Minggu, 14 April 2002

Islam dan Agenda Demokratisasi

Judul buku: Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia
Penulis: Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta
Cetakan: Pertama, 2002
Tebal: viii + 322 halaman

Konsep civil society memang berasal dari tradisi pemikiran politik Barat. Akan tetapi, kehadirannya di wacana lingkungan intelektual Indonesia mulai paruh dekade 1990-an memperlihatkan urgensi dan nilai kontekstualitas yang dikandungnya. Hal ini terlihat dari respon kaum intelektual yang ramai mewacanakan konsep civil society tersebut.

Buku ini berusaha memberikan pemetaan terhadap ragam tafsir wacana civil society di Indonesia, khususnya di kalangan para pemikir muslim. Buku ini membagi kaum muslim Indonesia dalam dua kategori yang sudah cukup klasik: muslim tradisionalis dan muslim modernis. Berkaitan dengan dua kategori ini, sejak awal sudah diingatkan bahwa historisitas dua kategori itu saat ini menunjukkan terjadinya beberapa pergeseran makna dalam dua kategori tersebut. Penyebutan muslim tradionalis dan muslim modernis sudah tidak terlalu berkaitan dengan wilayah keagamaan lagi, tapi lebih dekat dalam wilayah identitas kultural dan sosial.

Buku yang diangkat dari hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta dua tahun yang lalu bertema “Potensi Civil Society di Kalangan Muslim Perkotaan” ini pertama-tama mendudukkan persoalan bahwa merebaknya wacana civil society berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam mulai berpihak pada agenda pemberdayaan masyarakat. Strategi semacam ini ditempuh karena di satu sisi hegemoni negara Orde Baru semakin menguat, terutama dalam kehidupan sosial-politik. Pun juga ketika itu subur corak pemikiran yang lebih menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Indonesia modern.

Sedangkan masalah kecenderungan perbedaan penafsiran dan strategi yang ditempuh oleh dua kelompok muslim Indonesia tersebut dalam buku ini didudukkan dalam kerangka historisitas dan pengalaman sosial-politik kedua kelompok itu sendiri. Muslim tradisionalis yang dalam hal ini identik dengan organisasi NU selama Orde Baru mengalami tekanan-tekanan luar biasa dari negara sehingga tidak memiliki ruang gerak sosial-politik yang cukup leluasa. Tokoh-tokoh NU selalu tidak mendapat tempat, akses, dan kesempatan yang cukup memadai dalam proses-proses politik nasional.

Dengan latar yang sedemikian itu, muslim tradisionalis menerjemahkan konsep civil society menjadi “masyarakat sipil”. Dalam konsep ini, masyarakat sipil dipandang sebagai bentuk resistensi dan perlawanan sosial terhadap ideologi negara yang begitu dominan, sehingga sebagai wahana demokratisasi konsep masyarakat sipil diorientasikan kepada upaya penciptaan posisi masyarakat yang berdaya vis-à-vis negara.

Konsepsi semacam ini yang tumbuh di kalangan NU dipicu oleh dua momentum dalam tubuh internal NU. Pertama, keputusan untuk kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984 sehingga NU memusatkan diri pada gerakan sosial dan budaya. Kedua, tampilnya generasi muda terpelajar NU yang secara aktif mengembangkan tradisi intelektual-kritis.

Bertolak dari sinilah muslim tradisionalis ini kemudian banyak terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan strategi oposisi melalui LSM-LSM dan lembaga kajian strategis berbasis komunitas NU dan pesantren. Di Jakarta ada dua LSM muslim tradisionalis, Lakpesdam dan P3M, yang bergiat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan studi kritis terhadap doktrin-doktrin agama. Di Yogyakarta ada LKiS, yang kini menjadi penerbit buku-buku Islam kritis yang cukup berpengaruh.

Sementara itu, muslim modernis menerjemahkan konsep civil society menjadi “masyarakat madani”. Implikasi pemikiran yang dikembangkan kelompok modernis cenderung bersifat akomodatif terhadap negara. Negara dalam struktur masyarakat madani dipandang sebagai aktor penting untuk membangun demokrasi, sehingga tidak harus dimusuhi. Sikap politik terhadap negara pada kelompok modernis ini tercermin dalam pandangan Dawam Rahardjo, yang menjelaskan bahwa ada tiga sikap terhadap negara dalam kerangka demokratisasi: perlawanan, pengurangan, dan pengimbangan kekuasaan. Oleh karena itu, di samping gencar menganjurkan nilai-nilai keadilan, egalitarianisme, partisipasi dan demokrasi, para intelektual-aktivis muslim modernis ini memandang bahwa kerjasama dengan pemerintah (Orde Baru) adalah salah satu upaya mewujudkan cita-cita civil society, dengan bertolak dari asumsi penciptaan hubungan yang imbang antara negara dan masyarakat.

Nyatanya pemerintah Orde Baru memang cukup mengakomodasi kelompok modernis ini. Selama paruh kedua dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an terlihat beberapa momen peristiwa yang mengindikasikan hal ini: terbentuknya ICMI, masuknya tokoh intelektual muslim modernis dalam struktur kekuasaan, lahirnya produk-produk hukum yang merupakan derivasi dari perjuangan mereka, dan semacamnya.

Sikap akomodatif negara terhadap kelompok ini antara lain disebabkan adanya beberapa potensi sumber daya dan pemikiran yang bersifat substansialis sehingga muslim modernis tidak dipandang sebagai ancaman dan dijadikan mitra pemerintah. Selain itu, asumsi muslim modernis terhadap konsep civil society itu sendiri cukup beragam, sehingga salah satunya membuka peluang bagi sikap terbuka terhadap negara. Substansi civil society bagi sebagian mereka memang bukan perlawanan terhadap negara, tapi unsur “keadaban” tatanan suatu masyarakat. Di sini civil society diterjemahkan sebagai cita-cita pembentukan masyarakat yang islami yang bertumpu pada nilai toleransi, inklusivitas, keadilan dan egalitarianisme, serta partisipasi politik.

Pergulatan dua kelompok muslim Indonesia dalam menafsirkan dan memperjuangkan konsep civil society tersebut yang bermula dari atmosfer pengap Orde Baru telah cukup memberi hasil yang lumayan dalam upaya demokratisasi di Indonesia. Konsep civil society itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari penegakan kesadaran kebebasan manusia berhadapan dengan otoritarianisme-struktural (baca: negara) yang mengabaikan fitrah kemanusiaan tersebut.

Bagian akhir buku ini yang berusaha memberi kesimpulan penelitian ini mengungkapkan bahwa potensi civil society di Indonesia memang cukup besar, baik dalam level visi maupun dalam level institusional-sosiologis. Arah orientasi pemikiran sebagian besar umat Islam Indonesia—baik tradisionalis maupun modernis—yang cenderung mengarah ke model pemikiran substansialis maupun transformatif merupakan modal awal yang dapat menjadi pijakan kokoh landasan gagasan civil society.

Pada level sistem dan organisasi masyarakat, secara historis di Indonesia telah muncul banyak organisasi kemasyarakatan yang lahir dari rahim masyarakat dan berjuang demi pembentukan civic culture yang kuat, yang tercermin dari program-program yang dilaksanakannya. Dalam hal ini terlihat pluralitas jalur yang ditempuh, yang tampak dari garis perjuangan yang dilakukan organisasi seperti Muhammadiyah, NU, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan semacamnya.

Akan tetapi, arah perkembangan sosial-politik di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini memang cukup lain. Genderang reformasi sosial-politik yang ditabuh sejak penghujung 1997 pada satu sisi memang telah cukup mampu melumerkan egoisme kekuasaan yang begitu hegemonik dan totaliter, sehingga akses, partisipasi, dan daya tawar masyarakat vis-à-vis negara menjadi cukup kuat. Fenomena ini pada satu sisi memang dapat dibaca sebagai salah satu wujud keberhasilan perjuangan kelompok-kelompok pengusung gagasan civil society.

Namun ironisnya, belakangan masih tersisa beberapa kecenderungan untuk mengabaikan kembali gagasan civil society tersebut. Bahkan, beberapa elit aktivis-intelektual mulai kembali ke aksi dan pemikiran kontra-civil society, dengan kembali lagi berkutat dalam wacana perebutan kekuasaan. Meminjam bahasa Yasraf A. Piliang, setelah sumber kekuasaan Orde Baru mengalami ledakan eksplosif luar biasa dan berhasil menebar partikel-partikel kekuasaan ke seantero tubuh masyarakat, terjadilah suatu arus balik berupa ledakan implosif yang mengundang seluruh elemen masyarakat untuk merebut berbagai teritorial kekuasaan yang baru saja tumbang itu.

Yang lebih mengenaskan, ledakan implosif itu melahirkan efek domino berupa semakin terabaikannya upaya penyadaran masyarakat dalam berpartisipasi politik yang demokratis. Masyarakat tidak diajak untuk mencerdaskan dirinya, tapi berusaha dimanfaatkan untuk larut dalam arus implosif tersebut.

Dalam terang sudut pandang inilah buku ini menunjukkan nilai kontekstual dan aktualitasnya bagi masyarakat Indonesia. Berbagai potensi kekuatan civil society yang telah sekian lama diperjuangkan itu tidak boleh begitu saja dilupakan hanya gara-gara buaian kekuasaan. Sudah saatnya para pejuang civil society di Indonesia mengingat kembali bahwa agenda demokratisasi bukan hanya bagaimana membangun sistem kekuasaan yang baik. Tapi kerja-kerja sosio-kultural semacam penyadaran hak-hak asasi manusia, pendidikan politik partisipatif, penebaran wacana sosial berbasis kritisisme, atau pemberdayaan kaum marginal adalah kerja-kerja demokratisasi yang tidak kalah pentingnya. Malah, kalau boleh dikatakan, yang terakhir ini memiliki daya tahan yang lebih lama.

Kaum muslim Indonesia dituntut komitmennya untuk menegaskan kembali perjuangan agenda demokratisasi di level kultural yang tertunda akibat euforia reformasi. Ini tidak boleh ditunda-tunda, sebelum keadaan bangsa ini semakin terpuruk.


Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 14 April 2002.


0 komentar: