Minggu, 19 Oktober 2008

Sebelum Riri Menghukumku

Empat hari ini aku berjuang keras mengantisipasi hukuman yang mungkin aku terima. Empat hari ini, di sela waktu berbagai macam tugas, di antara sengatan cuaca yang sungguh panas, aku berpacu menuntaskan novel best-seller Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Aku tak ingin Riri Riza mengirim imajinasiku ke penjara, membuatnya tak berdaya dan memborgolnya dengan karya yang ia susun selama setahun.

Alhamdulillah, akhirnya sore ini aku boleh merasa lega dan menang. Jika Selasa atau Rabu besok aku diberi kesempatan untuk menikmati karya Riri, maka mungkin justru akulah yang akan duduk di meja kehormatan untuk menghakimi karyamu, Riri—maafkan aku. Dan, imajinasiku tak bisa menjadi pesakitan yang harus tunduk pada perintahmu.

Aku memang terlambat membaca karya yang paling heboh dibicarakan orang-orang ini. Justru mungkin hanya karena aku tak mau dihukum oleh Riri, sehingga akhirnya aku merasa terdesak untuk segera menuntaskannya.

Dalam catatanku, buku ini sebenarnya sudah aku beli akhir tahun lalu. Waktu itu aku membeli tiga buku karya Andrea, dan langsung aku hibahkan ke perpus sekolah untuk dibaca anak-anak. Untukku sendiri, aku cuma membeli Laskar Pelangi. Itu pun langsung kupinjamkan ke anak-anak yang sudah tak sabar ingin membacanya. Karena kupikir mumpung anak-anak sedang semangat membaca, ya aku kasikan saja. Masing-masing anak kuberi waktu peminjaman 3 hari, karena antrean peminjam sudah menunggu tak sabar. Hingga begitu banyak kisah kagum anak-anak yang tuntas membaca novel ini disampaikan kepadaku, aku tak kunjung menemukan momen untuk mulai melahapnya.

Malah aku membaca buku yang lain. Terjemahan novel Khaled Hosseini yang terbaru, Ayat-Ayat Cinta yang juga telat kubaca dan terdorong untuk membacanya hanya karena tak ingin ketinggalan cerita di kelas, memoar Irshad Manji, novel klasik Belenggu karya Armijn Pane, cerpen-cerpen Linda Christanty, dan buku-buku atau majalah tentang isu lingkungan.

Pertengahan Mei lalu aku nyaris menemukan momentum untuk membaca novel itu. Saat berkunjung ke Jogja atas undangan Penerbit Gramedia, aku sempat mampir berkunjung ke kantor Bentang, dengan niat untuk sekadar kangen-kangenan dengan orang-orang dan suasana kantor. Tiba di sana, aku disuguhi kisah-kisah sukses novel Laskar Pelangi, dan tentang bagaimana novel ini kemudian berhasil mengantarkan Bentang menjadi unit usaha Mizan yang paling banyak meraup untung.

Sepulang dari Bentang, memang sempat terpikir untuk segera membaca novel ini. Ketika itu Pak Kris, pimpinan Bentang, bilang, sekitar Oktober nanti filmnya akan dirilis. Informasi ini ternyata tak cukup mampu memancing seleraku untuk segera membacanya. Novel Laskar Pelangi masih keluyuran kupinjamkan ke orang-orang.

Hari demi hari berlalu. Puasa Ramadan tiba. Di penghujung Ramadan itulah, Riri Riza muncul dengan karya terbarunya: film Laskar Pelangi. Setelah tenggelam sebentar oleh suasana lebaran, orang-orang kembali ramai membicarakannya. Ulasan di koran bermunculan. Komentar dari beberapa rekan kuterima, setelah mereka menonton film berdurasi 2 jam 5 menit itu. Di antaranya, ada yang menulis pesan pendek demikian: “Memang sudah memindahkan bahasa tulisan ke bahasa visual. Menurut saya, Laskar Pelangi mengalami kegagalan yang sama dengan Da Vinci Code. Terasa hambar, miskin suspense..”. Temanku yang lain, yang kebetulan juga terlibat dalam penerbitan novel Laskar Pelangi, juga menyuarakan nada serupa kecewa. Tapi ada juga beberapa teman yang merasa puas dengan karya Riri Riza itu.

Aku tak bisa memberi respons panjang atas komentar teman-teman ini, karena aku malah belum baca novelnya dan juga belum lihat filmnya. Karena sepertinya aku akan punya kesempatan untuk menonton film ini dalam beberapa hari ke depan, maka hari Kamis yang lalu aku bertekad untuk segera membacanya.

Empat hari ini aku kemudian membaca Laskar Pelangi. Empat hari ini aku kemudian menjadi sutradara, sekaligus aktor, aktris, penata musik, penata busana, dan yang lainnya, untuk film berjudul Laskar Pelangi. Durasinya kemudian sekitar 85 jam! Dalam filmku, Andrea Hirata hanyalah produser. Tak ada ongkos 8 miliar. Tak ada casting yang melelahkan. Tak perlu mencari ide di bawah filicium. Cukup beberapa cangkir kopi, ditambah dua bungkus biskuit Roma Malkist. Dan, filmku ini eksklusif. Hanya aku yang menonton dan menikmatinya.

Riri Riza. Sore tadi aku mengumumkan kemenanganku. Bersiaplah menunggu penghakiman dariku. Tapi tenang, aku tak akan memberimu keputusan yang sewenang-wenang.

0 komentar: