Minggu, 09 Desember 2001

Belajar dari Pengalaman Islam di Timur Tengah

Judul Buku: Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
Editor: M. Aunul Abied Shah, et al.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 350 halaman (termasuk indeks)


Adalah sesuatu yang sangat ironis bila kobaran elan vital agama di suatu kawasan tiba-tiba lindap diterpa angin waktu. Apalagi hal itu terjadi di tempat kelahiran agama itu sendiri. Ini yang dialami oleh umat Islam di kawasan Timur Tengah ketika beberapa abad terakhir mengalami kemunduran luar biasa baik di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan intelektual. Diawali dengan masuknya kekuatan kolonialisme Barat di Mesir pada akhir abad ke-18, runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani akibat kolonialisme Barat, dan dilanjutkan dengan kekalahan bangsa Arab melawan Israel di tahun 1967, kaum muslim di Timur Tengah digugah untuk mempertanyakan kembali doktrin agama Islam yang dipeluknya: di mana letak kelemahan ajaran mereka sehingga semangat agama mereka itu tidak mampu membendung arus serbuan kekuatan asing, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat sosio-kultural?
Buku yang ditulis bersama oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Mesir ini merupakan sebuah mosaik dan pengantar mengenal pergulatan beberapa intelektual muslim Timur Tengah yang berusaha memaknai dan mengkritisi kembali warisan ajaran agama Islam untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapinya itu. Ada dua belas tokoh yang diperkenalkan, yakni: Hasan Al-Banna, Abd Al-Halim Mahmud, Muhammad Quthb, Amin Al-Khulli, Malak Hifni Nashif Bek, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Imarah, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Ali Harb, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Al-Jabiri.
Kedua belas tokoh muslim ini sebenarnya tidak semuanya seorang intelektual murni, sebab ada beberapa di antaranya yang juga giat dalam kegiatan-kegiatan yang cenderung bersifat politik praktis dalam kerangka memenuhi motivasi ajaran agamanya. Kedua belas tokoh ini pula kurang lebih merangkum berbagai kecenderungan aliran pemikiran yang berusaha menjawab persoalan benturan Islam dan modernitas di kawasan Timur Tengah.
Tokoh pertama yang dipaparkan dalam buku ini adalah Hasan Al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam di Mesir yang juga adalah pendiri organisasi Ikhwan Al-Muslimin. Seperti diketahui bersama, Hasan Al-Banna dengan Ikhwan Al-Muslimin-nya telah banyak memberi inspirasi bagi kelompok muslim lainnya di berbagai belahan dunia, terutama dalam kerangka pembentukan komunitas muslim yang kuat yang tidak lain adalah cita-cita utama organisasi ini.
Setting sosial Islam di Mesir awal abad ke-20 yang mengalami berbagai kemunduran telah mendorong Al-Banna untuk mencari pemecahan yang kurang lebih bersifat ajeg dan kuat, yakni dengan memperkokoh persatuan umat Islam melalui sebuah wadah organisasi serta bersama-sama membangkitkan kembali semangat kemurnian ajaran agama yang nyaris hilang melalui gerakan dakwah yang intens. Dakwah di sini dimulai dari level individu, keluarga, masyarakat, dan komunitas negara dan pemerintahan. Di sini terlihat betapa pada akhirnya pemikiran dan pergerakan Al-Banna banyak bersentuhan dengan wilayah politik, karena dalam pandangan Al-Banna kaum muslim selama ini hidup di bawah payung negara sekuler, sehingga sulit mengaktualisasikan ajaran-ajarannya.
Sementara itu Hassan Hanafi—tokoh lain yang juga lahir di Mesir—berusaha melihat warisan pemikiran Islam dan situasi kekinian yang dihadapinya di tengah-tengah hegemoni kebudayaan asing. Ada tiga poin perhatian dari proyek intelektual Hassan Hanafi, yakni upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi (turats), penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.
Turats (tradisi) yang dimiliki umat Islam menurut Hassan Hanafi selama ini telah banyak tercemari oleh hegemoni feodalisme yang mencekam yang tidak lain akibat ulah tangan kotor para penguasa, sehingga menyisihkan kelompok-kelompok tertindas. Untuk itulah, catatan penting Hassan Hanafi adalah ajakannya untuk bersama-sama mengeksplorasi kembali elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir, dan potensi yang hidup dalam ajaran-ajaran Islam itu demi kepentingan kelompok-kelompok tertindas. Turats, bagi Hassan Hanafi, harus mampu menjadi titik tolak kekuatan yang revolusioner yang membebaskan bagi umat Islam. Dari sinilah lahir sebuah istilah yang cukup unik dari Hassan Hanafi, yakni Islam Kiri (Al-Yasar Al-Islami).
Proyek intelektual Hassan Hanafi penting lainnya adalah gagasannya tentang Oksidentalisme. Oksidentalisme yang secara sederhana berarti studi tentang ke-Barat-an ini dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Selama ini Identitas kultural masyarakat Timur secara lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang hegemonik dan kian tak terbendung.
Selain Hassan Hanafi, ada pula Nashr Hamid Abu Zaid yang mengajukan kritik mendasar terhadap konstruksi nalar umat Islam memandang kitab sucinya, Al-Qur’an. Abu Zaid mengajak umat Islam untuk mengkritisi kembali pemahaman terhadap teks Al-Qur’an. Kritik pedas Hassan Hanafi terhadap nalar umat Islam ini bertolak dari keprihatinannya terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selama ini berkembang, yang cenderung memperlakukan teks (Al-Qur’an) secara terlalu istimewa (mensakralkan teks secara berlebihan), sehingga menjauhkan karakter tekstual wahyu (Al-Qur’an) yang nyata-nyata dimilikinya. Akibatnya, wahyu Tuhan yang awalnya ditujukan kepada manusia sebagai anggota masyarakat dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas demi kebaikan dan kesejahteraan manusia, lambat-laun beralih fungsi lebih dalam wilayah ilustratif-ikonik, yakni dalam kerangka gerak menaik manusia menuju Tuhan.
Untuk itu, Abu Zaid memberikan tawaran kepada umat Islam untuk mengembalikan kaitan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian kritik sastra. Dengan pendekatan ini Al-Qur’an memang dilihat sebagai sebuah respon kultural yang memiliki akar-akar sosiologis.
* * *
Pro dan kontra yang lahir secara alamiah sesuai dengan kecenderungan keyakinan agama yang sudah dimiliki masyarakat mesti terlihat dalam menanggapi pemikiran-pemikiran tokoh dalam buku ini. Dalam buku ini sendiri digambarkan bagaimana beberapa kelompok tertentu melihat beberapa intelektual ini bergerak terlalu berani karena mengotak-atik kesucian wahyu Tuhan—seperti yang dilakukan Abu Zaid dan juga Ali Harb.Akan tetapi, justru dari berbagai perbedaan itulah kita dapat banyak belajar untuk kemudian menilai dimana letak kelebihan dan kekurangannya.
Terlepas dari itu semua, buku ini memiliki makna penting bagi umat Islam di Indonesia. Pertama-tama buku ini jelas berguna sebagai pengantar pengenalan yang cukup untuk memahami perkembangan pemikiran Islam di Timur Tengah. Yang menarik karena beberapa respon intelektual yang terjadi di Timur Tengah dan tergambarkan dalam beberapa tokoh di buku ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam Indonesia dewasa ini.
Buku ini pula menunjukkan kekayaan khazanah umat Islam yang mestinya disadari dan digali bersama untuk membangkitkan kesadaran keberagamaannya di tengah situasi global. Pada bagian-bagian tertentu pula, beberapa tokoh dalam buku ini memperlihatkan kritiknya baik terhadap dogmatisme-ideologis umat Islam maupun terhadap abainya umat Islam membangun komunitas yang kokoh dan bersatu.
Sebuah pemikiran atau ajaran memang dapat berfungsi sebagai motor penggerak laju peradaban. Akan tetapi bila ia dibiarkan tergenangi nalar ideologis dan kejumudan dogmatisme, maka bisa saja ia berubah wajah menjadi hantu yang menakutkan. Bersama buku ini, kita bersama belajar terhadap pengalaman umat Islam di Timur Tengah untuk memaknai dan menyikapi warisan ajaran dan pemikiran Islam secara positif dan konstruktif, untuk membangun masa depan kemanusiaan yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat di Harian Solopos, 9 Desember 2001.

0 komentar: