Rabu, 22 Februari 2006

Menyelamatkan Islam dari Ekstremisme

Judul buku : The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists
Penulis : Khaled Abou El Fadl
Penerbit : HarperSanFrancisco, New York
Cetakan : Pertama, Oktober 2005
Tebal : 320 halaman



Beberapa peristiwa yang sering dikaitkan dengan latar kekerasan agama, seperti pengeboman WTC, bom Bali, dan semacamnya, hingga tingkat tertentu telah cukup berhasil mencitrakan Islam sebagai agama yang identik dengan terorisme dan ekstremisme. Sentimen anti-muslim mencapai level yang cukup mengkhawatirkan. Ini membuat banyak kalangan muslim mengambil sikap defensif berhadapan dengan klaim dan tudingan yang memojokkan Islam.

Khaled Abou El Fadl dalam buku ini menyatakan sikapnya yang tak cukup percaya bahwa sikap demikian ini akan dapat menghidupkan kembali semangat pesan moral Islam yang sejati. Bagi Abou El Fadl, jalan ke arah itu adalah dengan melakukan semacam introspeksi dan reformasi ke dalam. Termasuk di antaranya memetakan kondisi umat Islam terkini dengan berbagai tantangan yang dihadapinya.

Untuk maksud yang demikian Abou El Fadl menulis buku terbarunya ini. Profesor Hukum Islam dari UCLA tersebut dalam buku ini memberikan pemetaan yang cukup jernih dan gamblang tentang dua arah kecenderungan atau kelompok pemikiran kaum muslim yang menurutnya akan cukup mewarnai wajah Islam di masa depan, yaitu muslim puritan dan muslim moderat.

Gerakan kaum muslim puritan saat ini dimotori oleh kelompok Wahhabi dan Salafi yang memanfaatkan terjadinya krisis otoritas keagamaan dalam Islam, setelah kolonialisme berhasil menyingkirkan peran ulama tradisional dengan berbagai sistem yang mendukungnya. Abou El Fadl menguraikan secara cukup detail bagaimana dua kelompok ini lahir dan berkembang sejak abad ke-18.

Ideologi Wahhabi—yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Semenanjung Arab dan menguat ketika berkolaborasi dengan kekuasaan keluarga Al Sa’ud yang menjadi cikal bakal negara Arab Saudi—saat ini telah menyebar begitu rupa ke berbagai pelosok Dunia Islam. Ini didukung dengan kekayaan finansial mereka yang menguasai sumber-sumber minyak serta kendali atas dua kota suci umat Islam, Mekah dan Madinah.

Dalam persebarannya, Wahhabisme menggunakan bendera Salafisme. Salafisme menolak untuk terikat pada khazanah para generasi ulama terdahulu, menolak berbagai mazhab, dan menyeru untuk langsung mengacu pada Alquran dan Sunnah. Bagi mereka, ini adalah cara untuk menjaga autentisitas Islam. Dalam menafsir sumber-sumber primer tersebut, mereka cenderung memperkecil peran manusia dan memperbesar peran teks. Bagi mereka, makna teks sudah ditentukan oleh Pengarang teks, sehingga pembaca teks hanya bertugas untuk memahami dan mematuhinya saja. Karena itu, pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab pada suatu perbuatan yang mengatasnamakan otoritas agama atau Tuhan bagi kelompok ini dipandang sebagai pertanyaan yang keliru.

Kelompok moderat, yang menerima khazanah tradisi dan memodifikasi beberapa aspek darinya untuk memenuhi tujuan moral iman, percaya bahwa kehendak Tuhan tak bisa sepenuhnya ditangkap oleh manusia yang terbatas dan fana. Peran manusia dalam membaca maksud Tuhan cukup besar, sehingga manusia turut memikul tanggung jawab atas hasil pembacaannya itu. Karena itu, kaum moderat percaya bahwa sikap menghormati pendapat orang lain penting untuk dijunjung tinggi, asal memang dilandasi oleh sikap tulus dan tekun.

Kaum puritan menurut Abou El Fadl saat ini sebenarnya termasuk kelompok minoritas dalam Dunia Islam. Cuma saja, karena mereka memiliki semangat yang kuat serta dukungan finansial yang mencukupi, gaungnya kemudian menjadi cukup terdengar di berbagai pelosok dunia.

Kaum moderat, yang senyatanya merupakan mayoritas, saat ini berkewajiban untuk menyelamatkan reputasi dan semangat Islam yang sejati. Muslim moderat, menurut Abou El Fadl, pertama harus dapat memahami secara baik tentang Islam dan Syariah sehingga cukup memiliki legitimasi untuk berbicara dan mendefinisikan Islam. Muslim moderat juga harus sadar bahwa mereka tengah mempertahankan Islam dari serangan gencar tafsir-tafsir kaum puritan yang menggerogoti pesan moral Islam. Jika kaum puritan lantang menyerukan tindakan yang dapat menjurus pada kekerasan, muslim moderat harus lebih bersemangat untuk mengajak menebarkan perdamaian.

Buku ini mungkin dapat disebut sebagai kajian pertama yang berusaha memberikan penggambaran yang cukup jelas tentang dua kelompok Islam yang berperan penting belakangan ini. Buku ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama memaparkan peta umum yang menjadi panggung pergulatan kaum moderat dan kaum puritan. Bagian kedua memetakan hal-hal yang disepakati serta tujuh tema besar yang menjadi titik kontroversi di antara kedua kelompok tersebut, seperti masalah hukum dan moralitas, interaksi dengan kaum non-muslim, jihad dan peperangan, serta peran kaum perempuan. Secara lebih khusus, Abou El Fadl memberikan banyak catatan kritis tentang bagaimana sebenarnya puritanisme yang cenderung mengarah ke ekstremisme itu memuat sejumlah inkonsistensi di dalam dirinya sendiri.

Buku terbaru Khaled Abou El Fadl ini semakin menegaskan produktivitas dan perhatiannya terhadap isu-isu penting kaum muslim saat ini. Jika dibandingkan dengan karya sebelumnya, yang bisa dibilang sebagai karya besarnya, Speaking in God’s Name (edisi Indonesia diterbitkan dengan judul Atas Nama Tuhan, Serambi, 2004), karya ini lebih bersifat populer dan berusaha menyorot isu dan kecenderungan aktual saat ini, yakni persoalan terorisme (ekstremisme) yang sering dikaitkan dengan Islam. Meski bersifat populer, kedalaman dan ketajaman argumen Abou El Fadl masih jelas terlihat, yang juga memperlihatkan keluasan wawasannya terhadap khazanah Islam klasik.

Nilai kontekstual buku ini terletak pada seruan Abou El Fadl untuk menyelamatkan Islam dari ekstremisme serta bagaimana menghadirkan agama sebagai gugus kekuatan cinta dan semangat humanisme untuk mengatasi nestapa umat manusia saat ini.


0 komentar: