Rabu, 18 April 2001

Anatomi Akar Disintegrasi

Judul Buku: Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau
Penulis: Tim Peneliti LIPI (Riza Sihbudi, dkk)
Penerbit: Mizan, Bandung kerjasama dengan LIPI dan Kantor Menristek RI
Cetakan: Pertama, Januari 2001
Tebal: 244 halaman


Ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah tercerai-berainya struktur masyarakat dan beberapa wilayah dari kesatuan republik akibat konflik yang meluas. Ancaman disintegrasi tersebut selalu diikuti dengan konflik horizontal maupun vertikal yang penuh dengan praktik kekerasan. Aceh, Maluku, Papua Barat, dan Riau adalah beberapa wilayah yang hingga saat ini masih mengalami pergolakan dengan tuntutan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penanganan serius terhadap berbagai konflik dan ancaman disintegrasi ini merupakan agenda mendesak karena bila dibiarkan akan menjadi penghambat bagi penyelesaian agenda reformasi dan recovery ekonomi. Selain itu, sangat mungkin konflik di beberapa daerah tersebut akan memicu munculnya konfik baru di wilayah lain. Pada titik ekstrem, dikhawatirkan akan muncul kesenjangan yang lebar antara harapan masyarakat dan kemampuan pemerintah untuk menuntaskan masalah tersebut, sehingga akhirnya menimbulkan rasa frustrasi terhadap proses-proses reformasi.
Buku ini adalah karya terkini yang berusaha menguak akar-akar pergolakan politik di keempat daerah tersebut. Buku yang semula adalah penelitian oleh Tim Peneliti LIPI ini menfokuskan bahasannya pada akar permasalahan yang melatari menguatnya tuntutan pemisahan diri di keempat wilayah konflik tersebut, untuk kemudian diajukan beberapa skema penyelesaian menyeluruh baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Karakter konflik yang terjadi di keempat wilayah tersebut memang tidak sepenuhnya sama. Di Aceh dan Papua misalnya yang terjadi adalah konflik antara negara dan masyarakat yang meluas sehingga menimbulkan ekses dan eskalasi di tingkat bawah. Sementara di Maluku kasusnya adalah konflik horizontal bermotif antar-agama, dan di Riau lebih kepada konflik antara negara dan masyarakat, tapi tidak sampai memunculkan praktik kekerasan yang serius.
Akan tetapi, benang merah yang menyatukan keempat kasus tersebut adalah bahwa semua itu merupakan dampak dari proses transformasi politik yang tengah dialami bangsa ini. Kasus-kasus tersebut terjadi setelah katup kebebasan lambat-laun terbuka sehingga perlawanan rakyat semakin memperoleh ruang yang cukup lebar.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik dan pergolakan daerah di Ambon, Papua, Ambon, dan Riau, adalah akumulasi dari persoalan-persoalan bangsa yang ditimbulkan akibat kebijakan pembangunan Orde Baru yang sudah akut dan tidak pernah berusaha diatasi secara mendasar. Akibatnya, sama sekali tak ada pintu darurat yang bisa dilalui ketika masalahnya menjadi sangat serius.
Kebijakan pembangunan (developmentalisme) Orde Baru melahirkan kebijakan-kebijakan yang sentralistik. Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini ditegaskan dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang hanya menjadikan daerah sebagai sapi perah bagi pemerintah pusat. Bahkan, dalam kasus Aceh UU tersebut telah merusak struktur sosial-budaya yang sudah mapan di sana.
Sentralisme kekuasaan Orde Baru ini dilakukan tidak hanya dalam wilayah administratif, tapi juga secara finansial dan militer. Lahirlah kecemburuan sosial dan ekonomi yang luar biasa di keempat wilayah tersebut. Aset daerah hanya diperas untuk kepentingan “orang luar”. Bisa dibayangkan bagaimana Freeport di Papua pada tahun 1996 mampu menghasilkan keuntungan 94 triliun rupiah (APBN Indonesia saat itu sebesar 97 triliun rupiah), sementara orang Papua tidak memperoleh imbas sepeser pun. Sementara itu Riau yang menempati urutan ketiga dalam hal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih menanggung 40% penduduk miskin di wilayahnya.
Tidak hanya masalah ekonomi saja yang mencuat di permukaan. Beberapa kebijakan pembangunan Orde Baru melahirkan benturan-benturan budaya masyarakat setempat. Transmigrasi hanya diurus secara administratif dan finansial saja, tanpa mempersiapkan berbagai konsekuensi kultural yang mungkin timbul.
Sentralisme Orde Baru juga dikawal oleh militerisme yang sangat rentan melakukan praktik kekerasan. Masyarakat Aceh dan Papua mengalami trauma yang luar biasa terhadap hadirnya militer di daerah mereka.
Semua permasalahan tersebut perlu segera diatasi secara serius dengan memberi perhatian lebih kepada daerah-daerah yang telah lama dianaktirikan itu. Pemberian otonomi luas, pemberantasan KKN serta restrukturisasi birokrasi dan militer di daerah, penegakan supremasi hukum, perlu segera diagendakan. Proses rekonsiliasi juga menjadi penting agar semua proses tersebut mengarah kepada suatu kerangka Indonesia Baru yang lebih civilized.

0 komentar: