Kamis, 04 Oktober 2007

Sampai Di Manakah Kita?


Yulis, tak terasa Ramadan telah memasuki sepertiga yang terakhir. Entah seperti apa rasa lapar dan dahaga yang kita jalani tiga pekan ini membentuk kita saat ini. Adakah yang berubah dengan diri kita dengan itu semua? Yulis, sampai di manakah kita saat ini?

Tahun demi tahun telah berlalu. Tiga tahun terakhir telah berlalu pula. Ramadan datang dan pergi. Pertemuan, perpisahan, suka dan duka, tangis dan tawa, sedih dan gembira, harapan yang redup dan semangat yang menyala, hari-hari biasa, hari-hari istimewa, semua telah kita lewati. Lalu apa yang kita peroleh dari itu semua? Sampai di manakah kita? Di titik manakah aku saat ini, di titik manakah kita saat ini, dalam sulur waktu yang telah ditetapkan Semesta padaku, pada kita?

Yulis. Di penghujung Ramadan ini Kakak ingin mencoba berhitung tentang semuanya. Hutang-hutang Kakak, borok-borok Kakak, tapak jejak Kakak. Adakah masa depan dapat menyisakan cahaya untuk Kakak, untuk kita? Adakah modal Kakak sekarang yang tak seberapa dapat melunasi semuanya?

“Kak, apakah kebaikan itu dapat melunasi dosa kita yang berlepotan?” tanyamu kemarin lusa, di sebuah percakapan telepon jelang berbuka.

“Tuhan Maha Pengampun. Perbuatan baik dapat membasuh keburukan yang kita perbuat. Tentu jika kita tulus melakukannya,” jawabku, sambil mengingat potongan ayat yang menegaskan hal itu.

“Yulis, dalam bentuk yang lebih detail dan lebih luas, Kakak sering gundah saat bertanya: apakah kita pernah merasakan nikmatnya berpuasa? Apakah kita pernah merasakan nikmatnya mencintai Tuhan, mencintai Nabi, mencintai orang tua dan keluarga, mencintai guru, mencintai sesama, mencintai kekasih kita?” Aku terdiam, mendesah sejenak, dan kembali terdiam. Di ujung telepon, Yulis juga terdiam.

“Yulis, pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi, bersama dengan rekam jejak amal perbuatan Kakak di hari-hari yang telah berlalu. Kakak seperti mencoba menghimpun sesuatu yang cukup bernilai dan layak untuk dihitung sebagai “kebaikan”. Tapi Kakak sering sedih dan kecewa, karena tak menemukan apa-apa,” lanjutku.

“Sudahlah Kak, jangan terlalu berkecil hati begitu,” Yulis segera memotong kata-kataku. “Kita masih punya hari ini, juga hari esok. Yang terpenting, saat ini kita mesti bersyukur karena telah diberi anugerah untuk ingat bahwa berhitung, atau evaluasi, atau refleksi, atau—katakanlah—audit internal, sangat kita butuhkan dalam menjalani hari-hari kita.”

“Iya, Yulis. Kakak patut bersyukur bahwa Kakak telah dipertemukan dengan orang-orang yang dapat menjadi cermin hati untuk memperbaiki diri, sehingga Kakak tak senantiasa lupa untuk sesekali bertanya: sampai di manakah kita saat ini? Apa kita sedang berada di sebuah tikungan, tanjakan, atau belantara liar?”

Beduk magrib sudah ditabuh saat Yulis memotong kata-kataku sebelumnya. Tapi kami masih menuntaskan pembicaraan kami—meski tak pernah bisa purna. Masing-masing kami masih menyimpan berbagai kegundahan, tentang hari yang lalu, tentang hari mendatang. Tapi masa tak peduli itu semua. Ia akan terus bergerak di antara makna dan hampa yang kita lalui tanpa terasa.


1 komentar:

m39a mengatakan...

wah... romantis BANGET....
JADI ingat waktu SMP dulu...
duh... kerrong...

tapi betul gak ya.. ni cerita?