Minggu, 10 Februari 2002

Mencari Kekuatan dari Sisa Harapan

Judul buku: Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas
Penulis: Paulo Freire
Penerjemah: A. Widyamartaya, Lic.Phil.
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 328 halaman


Orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan yang kebanyakan hidup di negara-negara berkembang memang betul-betul hidup mengenaskan. Sulitnya hidup dalam keterdesakan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, masih ditambah lagi dengan tidak adanya kesadaran tentang fakta keterkungkungan mereka sendiri. Mereka merasa bebas, biasa-biasa saja, dan hidup dengan rasa wajar, padahal mereka sedang dililit struktur sosial yang menelantarkan hidup mereka.

Di sinilah, peran pendidikan (penyadaran) menjadi begitu penting. Adalah Paulo Freire, seorang aktivis pendidikan pembebasan dari Brasil, yang telah cukup dikenal gagasan-gagasannya terutama melalui karyanya Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), yang berusaha menjadikan dunia pendidikan sebagai praksis pembebasan kaum marginal. Buku ini adalah salah satu karya terakhirnya yang berusaha untuk menghayati dan merefleksikan kembali perjuangan dan pemikiran filosofisnya yang tergambar dalam karya sebelumnya itu. Karena itu, buku ini tidak melulu kering dan bersifat teoritik murni, tapi juga kaya dengan data dan pengalaman Paulo yang melatarbelakangi dan memicu perjuangan dan aksi-aksinya.

Ketaksadaran akan keterkungkungan kaum tertindas adalah bahaya yang luar biasa. Dalam buku ini digambarkan bagaimana dalam suatu dialog dengan sekelompok petani Brasil Paulo Freire berhasil membuka mata mereka bahwa ternyata dalam hal tertentu (masalah teknis pertanian) mereka lebih tahu ketimbang Paulo, sedangkan mengenai hal yang lain yang ditanyakan Paulo, para petani itu tidak tahu. Lalu di akhir dialog Paulo mengajukan pertanyaan mengapa ada hal-hal yang tidak diketahui para petani itu. Akhirnya mereka sadar, bahwa dengan ‘menjadi petani’, itu sama artinya dengan tidak mendapat pendidikan, tidak punya apa-apa, bekerja dalam terik matahari, dan bahkan tidak punya harapan. Tapi, naifnya, mereka mengatakan bahwa itu semua adalah kehendak Allah (hal. 63).

Inilah sikap deterministik dalam suatu sistem “kebudayaan diam” yang memang dikondisikan demikian oleh para penindas. Masyarakat dibiarkan hidup dalam kesadaran magis tentang konstruksi sosial di sekeliling mereka. Pendidikan diarahkan untuk merawat status quo dan kemapanan para penindas. Pendidikan hanya dianggap semacam investasi material yang oleh Paulo disebut pendidikan gaya bank.

Melalui upaya konsientisasi (penyadaran) inilah maka masyarakat kaum tertindas berusaha digugah dari tidur panjang mereka. Aksi penyadaran untuk pembebasan ini bagi Paulo adalah bagian dari aksi humanisasi yang merupakan panggilan ontologis manusia, karena manusia adalah pengada yang bereksistensi hidup dengan merangkul kebebasannya (hal. 130).

Dalam terang gagasan pendidikan pembebasan dan konsientisasi ini, kegiatan pembelajaran dengan usaha awal memberantas buta huruf misalnya, bagi Paulo tidak hanya dimaksudkan untuk membuat mereka dapat membaca aksara di antara bab-bab buku, tapi juga agar mereka dapat membaca konstruksi sosial di sekitarnya. Di sini membaca tidak hanya berarti sebagai suatu teknik, tapi juga sebagai pisau bedah realitas yang bersifat kritis.

Selain merefleksikan berbagai pemikiran dan pengalamannya tentang pendidikan kaum tertindas, dalam karya ini Paulo juga banyak mengeksplorasi masalah yang agak filosofis: yakni tentang pengharapan. Selama ini, kaum tertindas juga dibunuh harapan, impian, dan utopianya tentang masa depan yang lebih baik dengan menciptakan mitos-mitos bahwa rakyat miskin itu bodoh, malas, dan tidak punya sesuatu yang dapat diandalkan. Dalam buku ini, Paulo menulis bahwa mimpi dan harapan adalah penggerak sejarah. Tak akan ada perubahan tanpa impian, seperti halnya tak ada impian tanpa pengharapan (hal. 120). Untuk itu, tiap momen sejarah harus dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menyatakan impian dan harapan itu dalam situasi yang lebih konkret.

Di bagian lain Paulo menulis bahwa pengharapan pada hakikatnya adalah kebutuhan ontologis manusia. Sebagai sebuah kebutuhan ontologis, pengharapan memerlukan praktek agar dapat menjadi sesuatu yang konkret-historis. Di sinilah pengharapan tidak hanya bermakna sebagai pengharapan an sich, tapi juga memerlukan langkah perencanaan dan perjuangan untuk meraih tiap kesempatan (hal. 9).

Dalam kondisi Indonesia saat ini, harapan dan impian sepertinya memang menjadi sesuatu yang penting. Setelah sekian lama ditindas dalam sebuah rezim-yang-maha-meliputi, orang-orang memang tidak hanya ditindas tapi juga dipangkas mimpinya tentang masa depan. Karya Paulo Freire yang satu ini pada satu sisi mengajak semua komponen bangsa untuk memulai bermimpi tentang masa depan Indonesia dengan benar, sehingga langkah-langkah perjuangan yang diambil dapat berada dalam kerangka persatuan visi yang kokoh.

Dan semua itu dilakukan tentu saja dengan tetap kembali kepada cermin praksis pendidikan pembebasan ala Freire yang dapat menjadi obor perubahan. Memimpikan sebuah masyarakat demokratis tak bisa dilakukan tanpa disokong oleh suatu sistem pendidikan yang membawa kesadaran masyarakatnya pada suatu cakrawala luas yang membebaskan. Inilah salah satu pintu masuk menuju bentangan Indonesia Baru yang lebih cerah.

0 komentar: