Selasa, 18 November 2008

Nonton Laskar Pelangi

Sore itu, akhirnya saya berkesempatan untuk nonton film Laskar Pelangi. Seusai acara di Sampoerna Strategic Square, saya mengajak Daman untuk nonton di Plaza Semanggi. Ternyata tak hanya Daman, rombongan kami dari Annuqayah yang lain pun tertarik untuk menyaksikan film yang memecahkan rekor penonton itu.

Tidak seperti yang diperkirakan, tak ada antrean panjang di bioskop sore itu. Mungkin sore bukan jam tayang favorit, karena memang ternyata untuk jam tayang berikutnya, penonton sepertinya lebih berjubel mengantre di loket. Kami berenam langsung menikmati pemutaran film berdurasi 2 jam 5 menit itu.

Di antara teman-teman, hanya saya yang tuntas membaca novel itu. Kebanyakan di antara kami bahkan masih belum membacanya. Namun demikian, kami benar-benar dapat menikmati film karya Riri Riza dan Mira Lesmana itu. Saya, yang sudah berbekal berbagai komentar teman atau pakar yang dibaca di koran atas film ini, diam-diam juga berusaha memberikan penghakiman atas karya yang diangkat dari novel fenomenal karya Andrea Hirata tersebut. Tapi terus terang, saya berusaha keras untuk tidak apriori dan bersikap adil membaca film ini.

Karya audio-visual memang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Saya sepakat dengan Slamet Rahardjo Djarot yang juga ambil peran di film itu dan berpendapat bahwa keindahan karya sastra paling banyak hanya dapat diserap 70% dalam karya audio-visual. Nuansa dan mukjizat kata-kata tak mampu ditangkap penuh oleh suara dan gambar. Tapi tentu saja, suara dan gambar punya bahasa tersendiri yang menjadi nilai lebih mereka.

Meski begitu, bukan berarti film Laskar Pelangi ini kemudian menjadi lebih buruk dari novelnya. Menurut saya, Riri Riza telah berhasil menyiasati karakter bahasa khas audio-visual untuk bisa menghasilkan karya yang tak kalah bagus. Yang paling terlihat adalah bagaimana Riri bisa meminimalisasi bagian-bagian hiperbolis dalam novel Laskar Pelangi itu. Riri berhasil lebih membumikan alur cerita.

Saat membaca versi novelnya, saya sulit sekali untuk menerima pemaparan tentang Mahar yang menyanyikan lagu Tennesse Waltz di depan kelas. Adik saya yang cukup lama malang melintang di dunia musik hingga ke wilayah-wilayah yang tak biasa, ketika itu saya tanya dan mengaku tak mengenal lagu itu. Jadi, bagi saya, lagu itu terlalu berat untuk seorang Mahar yang tinggal di pedalaman Belitung. Dan Riri, di film itu, kemudian mendamaikan keberatan saya itu dengan menggantikannya dengan lagu Seroja yang terdengar lebih familiar. Bagi saya ini tampak sebagai pilihan yang bijak.

Yang lainnya adalah kisah perdebatan di forum cerdas cermat antara Lintang dan tim juri. Lagi-lagi, Andrea buat saya berkisah dengan hiperbola. Gagasan tentang teori warna Descartes-Aristoteles-Newton dalam konteks perdebatan yang cenderung filosofis terasa terlampau berat untuk anak dan konteks cerita di sana. Dan Riri kemudian menggantikannya dengan hitung-hitungan yang relatif lebih sederhana. Masih dalam kasus cerdas cermat, Andrea mengisahkannya dengan kurang menegangkan, karena di versi novel dikisahkan bahwa Lintang memborong nyaris semua pertanyaan dengan jawaban yang benar. Tapi Riri membangun suasana yang menegangkan dalam lomba cerdas cermat itu—selain juga nuansa humor dan satir yang khas, seperti juga di bagian yang lain di film itu.

Kemenangan Riri yang lain dalam karyanya itu tampak menguat di bagian akhir film, saat Riri menampilkan adegan perpisahan Lintang dengan teman-temannya. Semua penonton dibuat tersihir, tertegun, dan larut dalam suasana yang sungguh mengharukan itu. Teman di sebelah tampak tak kuasa menyembunyikan kesedihan dan keharuannya.

Begitulah. Di akhir pertunjukan, saya merasa cukup puas dengan film ini. Tentu ada kekurangan yang tak terhindarkan. Penonton film ini ada yang berharap tampilnya bagian-bagian menarik dari novel yang ternyata harus tersingkir—tentu karena harus berkompromi dengan keterbatasan durasi. Tapi, kalau mau jujur, novel pertama Andrea itu pun juga tak lepas dari kekurangan, seperti tiadanya plot (yang padu), ending yang kurang mengesankan, dan lain-lain.

Demikianlah. Gagasan dapat disampaikan melalui berbagai saluran. Dan, kedua karya ini, novel dan film Laskar Pelangi, paling tidak telah sama-sama cukup kuat untuk memberikan gambaran yang cerdas tentang tragedi dan ironi dunia pendidikan di negeri ini.


Baca juga:
>> Sebelum Riri Menghukumku

1 komentar:

Nadya Pramita mengatakan...

Hai must,
Lama nggak ketemu di blogmu,
sebelum akhirnya aku benar-benar punya waktu untuk mengunjungimu.
Kebalikan denganmu, aku menonton dahulu filmnya dua kali baru hari ini ku bisa tuntaskan membaca novelnya. Seperti kukatakan baru hari-hari ini ku punya waktu untuk diriku sendiri, sebelumnya waktuku hanya untuk pekerjaanku, keluargaku..
Kembali ke Laskar Pelangi,
aku tak banyak mengerti bahasa sastra, namun di film-nya aku merasakan ending yang terlalu terpaksa, sedangkan di novelnya aku juga merasakan kurang pas di endingnya.
Kisah di film memang lebih masuk di akal dari pada ketika aku membaca novelnya. Apa yang kau bilang hiperbola itu, aku bilang tidak masuk di akal mengingat aku adalah seorang guru SMP, dan guru matematika pula. Dari kisah hitungan yang sanggup dilakukan oleh Lintang, lagu yang dinyanyikan Mahar semuanya terasa tidak masuk di akal, kecuali memang karena itu hanya fiksi dan khayalan belaka.
Setahuku hitungan diferensial/integral luas tidak ada di materi Matematika SMP manapun. Begitu juga cincin Newton itu aku juga belum pernah dengan di SMP siswa ada mendapat pelajaran fisika sedalam itu, mungkin baru masuk akal kalau soal itu munculnya di OLIMPIADE FISIKA Nasional tingkat SMA, ini cerdas cermat SMP tingkat daerah?
Trus juga guru yang sama mangajar 9 tahun dari SD kelas 1 hingga SMP kelas 9 mungkinkah ya must? Kalau di sekolah umum sih itu tidak mungkin, saya kurang tahu kalau itu sekolah Muhammadiyah, tapi ko rasanya nggak mungkin ya. 1 guru untuk SEMBILAN tahun? Wah murid-muridnya bisa jadi CETAK BIRU-nya si guru dong?
Wah komennya panjang sekali ya...
kayak mau bikin forum diskusi saja.
Tapi sebenarnya secara keseluruhan sih saya suka dengan novel maupun film-nya. Inspiratif.