Rabu, 31 Agustus 2005

Gelar Palsu dan Sistem Sosial yang Sakit

Meski desas-desus maraknya gelar akademik palsu telah cukup lama berkembang, baru belakangan kasus ini mencuat ke permukaan, di saat terbongkarnya aktivitas Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) yang berafiliasi dengan perguruan tinggi ilegal Northern California Global University (NCGU). IMGI, yang memiliki 53 cabang di berbagai daerah di Indonesia, dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, dengan membayar sejumlah biaya tertentu.

Ada apa sebenarnya di balik fenomena ini? Apakah ini menunjukkan gairah dan ketertarikan masyarakat pada dunia pendidikan, atau justru sebaliknya, cara pandang yang sakit pada makna pendidikan atau gelar akademik dalam tatanan masyarakat kita? Kasus ini mungkin hanya semacam puncak gunung es dari realitas yang lebih kompleks, yang semakin membuat kita bertanya-tanya tentang dunia pendidikan dan capaian kemajuan masyarakat kita.

Pertama sekali, dalam konteks ini, mungkin akan cukup menarik jika kita mengundang seorang tokoh yang dikenal lantang mengkritik institusi sekolah, yang terkenal dengan karyanya berjudul Deschooling Society (1971), yakni Ivan Illich (1926-2002). Illich mengkritik keras dengan menyatakan bahwa sekolah selama ini hanya menjadi pelayan kapitalisme. Sekolah tidak mengembangkan semangat belajar, menanamkan kecintaan pada ilmu, atau mengajarkan keadilan. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat—selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.

Bila dibawa ke dalam konteks Indonesia masa kini, mungkin kritik pedas Illich akan terkesan ekstrem. Tapi hal yang sangat jelas dari kritik Illich adalah berkuasanya sekolah sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai otoritas untuk memberi legitimasi tingkat pendidikan seseorang. Situasi semacam ini, pada titik tertentu, seperti mungkin yang terjadi di negeri kita saat ini, membuat masyarakat menjadi lebih menghargai gelar akademik ketimbang prestasi atau kompetensi. Sementara orang-orang yang cukup memiliki gelar atau sertifikat akademik tertentu dapat lebih mudah memiliki akses pekerjaan dan partisipasi dalam sistem sosial, mereka yang memiliki prestasi nyata dan kompetensi unik akan menghadapi hambatan teknis yang lebih untuk berkembang dan berkiprah.

Memang benar bahwa sistem sosial kita membutuhkan sebuah sistem atau patokan untuk mengukur kapabilitas seseorang untuk masuk di dunia kerja atau berpartisipasi lebih jauh dalam sistem sosial masyarakat. Akan tetapi, ketika sistem dan patokan yang dibuat menjadi begitu formal dan kaku, yang itu berarti mempersempit ruang gerak mereka yang punya kompetensi tapi tanpa legitimasi formal, maka yang terjadi adalah, meminjam istilah Ignas Kleden (1988: xxx), semacam klerikalisasi. Istilah ini ingin menunjukkan bahwa sejauh ini proses-proses pendidikan tidak mengarah pada pembentukan kelompok masyarakat terdidik yang dapat berperan secara produktif bagi perkembangan kehidupan peradaban bangsa. Pendidikan lebih menjadi panggung penobatan gelar-gelar akademik, untuk kemudian para lulusannya berpartisipasi secara luas dalam birokrasi.

Tak berlebihan kiranya untuk mengaitkan produk dunia pendidikan kita dengan birokrasi; karena sejauh menyangkut fenomena gelar palsu ini, kalangan birokrat, juga kalangan elite sosial masyarakat, terbukti cukup meminati gelar-gelar akademik—terlepas itu diperoleh secara sungguh-sungguh, palsu, atau setengah palsu—yang mungkin saja terasa menambah bobot kewibawaan dan prestise sosial mereka.

Dari sini tampak jelas betapa gelar akademik sebagai bagian dari produk pendidikan ternyata berada dalam status feodal baru—sesuatu yang sebenarnya cukup berseberangan dengan cita-cita pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang semestinya dapat membawa masyarakat untuk terus mentradisikan pola pikir yang jernih, proporsional, dan mengedepankan nilai objektif, justru terjebak dalam simbolisme gelar yang dangkal.

Carut-marut yang berada di balik fenomena gelar palsu ini menggugah kita untuk mempertanyakan kembali peran dunia pendidikan untuk membawa masyarakat ke capaian dan tatanan sosial yang lebih baik dan sehat. Tentu saja jalan keluarnya tidak hanya harus dilakukan dari jalur pembenahan dunia pendidikan itu sendiri. Di satu sisi, dalam konteks gelar palsu dan status simbolik/feodalisme produk pendidikan, ada dimensi kultural yang patut dipertimbangkan. Ini semakin menegaskan perlunya pendekatan-pendekatan atau strategi (kebijakan) pendidikan yang lebih integratif dengan tatanan budaya masyarakat. Bagaimanapun, sulit ditampik bahwa dalam pengertian tertentu fenomena gelar palsu ini juga menunjukkan raibnya aspek nilai dalam proses-proses pendidikan kita; pendidikan cenderung terlepas dari agenda besar bangsa untuk menuju masyarakat yang lebih beradab, dengan terlalu mengaitkan pendidikan dengan dunia kerja.

Di samping itu, tentu ada pula faktor-faktor objektif yang berkait dengan kebijakan tertentu dalam tatanan sosial masyarakat kita, untuk memberi ruang partisipasi yang terbuka bagi mereka yang tak memiliki label atau legitimasi formal (gelar). Bagaimanapun juga ini harus terus dipikirkan dan dicarikan jalan keluar, baik untuk memperluas partisipasi masyarakat maupun untuk mempromosikan cara pandang yang lebih objektif dalam menghargai talenta dan potensi setiap individu dalam masyarakat.

Dengan perbaikan yang lebih menyeluruh dan mendalam kita dapat berharap bahwa dunia pendidikan kita akan benar-benar dapat mengantarkan masyarakat ke titik kemajuan peradaban yang lebih manusiawi.


Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 27 Oktober 2008.

0 komentar: