Sabtu, 01 November 2008

Hutan itu Saudara Kandung Kita


“Suatu masyarakat tidak hanya didefinisikan berdasarkan hasil ciptaannya, namun dari segala hal yang mereka tolak untuk dihancurkan.”

—John Sawhill, mantan Presiden/CEO The Nature Conservancy


Manusia modern hidup semakin menjauh dengan alam. Produk-produk teknologi yang semakin canggih dari waktu ke waktu memutus kesadaran akan ikatan suci manusia dengan alam. Manusia seakan menjadi makhluk asing yang tak punya hubungan silsilah apa-apa dengan alam. Karena itu, manusia kemudian merasa seperti tak punya beban untuk mengeksploitasi alam demi memenuhi kepentingannya yang sempit. Tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya dipandang sebagai hadiah yang boleh dipergunakan dengan cara apa saja.


Fenomena terpisahnya kesadaran manusia sebagai keluarga besar alam semesta ini dapat kita saksikan mulai dari tingkat yang paling sederhana hingga yang lebih luas dan masif. Dalam beraktivitas sehari-hari, kepekaan indera manusia cenderung semakin menyusut. Penglihatan, pendengaran, perasaan, yang semula terlatih menangkap isyarat-isyarat alam yang kemudian ditafsirkan dan dijadikan landasan beraktivitas, kini telah tergerus digantikan oleh perangkat-perangkat teknologi (Vaquette, 2001: 3-7). Jika dahulu orang mengidentifikasi pergerakan waktu dengan panca inderanya, seperti halnya para pelaut yang dipandu oleh bintang, saat ini manusia menggunakan arloji dan berbagai perangkat teknologi serupa. Jika dahulu cuaca diamati dan diramalkan berdasarkan fenomena alam, dan itu menuntut pengaktifan panca indera manusia secara cermat dan total, maka saat ini manusia hanya menerima secara pasif hasil laporan badan meteorologi dan geofisika.


Perangkat teknologi produk peradaban modern melahirkan efek samping negatif berupa penyusutan fungsi penginderaan manusia. Hal ini terjadi karena pada dasarnya teknologi modern berpijak pada kerangka epistemologi Cartesian dengan prinsip clara et distincta (jelas dan terbedakan). Itulah salah satu ciri pembeda peradaban modern dengan peradaban tradisional. Modernitas di antaranya berpegang pada prinsip kepastian. Ia hendak meringkus realitas dengan senjata sains, sehingga segala sesuatu dapat diperhitungkan dengan eksplanasi yang pasti.


Di pedesaan, berbagai permainan tradisional yang banyak mengolah dan mendekatkan anak-anak dengan alam sudah tergantikan dengan permainan modern yang mekanis. Tak ada lagi anak-anak yang bermain pelepah pinang seperti digambarkan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi, gobak sodor, atau mobil-mobilan dari pohon pisang. Gantinya adalah playstation, dan semacamnya (bdk, Anindita, 2006). Dengan begitu, sejak kecil, panca indera kita tak lagi terlatih untuk akrab dengan alam. Karena itu, sejak kecil kita kehilangan kepekaan untuk memahami dan menyadari bagaimana agar alam dapat tetap lestari. Sejak kecil kita tak diarahkan untuk terbiasa berpikir agak panjang saat membuang bungkus permen yang terbuat dari plastik. Kita tak dididik untuk menyadari betapa tanah yang diserbu sampah plastik itu akan menderita karena harus bersusah payah menghancurkan limbah plastik itu hingga waktu puluhan tahun.


Dengan latar kesadaran seperti ini, jangan heran jika kerusakan hutan di negeri kita sangat luar biasa. Buku Rekor Guinness 2008 mencatat Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Pada tahun 1950, 84 persen daratan di Indonesia—yang disebut Zamrud Khatulistiwa—adalah hutan lebat menghijau. Akan tetapi, pada tahun 2005, angka itu susut menjadi 43 persen. Masih menurut buku Rekor Guinness 2008, dalam satu jam, Indonesia kehilangan hutan seluas 300 lapangan sepak bola. Menurut Greenpeace, dalam separuh abad terakhir, Indonesia telah kehilangan separuh hutannya. Sementara itu, laju penggundulan hutan di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 3 juta hektar per tahun (Majalah Tempo, 9 Desember 2007).


Kerusakan hutan di Indonesia yang begitu parah ini sejalan dengan pembalakan liar besar-besaran yang tak cukup tertangani secara tegas oleh aparat hukum. Tim Gabungan Markas Besar Kepolisian RI dan Departemen Kehutanan memperkirakan kerugian negara akibat penjarahan hutan mencapai Rp 32,4 triliun per tahun. Akibatnya, beberapa tahun terakhir ini bencara banjir dan longsor begitu sering terjadi. Walhi mencatat bahwa kerugian langsung dan tak langsung akibat banjir dan longsor rata-rata Rp 20 triliun setiap tahun. Data Bakornas Penanggulangan Bencana Alam menunjukkan, sepanjang 2007 terjadi 379 bencana alam, yang 67 persen di antaranya merupakan banjir dan longsor, yang membuat 918 orang meninggal atau hilang serta merusak 200.000 rumah penduduk. Penjarahan hutan secara berjamaah ini melibatkan suatu komplotan besar yang terjaring rapi di antara para cukong, penadah, oknum aparat kepolisian, dan pejabat lokal (Majalah Tempo, 20 April 2008; Guciano, Kompas, 5 Juni 2008).


Kepekaan pemerintah terhadap masa depan hutan di Indonesia terlihat sudah luntur semenjak awal pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, sektor kehutanan adalah pemasok devisa paling besar setelah minyak dan gas bumi. Dengan dukungan perangkat Undang-Undang Kehutanan yang menyatakan bahwa negara memegang kekuasaan atas setiap jengkal hutan, pemerintah tak peduli dengan perluasan kebun sawit yang menghabiskan puluhan juta hektar hutan atau arus permintaan industri kayu dan bubur kertas (74 juta meter kubik per tahun) yang sama sekali tak imbang dengan daya pasok bahan baku hutan yang lestari (20 juta meter kubik per tahun) (Majalah Tempo, 9 Desember 2007).


Tentu saja, di balik berbagai tragedi “ecocide” ini juga terdapat aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan masyarakat miskin yang juga menjadi variabel bagi kerusakan hutan (juga aspek politik, tentunya). Meski begitu, selain peranannya yang tak cukup signifikan, hal yang ingin ditekankan di sini adalah soal bagaimana penyikapan seluruh elemen bangsa ini atas masalah kehancuran hutan yang terlihat kurang peka untuk memahami bahwa ini adalah masalah yang serius. Para ilmuwan mencatat bahwa deforestasi menyumbang 20 persen emisi CO2 yang diakibatkan manusia, yang kemudian menimbulkan efek perubahan iklim (atau pemanasan global). Dan perubahan iklim telah memunculkan sejumlah akibat yang mengancam masa depan manusia (lebih lanjut, baca: National Geographic, “Perubahan Iklim”, Edisi Spesial 2008; Majalah Tempo, 27 April 2008, rubrik Lingkungan).


Mengubah keadaan rusaknya hutan dan menumbuhkan kepekaan tentang kesadaran lingkungan yang menipis di kalangan masyarakat kita, jika kembali pada sudut pandang asumsi awal tulisan ini, akan mengantar kita pada upaya untuk membangunkan kembali panca indera kita dari tidur panjangnya yang telah membuatnya lupa akan persaudaraan suci manusia dan alam raya. Manusia harus direkatkan kembali dengan alam. Harus ada upaya-upaya yang padu agar manusia dapat lebih merasakan ikatan primordial ini.


Pada tataran abstraksi etis, kita harus tiba pada titik kesadaran bahwa manusia memiliki kewajiban moral untuk merawat komunitas biotis (termasuk tumbuhan dan hewan) atas dasar pertimbangan bahwa seluruh kehidupan dalam komunitas biotis itu perlu diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama. Paradigma ini berupaya menggeser pandangan antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan etis—yang cenderung menggiring manusia untuk mereduksi alam sebagai sumber daya ekonomi belaka (Keraf, 2006: 33-74). Pada tataran ontologis seperti dalam kerangka penjelasan Martin Heidegger (Hardiman, 2003: 51-64), kita sepertinya perlu memindah komunitas biotis itu tidak dalam kategori Vorhandenes (benda-benda yang bukan alat, yang tersedia begitu saja), tetapi sebagai Mitdasein, sebagai setara dengan manusia. Sesungguhnya, bila dicermati secara mendalam, modus eksistensi komunitas biotis itu adalah Mitsein (Ada-bersama), sehingga sikap dasar kita sehari-hari terhadapnya mestinya adalah Fürsorge (merawat, memelihara, melestarikan).


Paradigma etis ini mesti ditanamkan mulai dari tingkat individu hingga melebar ke anggota masyarakat yang lebih luas. Perubahan paradigma ini adalah perubahan cara pandang atau bahkan perubahan filsafat hidup (pandangan dunia, Weltanschauung). Sebagai sebuah kerangka pandang yang bersifat abstrak, tentu saja ia harus dilabuhkan dalam praktik dan strategi yang lebih konkret. Pada titik inilah, maka pendidikan lingkungan menjadi sebuah isu yang sangat penting dan strategis, untuk menanamkan paradigma baru yang mencerahkan dalam memandang alam dan lingkungan, yakni “untuk mengembangkan kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan dan saling ketergantungan antara manusia, tumbuhan, dan hewan di bumi ini” (Keraf, 2006: 82).


Secara lebih spesifik, pendidikan alam dan lingkungan untuk merangsang kepedulian tentang pelestarian hutan pada tingkat yang paling dini dan mendasar diselenggarakan dengan menghidupkan kembali kepekaan panca indera manusia yang sudah tumpul. Mulai tingkat pendidikan dasar, anak-anak harus diakrabkan dengan alam, sehingga dalam diri mereka nanti akan terpatri bahwa alam adalah saudara kandung kita. Ini adalah inti dari pendidikan penginderaan, yang merupakan strategi awal untuk mendekatkan manusia dengan alam. Dalam pendidikan penginderaan, diasumsikan dua arah komunikasi antara manusia dan alam. Pertama-tama, manusia dilatih untuk dapat menerima secara aktif berbagai informasi dan sapaan alam. Dengan dasar penangkapan dan penerimaan aktif itulah, maka manusia akan dapat mengekspresikan sikap yang ramah terhadap alam (Vaquette, 2001: 11-14).


Anak-anak diajak bermain secara langsung dan menjalin kontak dengan alam. Ekopedagogi dalam hal ini harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Melalui berbagai mata pelajaran, mulai dari biologi, kimia, fisika, geografi, sosiologi, ekonomi, bahkan agama, pendidikan alam ini dapat secara langsung diselenggarakan dengan terjun langsung ke hutan, misalnya. Biasanya, belajar langsung di alam terbuka sangat mungkin menjadi wahana belajar yang bersifat interdisipliner, dengan menjadikan ekopedagogi sebagai perspektif yang ditanamkan secara padu. Dalam bentuk kegiatan yang lebih konkret, anak-anak dapat diajak mengunjungi sumber air dan atau kawasan hutan dekat sekolah, dan mencoba bersama-sama membaca berbagai fenomena alam di situ dengan bermacam sudut pandang mata pelajaran yang berbeda-beda. Sosiologi dan ekonomi memberikan pengamatan tentang bagaimana mata air atau kawasan hutan itu dimanfaatkan secara sosial-ekonomi oleh masyarakat. Pelajaran berbasis sains, seperti biologi dan kimia, memberikan pengamatan ilmiah, berkaitan dengan tingkat ketercemaran, atau analisis-analisis sederhana atas ekosistem di situ. Persentuhan langsung alam seperti ini diharapkan dapat memupukkan kesadaran dan kepedulian mereka untuk ikut menjaga kelestariannya.


Ekopedagogi pada tahap awal memang banyak mengeksplorasi aspek kesadaran subjektif manusia. Ekopedagogi ingin mengajak tiap individu untuk memulai perubahan dari dalam, ingin menyapa manusia untuk lebih peduli dan lebih bertanggung jawab. Dewi Lestari (Pikiran Rakyat, 23 Juli 2006) memberikan contoh yang sederhana tetapi cukup mengena tentang hal ini. Kita sebagai individu, misalnya, didorong untuk menanam dan merawat satu pohon untuk menegaskan pesan moral bahwa kita bertanggung jawab atas suplai oksigen kita masing-masing. Contoh tawaran solusi seperti ini jika diperhatikan sudah beranjak dari tahap pendidikan penginderaan yang sederhana ke tahap upaya penegasan nilai moral akan tanggung jawab dan kepedulian atas alam yang lebih luas. Akan tetapi, keduanya tetap berada dalam kerangka pendekatan subjektif, yakni bagaimana agar manusia dapat merasakan alam sebagai saudara kandungnya.


Dalam ruang lingkup yang lebih luas, penanaman kepedulian atas kelestarian hutan yang berpijak pada asumsi keterlepasan ikatan manusia dengan alam akan menghasilkan rekomendasi untuk mendorong upaya pelestarian hutan dengan penguatan partisipasi masyarakat setempat. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat lokal untuk ikut merawat hutan. Dengan luas 12 persen wilayah daratan bumi yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi, upaya pelibatan masyarakat lokal untuk ikut membantu melindungi alam dan kawasan hutan belakangan semakin disadari urgensinya. Pembentukan taman nasional saja tidak cukup tanpa upaya-upaya yang lebih serius untuk mengajak masyarakat setempat menjaga kelestarian hutan. Apalagi, masyarakat lokal yang tinggal dekat hutan biasanya memang telah memiliki kearifan lokal yang bersifat kultural dan disosialisasikan secara turun-temurun untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem (dan hutan pada khususnya) di wilayah mereka. Konsep alas tutupan, misalnya, merupakan salah satu khazanah masyarakat lokal di wilayah Gunung Merapi yang menggambarkan upaya mereka menjaga keseimbangan hutan (Anindita, 2006: 22-24, xx).


Menyelamatkan hutan dengan pelibatan masyarakat terbukti menjadi kunci penting dalam upaya konservasi yang sukses. Sebuah data mengemukakan bahwa 91 persen dari 600 lebih kawasan perlindungan laut di Filipina dikelola masyarakat setempat, dan sebagian besar terinspirasi oleh kisah sukses masyarakat nelayan di Pulau Apo Filipina dalam merawat ekosistemnya (National Geographic, “Detak Bumi”, Edisi Spesial 2008).


Di Indonesia, upaya semacam ini sebenarnya sudah dimulai di beberapa kawasan. Masyarakat Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, misalnya, dengan didampingi oleh Yayasan Kaliandra Sejati, telah aktif ikut menjaga hutan pinus di kawasan itu. Perhutani setempat telah menyerahkan pengelolaan hutan produksi di sana kepada masyarakat, dengan syarat-syarat tertentu dan dengan pendampingan dari Kaliandra. Langkah seperti ini juga telah ditempuh Institut Pertanian Bogor dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam mengelola hutan pendidikan yang mereka miliki (Majalah Tempo, 6 April 2008, rubrik Lingkungan).


Langkah ini pada dasarnya kembali kepada asumsi awal yang hendak dibangun tulisan ini bahwa baik individu maupun masyarakat harus direkatkan kembali dengan alam. Mereka harus dapat merasakan secara nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari bahwa keseimbangan dan kelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus dipikul bersama, agar kemudian mereka tiba pada kesimpulan yang terpatri kuat bahwa hutan adalah saudara kandung manusia.


Pendekatan sudut pandang seperti ini, sekali lagi, bertolak dengan menitiktekankan solusi pada aspek subjektif manusia, untuk menarik empati manusia dengan alam dan hutan secara lebih dekat. Tentu saja, solusi lain yang bersifat objektif, seperti penegakan hukum yang tak bisa ditawar-tawar lagi, atau jeda kegiatan penebangan hutan (moratorium logging, seperti yang mulai diterapkan di Aceh dan Papua), merupakan langkah yang tak kalah penting dilakukan. Akan tetapi, upaya menanamkan paradigma baru untuk mendekati alam dan hutan secara lebih holistik memiliki nilai penting yang lebih bermakna karena ia diharapkan dapat menjadi landasan cara pandang yang kokoh dalam mendekati masalah-masalah lingkungan dan kehutanan, sehingga hasilnya akan dapat terlihat mulai dari langkah kecil dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari, hingga dalam membaca kasus-kasus yang berimplikasi lebih luas di masyarakat.


Pendekatan subjektif ini dapat dikatakan sangat dekat dengan gagasan-gagasan yang diusung oleh ekofeminisme, yang berusaha menghidupkan kembali prinsip-prinsip feminin (kedamaian, kasih, kebersamaan), yang tersingkir akibat epistemologi patriarki yang berkarakter mendominasi, mendistorsi, dan mereduksi realitas, sehingga hutan, misalnya, hanya dilihat sebagai himpunan komoditas kayu bernilai material (bdk, Shiva, 1997: 49-69). Dengan cara ini, yang akan lahir kemudian adalah sebuah gerakan environmentalisme yang berperspektif gender, yang hendak menyeimbangkan antara potensi produksi dan konservasi, dan merayakan persaudaraan sejati manusia dan bumi pertiwi (Mother Nature).


Wallahualam.


Bahan Bacaan

Anindita, Aditya Dipta (Ed.), 2006, Alamku tak Seramah Dulu: Cerita tentang 5 Anak yang Bertahan di Tengah Lingkungan yang Berubah, YOI, Jakarta.

Guciano, Marison, “Ecocide!”, Harian Kompas, 5 Juni 2008.

Hardiman, F. Budi, 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Keraf, A. Sonny, 2006, Etika Lingkungan, Cetakan Ketiga, Penerbit Kompas, Jakarta.

Lestari, Dewi, 2006, “Satu Orang Satu Pohon”, Harian Pikiran Rakyat, 23 Juli 2006.

Majalah Tempo, 9 Desember 2007, rubrik Laporan Utama.

Majalah Tempo, 6 April 2008, rubrik Lingkungan.

Majalah Tempo, 20 April 2008, rubrik Laporan Utama.

Majalah Tempo, 27 April 2008, rubrik Lingkungan.

National Geographic, “Perubahan Iklim”, Edisi Spesial 2008.

National Geographic, “Detak Bumi”, Edisi Spesial 2008.

Shiva, Vandana, 1997, Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India, Penerjemah: Hira Jhamtani, YOI, Jakarta.

Vaquette, Philippe, 2001, Belajar Mencintai Alam: 43 Permainan yang Menggugah Penginderaan pada Alam untuk Anak-Anak Usia 5 sampai 12 Tahun, Penyadur: D.M. Wirawati Suharno, Penerbit Djambatan, Jakarta.



Tulisan ini dimuat di Harian Online Kabar Indonesia.


Baca juga:

>> Krisis Lingkungan, Krisis Spiritualitas

>> Menyemai Pendidikan Lingkungan di Sekolah

>> Manusia dan Krisis Lingkungan

>> Sepekan di Kaliandra


0 komentar: