Selasa, 26 Februari 2002

Cermin Tatanan Politik Internasional yang Timpang


Judul Buku: Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?
Penulis: Noam Chomsky
Pengantar: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Kedua, Oktober 2001
Tebal: xlv + 167 halaman


Penyerangan Amerika bersama sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan, yang merupakan realisasi kebijakan politik luar negeri AS paska peristiwa 11 September 2001, telah memunculkan kontroversi di seantero dunia—termasuk di kalangan rakyat Amerika sendiri. Dengan dalih untuk memerangi terorisme internasional, Amerika menghujani Afghanistan dengan serangan-serangan udara yang telah membuat rakyat Afghanistan semakin menderita. Korban rakyat sipil berjatuhan, pengungsi dengan penanganan yang amat minim menyisakan kisah yang menyedihkan.

Pelbagai tragedi kemanusiaan yang merupakan buntut tak berkesudahan dari peristiwa megateror pengeboman WTC dan The Pentagon itu hingga saat ini semakin mengusik kita untuk kembali mempertanyakan: fenomena apa yang sebenarnya berada di balik peristiwa yang disebut terorisme, sehingga fenomena itu tak kunjung terselesaikan dan justru semakin memperburuk wajah dunia. Adakah penyelesaian yang lebih baik dan bersifat mendasar untuk mengatasinya.

Buku yang edisi aslinya terbit pada tahun 1986 dengan judul Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World ini memberikan perspektif yang menarik tentang fenomena terorisme internasional, yang sejak dulu selalu melibatkan aktor penting dalam wacana terorisme, yakni Sang Adikuasa, Amerika Serikat. Noam Chomsky, penulis buku ini, adalah seorang profesor linguistik di M.I.T. kelahiran Amerika Serikat yang justru ditakuti oleh pemerintah Amerika sendiri, lantaran kekritisannya terhadap berbagai kebijakan luar negeri Amerika.

Judul asli buku ini yang kurang lebih berarti Para Bajak Laut dan Kaisar merupakan sindiran tajam terhadap Amerika (atau juga yang lain) yang diangkat dari kisah penuturan St. Augustinus tentang seorang bajak laut yang tertangkap oleh Alexander Agung. Ditanya tentang latar belakang si bajak laut mengacau lautan oleh Alexander Agung, dengan cerdas dia balik bertanya: “Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia?; Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah perahu kecil, aku disebut maling; kalian, karena melakukannya dengan kapal besar, disebut kaisar”.

Dari kutipan kisah ini, Chomsky seperti hendak mengatakan bahwa Amerika sebenarnya adalah juga sosok maling yang sedang meneriakkan maling kepada segelintir kecil maling lainnya. Amerika adalah maling, yang karena menguasai dunia—baik secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya—justru tidak lagi dijuluki maling, tapi “polisi dunia”.

Ini adalah bentuk sikap mendua kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam menyikapi masalah terorisme. Kacamata politik ala Amerika yang semacam ini menurut Chomsky didukung oleh sebuah hegemoni wacana dan kesadaran terhadap seluruh penduduk dunia. Untuk itu, menurut Chomsky, disusunlah “Kamus Besar Terorisme” yang disusun oleh Amerika untuk menaklukkan rasionalitas umat manusia, sehingga berbagai kebijakan luar negeri yang mendua itu terlihat wajar-wajar saja.

Latar belakang Chomsky yang memang merupakan kampiun di bidang kajian linguistik—ada yang menyebutnya sebagai Einstein-nya linguistik—mengantarkan temuannya pada aspek penting pengendalian kesadaran masyarakat dunia melalui bahasa. Chomsky yang juga pernah menulis buku tentang kaitan bahasa dan pikiran dalam buku ini berhasil menunjukkan bahwa meskipun di Amerika kebebasan berekspresi dijunjung tinggi-tinggi sebagai wujud komitmen untuk berdemokrasi, tetapi ternyata pemerintah Amerika menggunakan alat lain dengan menemukan—meminjam bahasa Walter Lippmann—teknik-teknik “pengolahan persetujuan” (manufacture of consent) untuk mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang bakal muncul.

Untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, Chomsky meminjam sebuah ungkapan yang diintrodusir oleh George Orwell dalam bukunya, 1984, yakni newspeak. Istilah yang terjemahan bebasnya kira-kira berarti “omongan gaya baru” ini menunjuk pada manipulasi terhadap pengertian yang lazim atas suatu kata/istilah guna menyesatkan kesadaran masyarakat. Newspeak ini lebih dari sekedar eufemisme, karena ia dapat menjungkirbalikkan pemahaman lazim masyarakat atas kenyataan yang dirujuk istilah tersebut.

Dengan bekerja melalui istilah-istilah itulah, Amerika menghegemoni kesadaran warga dunia sesuai dengan keinginannya. Muncul istilah-istilah seperti “terorisme” dan “pembalasan”, “proses perdamaian”, “ekstremis” dan “moderat”, dan sebagainya. Istilah “terorisme” misalnya, dalam pengertian kamus yang diterbitkan oleh Amerika, mengacu kepada tindakan-tindakan (kekerasan) politik kaum oposisi/marginal yang berada di luar mainstream politik dunia dan tidak sesuai dengan kebijakan serta kepentingan politik Amerika. Sementara itu, bila Amerika bertindak keras terhadap kelompok lain hal itu disebutnya sebagai “tindakan balasan” atau “serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme lebih lanjut”. Dalam konteks kasus Afghanistan saat ini, Amerika menggunakan dalih untuk memburu kelompok teroris (Osama bin Laden, Al-Qaeeda) guna menumpas terorisme internasional.

Sekian banyak istilah-istilah yang diperkenalkan itu, semua pada umumnya disusun dengan menyingkirkan fakta-fakta lapangan yang tidak menguntungkan mereka (Amerika). Istilah “proses perdamaian” misalnya dalam kamus terorisme Amerika hanya menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh pemerintah Amerika. Dukungan kalangan pers Amerika untuk menyebarkan arti istilah ini tampak begitu jelas. Sebuah ulasan di New York Times edisi 17 Maret 1985 ditulis oleh Bernard Gwertzman tentang proses perdamaian di Timur Tengah dengan judul: “Are the Palestinians Ready to Seek Peace” (“Apakah Bangsa Palestina Siap Mengupayakan Perdamaian?”). Pengertian dari pertanyaan ini sebenarnya berada dalam kerangka kamus kesadaran versi Amerika itu, yang arti sebenarnya adalah: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat Amerika untuk perdamaian?

Buku ini dibagi dalam tiga bab. Bab pertama adalah semacam kerangka konseptual tentang uraian-uraian lebih lanjut yang dilakukan pada bab berikutnya. Bab kedua menyajikan kasus terorisme di Timur Tengah yang banyak dilengkapi data-data lapangan yang kurang terekspos. Bab Ketiga mengangkat kasus Libya dalam kancah wacana terorisme. Tulisan-tulisan Chomsky dalam buku ini ditulis dengan nada pamfletis dan bergaya “rap”, sehingga menghasilkan efek-efek psikologis tertentu bagi pembaca.

Terorisme internasional yang dibidik Chomsky melalui perspektif kritisnya dalam buku ini berhasil mengungkapkan suatu tatanan wacana dan tatanan politik dunia internasional yang timpang. Kekuatan politik dan ekonomi yang cukup luar biasa yang dimiliki Amerika dapat dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin warga dunia untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Politik bahasa dan kesadaran yang dilancarkan dan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup menjadi legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.

Hal semacam ini sebenarnya sudah cukup lama dialami secara jelas oleh bangsa Indonesia. Miniatur rezim Orde Baru menjadi pengalaman empiris bangsa Indonesia yang menunjukkan betapa hegemoni kesadaran dengan newspeak-newspeak yang diciptakannya telah cukup mampu mengendalikan nalar politik masyarakat. Pada masa Orde Baru masyarakat diperkenalkan dengan istilah-istilah “Organisasi Tanpa Bentuk”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, “Kelompok Kiri/Komunis”, “Anti-Pancasila”, “Anti-Pembangunan”, dan semacamnya. Padahal, istilah-istilah itu hanya digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan oposisi yang menentang totalitarianisme rezim.

Dalam konteks seperti itulah nilai penting buku ini menjadi tampak bagi masyarakat Indonesia. Pertama, secara implisit dikatakan bahwa dalam iklim kebebasan yang seperti apapun, kita harus tetap waspada terhadap segala macam otoritarianisme yang terselubung dalam kemasan-kemasan bahasa yang dapat menggiring kesadaran publik. Hal ini bisa terjadi tidak hanya dalam kancah internasional, tapi juga dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang paling kecil.

Kedua, kajian terorisme internasional yang dilakukan Chomsky ini mengajak kita untuk melakukan dekonstruksi terhadap pengertian peristilahan-peristilahan yang lazim digunakan itu. Selain itu, fenomena terorisme Amerika yang hegemonik ini dari perspektif Chomsky tidak lain adalah cermin tatanan politik internasional yang timpang. Karena itu, seluruh pejuang demokrasi di seluruh dunia sebenarnya diundang bersama-sama untuk segera membenahinya.

Buku ini penting dibaca agar kita tidak mudah tertipu dengan perbudakan akali yang dapat mengauskan akal pikiran kita sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Kekerasan dan terorisme yang dipertontonkan di panggung dunia ini harus mulai dicarikan jalan keluarnya dengan cara melihat motif fundamental yang melatarinya, yakni ketimpangan tatanan politik internasional itu sendiri. Melalui buku inilah, salah satunya, hal itu menjadi tampak lebih jelas.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 25 Februari 2002.

0 komentar: