Kamis, 17 April 2003

Mengenali Diri dengan Cerdas Kata


Judul buku : Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza
Penulis : Hernowo
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, Februari 2003
Tebal : xxxii + 276 halaman


Masyarakat Indonesia pada umumnya masih memandang buku sebagai sesuatu yang mewah. Bahkan di kalangan insan pendidikan pun, buku belum mendarah-daging dalam proses pembelajaran. Kegiatan membaca dan menulis dirasakan sebagai aktivitas elitis yang memberatkan baik oleh siswa atau guru di sekolah dan dianggap sebagai kegemaran sekelompok orang yang biasa disebut orang-orang serius, intelektual, dan pemikir.

Padahal keterampilan membaca dan menulis adalah ruh proses pendidikan dan bisa menjadi basis pembelajaran. Lebih dari itu, menurut Hernowo, penulis buku ini, cerdas kata (word smart) memiliki rentang fungsi yang cukup luas, mulai dari manfaat untuk menjalankan kehidupan sehari-hari (menulis surat, berbicara di depan publik), untuk memantapkan suatu profesi (wartawan, pembawa acara), hingga untuk pengembangan diri dan kepribadian.

Buku ini, yang seperti hendak mengulang sukses buku yang ditulis sebelumnya berjudul Mengikat Makna, diangkat dari pengalaman-pengalaman keseharian penulisnya bergulat dengan dunia pembelajaran dan tulis-menulis, baik sebagai seorang senior di Penerbit Mizan Bandung, guru di SMU Muthahhari, maupun sebagai dosen di STIKOM Bandung. Dari setumpuk pengalamannya itulah, Hernowo dalam buku ini berbagi pengalaman dan pemikiran perihal dunia buku dan kepenulisan.

Terhadap keprihatinan pada minimnya gairah membaca dan menulis khususnya di kalangan pendidikan sebagaimana disinggung di atas, Hernowo menyatakan bahwa kunci pendobraknya adalah revolusi paradigmatik: bahwa buku sebaiknya didorong untuk dipersepsikan sebagai makanan. Lebih tepatnya lagi, buku adalah makanan ruhani yang diperlukan untuk memupuk kepribadian sehingga mengantarkan seseorang pada kematangan diri. Tentu saja, dalam konteks ini, ada keterjalinan yang tak terhindarkan antara aktivitas membaca dan menulis itu sendiri, yang keduanya merupakan wujud dari cerdas kata.

Bertolak dari pemikiran Howard Gardner tentang multiple intelligences yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki delapan macam kecerdasan, Hernowo menduga kuat bahwa cerdas kata ini dapat menjadi gerbang pembuka pada puncak pengenalan dan revolusi diri. Dengan pengenalan diri ini, seseorang akan dapat mengembangkan dan mendewasakan kepribadian serta mendapatkan “mata baru” dalam menatap persoalan-persoalan hidup. Hernowo juga mengutip James W. Pennebaker, psikolog dari Universitas Texas, yang mengungkapkan bahwa seseorang yang dapat mengekspresikan dirinya secara sangat bebas secara tertulis akan tertolong dari serangan depresi.

Untuk tiba pada manfaat luar biasa dari aktivitas menulis itu, Hernowo dalam buku ini memberikan sejumlah trik menarik. Dalam konteks mempersepsikan buku sebagai makanan, Hernowo menganjurkan untuk memulai kegiatan membaca dan menulis dari tema-tema atau hal-hal yang kita sukai dan lekat dengan kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana kita memilih makanan yang kita gemari. Dalam hal menulis, menulis catatan harian menjadi sebuah aktivitas yang bisa menjadi ajang kita melumasi “mesin” menulis atau melemaskan “otot-otot” menulis kita sehingga terus terasah dengan baik. Ekspresi lepas tanpa keterikatan ketat pada pakem-pakem bahasa pada suatu titik dapat memunculkan daya kreatif yang luar biasa. Dalam hal membaca buku kita sudah cukup dibantu dengan adanya beragam bentuk penyajian buku yang dirancang untuk membantu mengenyahkan rasa bosan dan menangkap gagasan secara lebih menyenangkan. Seperti juga halnya makanan, mencicipi nikmatnya membaca dan menulis tidak perlu harus dilahap sekalian, bisa secara ngemil (sedikit demi sedikit).

Menghidupkan semangat membaca dan menulis di lingkungan keluarga dilakukan dengan menyediakan ruang kondusif bagi pembelajaran, dengan menempatkan ruang belajar yang mudah diakses dan mudah terlihat oleh anak-anak (sehingga mempertunjukkan keteladanan) dan membagikan pengalaman membaca dan menulis itu kepada keluarga dengan penyajian yang menarik. Ini juga berlaku di ruang kelas.

Rasa dan aroma bacaan yang sudah kita tangkap itu tidak boleh dibiarkan lenyap. Pengalaman membaca dan kehidupan kita sehari-hari bersifat acak, sampai kemudian ditata dalam sebuah komposisi tulisan yang membermaknakan dan menjalinnya sedemikian rupa sehingga dapat mengekspresikan kedalaman dan kesatuan emosi, gagasan, keinginan, dan harapan kita. Dalam wadah semacam itulah, seseorang mengasah seluruh potensi diri kemanusiaannya. Cerdas kata menggali potensi otak kiri manusia yang berkaitan dengan penalaran logis (ingat, tulisan menuntut struktur logis dan sistematis yang koheren) sekaligus otak kanan yang mengungkapkan kekayaan emosi (sebuah tulisan juga menggambarkan semangat, imajinasi, dan spontanitas).

Refleksi pengalaman dan pergulatan Hernowo dalam buku ini selain banyak menggagas beberapa hal untuk melembagakan kegemaran membaca dan menulis di lingkungan sekolah dan keluarga (dimensi sosial) juga berusaha merangsang optimalisasi potensi kecerdasan manusia dari sisi cerdas kata (dimensi personal-eksistensial). Kelebihan buku ini adalah gaya penyajiannya yang cukup menyenangkan, dilengkapi dengan ilustrasi dan kutipan-kutipan kata-kata menarik, dan memiliki variasi penyajian yang kaya, mulai dari tulisan bergaya makalah, esai ringan, surat, hingga berbentuk tanya-jawab. Hanya saja pemilihan simbol “pizza” sebagai makanan yang berusaha dikaitkan dengan aktivitas membaca mungkin akan terasa kurang akrab di kalangan kelas menengah ke bawah dalam masyarakat kita.


0 komentar: