

“Dia itu paman saya, Bu,” ujar si sopir.

Begitu tahu ada tetangganya yang memiliki hubungan kerabat dengan si sopir, pembicaraan menjadi semakin akrab. Si ibu menanyakan nama si sopir. Sopir itu bernama Idris.

Cerita-cerita pun mengalir semakin lancar. Fakta bahwa si sopir ternyata masih ponakan salah satu tetangganya itu ternyata menjadi semacam pelumas bagi kisah-kisah ibu tua itu yang lainnya.

Ibu tua itu bekerja sebagai pemulung. Jika cukup mujur, katanya, dia bisa meraup untung dua puluh ribu rupiah per hari—atau lebih. Rupanya, nasib si ibu ini masih sedikit lebih baik daripada 3 miliar orang lain di muka bumi ini—yakni separuh populasi manusia—yang hidup dengan uang tak sampai dua puluh ribu rupiah sehari.

Ibu tua itu adalah tulang punggung keluarga. Suaminya sudah uzur dan tak bisa bekerja. Meski tak bekerja, suaminya masih tetap merokok. “Uang rokoknya sehari menghabiskan empat ribu rupiah, Nak. Dan sayalah yang menyediakannya,” kata si ibu menjelaskan pada Idris dengan nada pasrah. “Meski sebenarnya bukan kewajiban saya, setiap hari saya tetap menyediakan uang rokok itu. Mungkin ini bisa menjadi amal kebaikan saya,” lanjutnya.

Si ibu kemudian bercerita tentang anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan tak tinggal bersamanya. Menurut si ibu, garis nasib anak-anaknya tak jauh berbeda dengan dirinya: hidup pas-pasan. “Yang penting semuanya sehat dan selamat, Bu,” kata Idris menanggapi.

Cerita si ibu akhirnya harus berakhir karena Brungbung sudah di depan mata. Sebelum turun, saya menyaksikan peristiwa yang sungguh tak terduga sebelumnya: Idris tiba-tiba menjulurkan dua lembar uang ribuan kepada si ibu tua.

“Bu, ini saya kembalikan ongkosnya dua ribu,” katanya.

Si ibu tertegun sebentar, lalu menerima dua lembar uang ribuan bergambar Pattimura itu. Dengan agak terburu, si ibu berucap, “Terima kasih, Nak. Hatimu sungguh mulia. Semoga Tuhan memberi balasan kebaikan untukmu.” Si ibu turun dari taksi, dan melangkah pergi ke arah barat.

Idris tak berhenti lama. Ia segera membawa mobilnya bergerak ke utara, dengan satu-satunya penumpang di mobil yang dikemudikannya. Saya lalu menyapanya. Idris kemudian bercerita tentang sepinya penumpang yang berakibat pada minimnya uang yang dia dapatkan. Saat mobil menaik di tanjakan yang terkenal dengan sebutan “druksin”, saya mencoba menghitung pendapatan Idris siang ini. Saya nanti akan membayar lima ribu rupiah. Si ibu tua dari Pamekasan tadi cuma diambil seribu rupiah. Dua orang yang turun di na-bungkar tadi sepertinya masing-masing membayar dua ribu rupiah. Jadi, semuanya sepuluh ribu rupiah. Padahal, berapa liter bahan bakar yang harus diisikan ke tangki mobilnya untuk rute sekitar 11 kilometer itu? Yang jelas, meski tahu pendapatannya siang ini cukup seret, Idris tak ragu beramal untuk si ibu tua dari Pamekasan itu.

Selepas Pangurai, ada lagi satu penumpang yang ikut taksi si Idris ini. Penumpang itu seorang gadis yang mengenakan seragam yang cukup saya kenal. Dia murid MA 1 Annuqayah Putri—yang kebagian jadwal masuk siang hari. Idris mungkin akan menerima uang seribu rupiah dari gadis ini. Sempat terlintas dalam pikiran saya bahwa gadis ini mungkin adalah semacam gol hiburan atas kekalahan Idris siang ini.

Tapi, setelah dipikir-pikir sejenak, saya kira pikiran saya itu keliru. Siang ini Idris tidak kalah. Ia telah meraih kemenangan besar. Ia telah mengalahkan “egoisme”-nya, sehingga ia bisa tulus berbagi dengan ibu tua dari Pamekasan itu, meski tahu bahwa dirinya tak bisa berbuat lebih karena hanya di situlah batas kemampuannya.

Saya jadi teringat stiker-stiker calon anggota legislatif yang ditempel di mobil-mobil taksi yang antre di pertigaan Prenduan tadi—yang kebetulan tak saya temukan di mobil si Idris ini. Apakah para calon anggota legislatif itu pernah mendengar langsung kisah orang-orang kecil seperti yang terekam dari atas taksi-taksi rute Prenduan-Ganding ini? Apakah saat duduk di gedung DPR yang megah itu nanti mereka akan ingat, bahwa dulu mereka pernah menempelkan janji-janji manis mereka di kendaraan yang ditumpangi orang-orang bernasib malang ini?

Saya yakin, jika mereka mau mencatat kisah-kisah para penumpang taksi semacam ini, niscaya mereka akan membutuhkan buku notula yang amat tebal. Dan, notulen-notulen yang mereka buat itu kelak akan menjadi saksi, apakah mereka benar-benar dapat menjadi pahlawan bagi orang-orang yang telah lama bermimpi mendapatkan kehidupan hari esok yang lebih baik itu.

Read More..

Selasa, 23 Desember 2008

Sikap Hidup Ideologis

Setelah hampir satu tahun mendampingi siswa-siswa di kegiatan lingkungan, banyak hal yang saya temukan. Pendampingan yang saya lakukan boleh dikatakan serba kebetulan. Di akhir Maret lalu, saya diajak Kiai Naqib untuk ikut kegiatan Environmental Teachers’ International Convention di Kaliandra Pasuruan bersama rekan-rekan yang lain. Sepulangnya dari kegiatan itu, salah satu hal paling berharga yang saya dapatkan adalah “ideologi” lingkungan yang tampak mulai menguat dalam diri saya. Jika jauh-jauh hari sebelumnya saya pernah membaca atau menulis soal lingkungan hidup, saat itu isu lingkungan masih belum terideologikan dalam pikiran dan diri saya.

Saya tidak tahu apakah kata “ideologi” di sini cukup tepat. Saya agak sulit menemukan kata yang lain. Jika dilihat ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi berarti (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan; (3) paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Yang saya maksudkan dengan “ideologi” atau “ideologis” di sini adalah saat kumpulan informasi yang saya peroleh terasa menyelusup tak hanya ke dalam pikiran, tapi juga ke hati, lalu bergerak lebih jauh ke panca indera, mencipta kekuatan yang menggerakkan dan menuntut aksi. Saat melakukan aksi, dimensi ideologis tampak sebagai latar yang kuat yang menjiwai tindakan tersebut.

Dalam konteks kesadaran lingkungan, seperti mungkin juga yang lain, saya merasa bahwa ternyata menanamkan sikap hidup ideologis itu tak dapat dikerjakan dengan mudah. Sepulang dari Kaliandra, alhamdulillah, atas inisiatif sendiri anak-anak di lingkungan sekolah tempat saya mengajar tergerak untuk membentuk satu komunitas pencinta lingkungan yang kegiatannya mendaur ulang sampah plastik menjadi kerajinan. Mereka menamakan diri Pemulung Sampah Gaul atau disingkat PSG. PSG memulai aksinya pada Hari Bumi 22 April 2008 dengan terjun ke tempat-tempat sampah di lingkungan Annuqayah, memulung sampah plastik. Mereka kemudian membuat kerajinan dari sampah-sampah itu. Mereka membuat tas dalam berbagai ukuran dan desain dan atau benda-benda kreatif lainnya.

Rupanya kreativitas anak-anak ini cukup menarik perhatian, karena mungkin memang terbilang unik. Pada saat menggelar pameran karya di sela-sela Haflatul Imtihan Annuqayah di bulan Juli kemarin, banyak sekali pengunjung yang bermaksud membeli karya kerajinan anak-anak. Tapi anak-anak PSG belum siap menjual, karena ritme produksi mereka belum stabil. Lagi pula, tujuan dari pameran karya itu lebih pada sosialisasi isu. Kegiatan PSG kemudian diliput oleh media lokal, yakni Radar Madura dan Madura Channel. Bahkan Madura Channel kemudian mengundang anak-anak PSG untuk tampil di salah satu acara mereka. Anak-anak PSG juga beberapa kali menerima undangan dari sekolah atau komunitas yang meminta mereka untuk presentasi.

Akan tetapi, hingga saat ini saya menemukan bahwa banyak orang keliru menangkap poin penting dari kegiatan PSG. Banyak orang beranggapan bahwa poin penting dari PSG adalah kegiatan keterampilan. Beberapa pekan yang lalu ada dua orang wartawan majalah pesantren daerah Annuqayah yang bertemu dengan saya meminta informasi tentang PSG. Saat pembicaraan baru mulai, saya sudah menangkap kesan bahwa sepertinya mereka sejak berangkat telah menempatkan kegiatan PSG sebagai unit kegiatan keterampilan—tempat siswa/santri diasah keterampilannya. Saya mencoba membelokkan pelan-pelan bahwa ruh kegiatan PSG itu adalah soal pengarusutamaan isu lingkungan dan pembentukan sikap hidup ramah lingkungan. Tapi mereka tetap saja mengembalikan pembicaraan pada kerangka pikir yang mereka bawa: bahwa PSG adalah kegiatan keterampilan.

Sampai di situ, saya mulai masygul dan berpikir, jangan-jangan di antara anak-anak PSG sendiri masih ada yang berpikiran bahwa mereka terutama sedang terlibat dengan upaya peningkatan keterampilan.

Saat saya menceritakan kegelisahan saya ini kepada salah satu rekan lain yang juga ke Kaliandra kemarin, dia ternyata mengalami hal serupa. Ning Oot, yang sudah lama bergiat di pengembangan obat tradisional (herbal) di Annuqayah, juga merasakan hal yang tak jauh berbeda. Menurutnya, beberapa koleganya di unit Herba Madura ada yang kurang paham tentang poin penting dari aktivitas yang mereka lakukan: bahwa ada ideologi lingkungan yang sangat kuat yang melatarinya, bahwa ada unsur pemberdayaan masyarakat di situ, bahwa ada ikhtiar penguatan kearifan lokal, dan sikap-sikap hidup ideologis lainnya.

Saya pikir sikap hidup ideologis ini tak hanya ada dalam isu lingkungan. Ia juga bisa ditemukan pada hal-hal lain, mulai dari yang besar, seperti keberagamaan, hingga aktivitas harian seperti menjadi guru. Guru yang ideologis keluar-masuk ruang kelas tak hanya untuk memenuhi target kurikulum, atau untuk membuat anak didiknya bisa menjawab soal-soal ujian. Guru yang ideologis mungkin seperti Paulo Freire—yang lantang menyuarakan bahwa praktik pendidikan adalah praktik pembebasan. Guru yang ideologis adalah guru yang meletakkan aktivitasnya sebagai ibadah, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang dapat membangun peradaban lebih baik.

Dari sini terlihat bahwa salah satu poin penting dari sikap hidup ideologis adalah komitmen dan kesadaran akan pandangan-dunia yang melatarinya. Sikap hidup ideologis hendak menghindar dari sikap hidup yang dangkal, yang luaran. Ia rindu kedalaman, mencari hulu dari semua hulu.

Saat saya menuliskan catatan pengalaman saya tentang sikap hidup ideologis ini, saya jadi bertanya-tanya: bagaimanakah caranya membentuk sikap hidup semacam itu? Apakah pendidikan kita selama ini telah cukup mampu mengantarkan anak didiknya untuk tak hanya menyerap informasi dan pengetahuan, tetapi juga mematrikannya di lubuk hati, lalu dilabuhkan dalam aksi?

Saya rasa ini sebuah pertanyaan yang sulit dijawab—tapi tak berarti mustahil diselesaikan.

Read More..

Senin, 22 Desember 2008

Hari Ibu: Merayakan Pembebasan Perempuan

Dua tahun yang lalu, di Harian Kompas (22/12/06) Widyastuti Purbani, dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta, menulis tentang salah kaprah perayaan Hari Ibu. Peringatan Hari Ibu di Indonesia dirayakan dengan cara yang mirip dilakukan di banyak negara, terutama Amerika Serikat, dalam merayakan Mother’s Day. Pada Hari Ibu, masyarakat mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Ada yang menggelar lomba memasak. Ada juga dengan membebaskan para ibu dari tugas-tugas domestik.

Padahal, dalam konteks Indonesia, Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember dimaksudkan untuk mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Tanggal tersebut dipilih karena pada 22 Desember 1928 Kongres Perempuan Indonesia I mulai digelar di gedung yang saat ini dikenal dengan Mandalabhakti Wanitatama Yogyakarta. Hari itu dianggap peristiwa bersejarah dalam konteks perjuangan kaum perempuan Indonesia. Penamaannya menjadi “Hari Ibu” memang membuat problematis, sehingga sering disalahpahami.

Perayaan Hari Ibu selama ini tampak “kurang revolusioner”, kurang mengarah ke perubahan progresif, kurang menyuarakan isu-isu mendasar yang dihadapi kaum perempuan, dan cenderung melunak. Apakah ini bagian dari desain rezim untuk meminimalisasi gejolak sosial, khususnya dari kaum perempuan?

Terkait dengan itu, patut diajukan pertanyaan pula, setelah 80 tahun tonggak bersejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia itu berlalu, apa yang terjadi dengan nasib kaum perempuan di Indonesia? Apakah agenda perjuangan kaum perempuan saat itu yang berkumpul serta menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan hari ini telah tercapai?

80 tahun telah berlalu, berbagai orde dan pemerintahan datang silih berganti. Sampai di manakah pencapaian kaum perempuan Indonesia? Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, tingkat buta aksara perempuan usia 10 tahun ke atas sekitar 10,33 persen, sedangkan laki-laki 4,88 persen.

Sementara itu, kondisi kesehatan perempuan Indonesia terbilang masih rendah. Dari berbagai data penelitian, angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan berkisar antara 300 hingga 800 per 100.000 kelahiran hidup. Yang penting digarisbawahi, WHO memperkirakan bahwa 10 hingga 50 persen kematian ibu tersebut disebabkan oleh aborsi (Anshor, 2006: 42-43).

Peningkatan mutu kehidupan di sektor pendidikan dan kesehatan, terutama untuk perempuan, mestinya mendapat perhatian lebih. Pendidikan membuka kesempatan yang tak berhingga kepada perempuan, untuk mendapatkan akses ke berbagai sektor kehidupan lainnya serta untuk mobilisasi sosial. Pendidikan dapat memberikan pencerahan kepada kaum perempuan sehingga ia dapat lebih mudah bergerak dalam kehidupan sosial dan, karena itu, tak begitu saja diperlakukan sebagai jenis kelamin kedua. Singkatnya, pendidikan dapat menjadi kekuatan transendensi perempuan.

Demikian pula, layanan kesehatan yang lebih baik adalah bagian penting dari ukuran peningkatan mutu manusia. Apalagi perempuan secara khusus juga memiliki tugas reproduksi.

Dalam konteks kebebasan, Simone de Beauvoir dalam Pyrrhus et Cinéas menegaskan bahwa kebodohan, kemiskinan, dan mutu kesehatan yang buruk haruslah dilawan karena itu semua menghalangi terciptanya masa depan yang lebih terbuka dan menggerogoti kebebasan ontologis manusia (Kruks, 1998: 50-51). Jika kebebasan efektif menjadi terbatas karena hambatan yang bersifat sosiologis, maka perjuangan untuk membebaskan seseorang atau masyarakat dari berbagai hambatan tersebut adalah juga tuntutan etis yang tak dapat ditawar dan mesti menjadi agenda bersama umat manusia.

Peningkatan mutu pendidikan haruslah diupayakan untuk benar-benar menjadi jalan pembebasan sehingga kaum perempuan diperlakukan sebagai pribadi yang utuh. Di tengah kepungan kapitalisme-global, ada kecenderungan untuk mereduksi perempuan sebagai tubuh belaka. Dengan dalih kemandirian, identitas, dan “kebebasan”, perempuan dibujuk—atau bahkan mungkin “dipaksa”—melalui perangkat pencitraan yang begitu kuat dan masif untuk berhenti pada dan berpuas diri dengan pencapaian ekonomis dan mobilitas sosial yang lebih leluasa yang diraihnya. Naomi Wolf (2004: 129) menggambarkan bahwa di tengah kemajuan pencapaiannya di wilayah publik, kaum perempuan saat ini diserbu oleh Mitos Kecantikan. Melalui mitos ini, perempuan terobsesi sedemikian rupa pada kesempurnaan ragawi yang memenjarakan dirinya dalam lingkaran harapan, kesadaran diri, dan kebencian diri yang tak berujung, ketika ia berusaha memenuhi definisi masyarakat tentang kecantikan sempurna yang tak mungkin terwujud.

Di tengah situasi seperti ini, pendidikan kemudian menjadi media pengantar membentuk pribadi yang kuat, kritis, dan otonom. Perempuan didorong untuk semaksimal mungkin mengolah kebebasan ontologisnya dan meneguhkan kebebasan eksistensialnya menjadi kebebasan efektif yang dapat menyelamatkan dirinya dari sikap malafide—pengingkaran atas kebebasannya dan keengganannya untuk hidup autentik.

Dalam kerangka inilah mungkin semangat tuntutan salah satu rekomendasi Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 untuk penguatan pendidikan untuk anak perempuan (melalui beasiswa, pemberantasan buta aksara, dan sebagainya).

Semangat lain yang patut ditegaskan dalam rangka peringatan Hari Ibu adalah pentingnya kebersamaan (organisasi) dalam mewujudkan cita-cita pembebasan kaum perempuan. Seperti dicatat dalam sejarah, Kongres Perempuan 80 tahun yang lalu melibatkan perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, baik yang berlatar belakang suku, keagamaan, dan sebagainya.

Kebersamaan atau organisasi itu harus dilihat dalam upaya mengefektifkan kebebasan menjadi sebuah proyek bersama atau kehendak positif (Beauvoir, 1948: 25-26). Jika dihubungkan dengan kompleksnya masalah yang dihadapi perempuan Indonesia saat ini, maka makna kebersamaan ini semakin signifikan. Yang tercakup dalam pengertian kebersamaan ini adalah juga persemaian ide secara lebih luas di masyarakat tentang pentingnya langkah bersama mengatasi masalah-masalah kaum perempuan, seperti soal trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, akomodasi kepentingan kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, dan sebagainya.

Di tengah peringatan 80 tahun Hari Ibu ini, bangsa ini perlu menegaskan kembali komitmen untuk menjaga semangat perjuangan pembebasan perempuan, baik dari kebodohan, kemiskinan, perbudakan-akali dari budaya konsumeristik, dan lain-lain.

Read More..

Jumat, 12 Desember 2008

Suara dalam Aksara

Bersama ini kukirimkan suaraku lewat baris-baris aksara. Aksara-aksara pendek yang jumpalitan di udara, diantar serat-serat optik dalam gelombang yang entah seperti apa wujudnya. Aksara-aksara itu diantar oleh nomor tak dikenal. Tapi kau bilang, kau bisa mengenali warna suaraku di antara aksara-aksara itu.

Aku berbisik padamu dengan aksara, seperti hendak mengucap selamat malam atau sekadar menyapa. Saat kau mengeja, suaraku ikut menggema mengiringi bacaanmu, seperti suara guru ngaji di langgar yang ingin mempertegas bacaan Qur’anmu saat kita kanak-kanak dulu. Tolong jangan keraskan suaramu, agar terdengar jelas bisikan dan sapaanku. Perhatikan pula suara gerimis yang menjadi latar suaraku malam ini, di antara derai-derai rintik yang jatuh di atap, melewati daun-daun mangga.

Suara dalam aksara. Tidakkah ini adalah bagian dari rahasia bahasa?
Jogja-Madura, Desember 2008

Read More..

Rabu, 10 Desember 2008

"Lastri" dan Hantu Komunisme

Pengambilan gambar film Lastri karya Eros Djarot menuai protes dari sejumlah masyarakat Surakarta yang menjadi lokasi syuting. Menurut mereka, Lastri menyebarkan paham komunisme. Pro-kontra kembali muncul. Kelompok lain mendukung Eros Djarot dan menggelar aksi massa. Kepolisian setempat akhirnya memberi pernyataan agar Eros mengkaji ulang pengambilan gambar di Surakarta. Eros Djarot pun memutuskan untuk tetap melanjutkan filmnya dengan kemungkinan pengambilan gambar di tempat lain (Radar Solo, 17/11/2008).

Kontroversi pengambilan gambar film Lastri ini sekali lagi menunjukkan kepada kita bahwa hantu komunisme masih tak bisa hilang dari bayangan masyarakat. Dalam benak kebanyakan masyarakat, komunisme identik dengan huru-hara dan pembunuhan massal di sekitar 1965, ideologi anti-Tuhan dan anti-agama, dan label-label buruk serupa.

Masalahnya, komunisme hingga kini masih lebih sering diposisikan dalam konteks subjektif, sehingga justru yang terjadi adalah sikap-sikap kontraproduktif yang di antaranya dapat berupa pengekangan kreativitas dan sikap yang tak toleran. Komunisme yang berada dalam tataran realitas dan bersifat objektif pada saat ini sebenarnya lebih sering berubah menjadi sebentuk citraan tertentu. Sebagai sebuah citraan, komunisme lalu menjadi stigma. Dalam sejarah politik Indonesia, stigma komunisme ini sudah cukup sering digunakan sebagai senjata politik untuk kepentingan tertentu.

Daniel Dhakidae (2003: 420-437) menulis bahwa label PKI, termasuk juga komunisme, adalah ‘reifikasi suatu entitas tersendiri yang merupakan momok, dan karena itu lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri’. Pengertiannya tak lagi berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia historis per se, tetapi bisa dihubungkan dengan apa saja yang tak disukai oleh rezim penguasa saat. Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh, pada tahun 1993 dicap PKI; padahal Marsinah lahir tahun 1969. Orde Baru adalah rezim yang banyak melakukan politisasi atas citra PKI ini, yang dikampanyekan melalui film, buku-buku sejarah yang tak menoleransi versi di luar versi resmi penguasa, politik bahasa, dan sebagainya.

Kuatnya politik pencitraan Orde Baru atas PKI dan komunisme ini tetap terasa hingga era reformasi. Saat Franz Magnis-Suseno menerbitkan buku Pemikiran Karl Marx pada 1999, muncul aksi sweeping dan pembakaran buku-buku sejenis yang dicap komunis. Ini jelas sebuah tindakan yang tidak realistis dan nyaris melecehkan akal sehat, karena Romo Magnis dalam bukunya itu justru menyajikan pemikiran yang kritis terhadap Marxisme dan komunisme.

Darmaningtyas (2008: 13) mencatat bahwa di era reformasi, di momen-momen tertentu ada pihak-pihak yang sengaja menghembuskan isu “kebangkitan komunis” dengan maksud mengaburkan permasalahan bangsa yang banyak diwariskan oleh rezim Orde Baru—rezim yang memulai pemerintahannya setelah tragedi berdarah itu.

Dari sudut pandang beberapa kasus politisasi pencitraan komunisme ini, kita semestinya bersikap kritis dalam membaca kasus film Lastri ini. Sikap kritis ini berarti bahwa kita harus menempatkan persoalan ini dalam kerangka yang objektif, dan berupaya keluar dari pola politisasi (pencitraan) subjektif seperti yang dilakukan Orde Baru. Sikap kritis ini paling tidak berada dalam dua kerangka pertanyaan besar. Pertama, seberapakah kekuatan politis-kultural film Lastri dapat menghidupkan kembali ideologi komunisme? Kedua, faktor apakah yang sebenarnya dapat menjadi bahaya laten bagi bangkitnya ideologi komunisme?

Film Lastri, seperti dijelaskan Eros Djarot (Jawa Pos, 14/11/2008; Koran Tempo, 12/10/2008), mengangkat tema percintaan antara Lastri dan Ronggo, muda-mudi yang aktif di organisasi under bow PKI. Cinta mereka tak berakhir di pelaminan, karena mereka menjadi buronan pemerintah. Mengira Ronggo telah tertangkap dan dibunuh, Lastri menikah dengan seorang perwira TNI. Menurut Eros Djarot, film ini hendak bertutur tentang kekuatan cinta. Yang menarik, judul Lastri, menurutnya, bisa dibaca dua macam: Lastri sebagai tokoh perempuan di film ini (yang diperankan oleh Marcella Zalianty), atau Last RI. Maksudnya, jika tak bisa merawat persatuan, ini adalah akhir dari RI.

Dengan alur cerita seperti ini, relevankah kekhawatiran pihak penentang tersebut, bahwa film ini dapat menyebarkan komunisme? Salah satu unsur intrinsik film ini, yakni pesan atau amanat yang hendak disampaikannya, justru sebenarnya mendorong nilai-nilai yang sangat selaras dengan Pancasila yang sering digembar-gemborkan para pejabat negara dalam pidato-pidato, yakni tentang persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, kekhawatiran para penentang itu sebenarnya terlalu berlebihan dan sulit mendapatkan pembenaran.

Masuk ke titik persoalan yang lebih mendasar, dalam setiap kasus dugaan akan penyebaran ideologi komunisme, kita sewajarnya mempertanyakan: situasi objektif apa yang sebenarnya rentan menyuburkan komunisme? Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu sumbangan positif komunisme adalah bahwa ia mengemukakan kritik sosial yang amat tajam atas ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat (Harsja W. Bachtiar, 1986: 131-132). Komunisme selalu mempertanyakan: siapa yang paling diuntungkan oleh suatu kebijakan atau situasi sosial?

Komunisme tak lahir dari ruang kosong. Dari gambaran di atas, tampaklah bahwa komunisme sangat mungkin menjadi gagasan yang menarik bila keadilan sosial tak kunjung berhasil diwujudkan oleh negara, bila ketimpangan kelas begitu tampak mengemuka, bila yang sejahtera hanya segelintir elit warga. Karena itu, salah satu obat yang paling manjur untuk menangkal komunisme adalah dengan mendorong lebih kuat terwujudnya tatanan kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan—bukan dengan menjadikannya sebagai hantu dan simbol kejahatan. Kemiskinan adalah bahaya laten yang tak hanya rentan mengundang kekufuran—seperti sering dilontarkan para agamawan di mimbar-mimbar—tapi juga rawan memalingkan warga pada ideologi-ideologi lain yang menjanjikan pembebasan dari kesulitan hidup yang mereka hadapi.

Dari kasus kontroversi film Lastri ini, kita bersama dituntut untuk dapat memberikan pendidikan kewargaan yang lebih jernih dan cerdas kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat kembali terjebak dalam politisasi simbol dan citraan yang bercampur dengan polusi kepentingan.

Read More..